Berita Populer
BERITA POPULER: Rincian Kenaikan Gaji PNS 2019 Prabowo Sandi Tanya Hak Pemilih, Korupsi Dana Bos
BERITA POPULER: Rincian Kenaikan Gaji PNS 2019 Prabowo Sandi Tanya Hak Pemilih Hingga Korupsi Dana Bos.
Penulis: Maria Enotoda | Editor: maria anitoda
Ini di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Tiap pembukaan lowongan CPNS, bisa dipastikan Kementerian Keuangan selalu dibanjiri pelamar.
Bagaimana tidak?
Kementerian yang dipimpin Sri Mulyani ini memberikan tunjangan senilai Rp 2,57 juta per bulan untuk pegawai pangkat terendah, sedangkan yang tertinggi senilai Rp 46,95 juta per bulan.
Hal ini berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 156 Tahun 2014 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan.
3. Badan Pemeriksa Keuangan
Sama dengan Kementerian Keuangan, karena ini mengawasi penggunaan uang negara, Badan Pemeriksa Keuangan juga menjanjikan tunjangan serta gaji cukup besar.
Hal ini berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 188 Tahun 2014 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan.
Tunjangan yang diberikan untuk PNS berpangkat rendah senilai Rp 1,54 juta per bulan, sedangkan yang tertinggi sebesar Rp 41,55 juta per bulan.
4. Pemprov DKI Jakarta
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 193 Tahun 2015, PNS Pemprov dan Pemkot di DKI Jakarta pun menjadi PNS penerima tunjangan tertinggi di Indonesia.
Jika digabungkan dengan gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji, maka take home pay yang diterima oleh PNS di DKI Jakarta di atas rata-rata.
Tunjangan mereka paling tinggi sebesar Rp 127 juta.
Waspadai, Hujan Disertai Angin Kencang Melanda Jakarta
Ladies, High Heels Membahayakan Kesehatan Kamu, Segera Cegah dengan Cara Seperti Ini
Sosialisasi Pencegahan Korupsi, Kejari Sikka Rayakan Hari Anti Korupsi
5. Mahkamah Agung
Pantas pendaftar CPNS pada Mahkamah Agung (MA) membludak.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 117/KMA/SK/XII/2015 tentang Perubahan Keputusan Ketua MA Nompr 128/KMA/SK/VIII/2014 tentang Tunjangan Kinerja Khusus Pegawai Negeri pada MA dan Badan Peradilan di Bawahnya menerangkan tunjangan kinerja pangkat terendah pada MA senilai Rp 1,71 juta hingga Rp 1,8 juta per bulan.
Sedangkan paling tinggi senilai Rp 31,6 juta hingga Rp 32,6 juta per bulan.
6. Kementerian Hukum dan HAM
Tunjangan kinerja diberikan untuk PNS Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) berpangkat terendah Rp 2,21 juta, sedangkan untuk berpangkat tertinggi senilai Rp 27,57 juta per bulan.
Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nompr 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja bagi Pegawai pada Lingkungan Kemenkumham.
7. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral , pegawai dengan pangkat terendah berhak menerima tunjangan kinerja senilai Rp 1,96 juta per bulan.
Sementara tertinggi senilai Rp 26,32 juta per bulan.
8. Komisi Pemberantasan Korupsi
Pegawai komisi anti suap memang harus digaji tinggi sebab pekerjaannya sangat beresiko bagi keselamatan nyawa maupun godaan suap.
Tunjangan kinerja pegawai KPK juga dibilang lumayan besar.
Besaran tunjangan kinerja pegawai KPK, yakni yang menjabat kepala bagian atau tenaga fungsional administrasi senilai Rp 8 juta per bulan, pegawai non-jabatan Rp 4 juta per bulan, dan pegawai pendukung Rp 3 juta per bulan.
2. Kubu Prabowo-Sandiaga Tanya Bagaimana Orang Gila Gunakan Hak Pilihnya dalam Pemilu
Kubu Prabowo-Sandiaga Uno mempertanyakan bagaimana orang gila atau penyandang disabilitas mental menggunakan hak pilihinya dalam pemilu tahun 2019 mendatang.
Melalui Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno membahas keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memasukkan penyandang disabilitas mental dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.
Wakil Ketua BPN Priyo Budi Santoso mengungkapkan, topik tersebut menjadi salah satu yang dibicarakan dalam pertemuan mereka dengan pihak KPU, di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Senin (10/12/2018).
"Kedua, terhadap keinginan kemungkinan memberikan ruang bagi mereka yang berkesehatan mental, atau disabel, atau taruhlah saya sebut saja orang gila, apakah itu akan dimasukkan," ujar Priyo.
Secara pribadi, Priyo mengaku menolak keputusan tersebut. Priyo mempertanyakan bagaimana penyandang disabilitas mental dapat menentukan pilihannya dalam pemilu.
"Saya sendiri secara personal mengatakan kalau orang gila dimasukkan, bagaimana kalau mereka tidak mempunyai kesehatan mental yang cukup? Saya sendiri menjadi yang tidak berpendapat kalau itu dimasukkan. Taruhlah kasarnya saya menolak, mempertanyakan itu," ujar dia.
Pisces, Cancer dan Scorpio Dapat Keuntungan Hari Ini, Selasa 11 Desember 2018
Terjerat Kasus Korupsi, Kadis PU TTS Tunjuk Lorens Megaman Sebagai Pengacara
Ini Alasan Aktivis LMND Pilih Aksi Masa di Depan Kampus Undana Kupang
Meski mempertanyakan, lanjut Priyo, pihaknya menerima keputusan KPU tersebut, dengan catatan ada dasar argumentasi yang kuat.
"Tapi kalau KPU diskusi segala macam dan atas perlindungan pemilih itu dimasukkan, kami ingin asal dasar-dasar argumentasi yang sah, kami monggo saja. Tapi ini harus tetap menjadi pertanyaan kita," kata dia.
Dalam kunjungan kali ini, tampak beberapa politisi yang termasuk dalam BPN Prabowo-Sandi, yaitu Ahmad Muzani, Hinca Panjaitan, Sudirman Said, dan Ahmad Riza Patria.
Selain topik tersebut, mereka juga membicarakan soal data ganda dan memastikan hal itu tidak terjadi nantinya.
Kehadiran para politisi tersebut juga bertujuan untuk memastikan hak seluruh pemilih terpenuhi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Tak hanya itu, BPN Prabowo-Sandi ingin memastikan pemilih benar-benar telah memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilihnya.
Selain itu, dibahas pula soal temuan Kementerian Dalam Negeri soal 31 juta penduduk yang belum masuk daftar pemilih tetap (DPT), padahal telah melakukan perekaman Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
Tak Perlu Surat Dokter untuk Gunakan Hak Pilihnya
Komisi Pemilihan Umum ( KPU) akan mendata seluruh pemilih penyandang disabilitas mental ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.
Menurut Komisioner KPU Viryan Azis, hak memilih adalah hak asasi setiap manusia, termasuk penyandang disabilitas mental.
Untuk itu, penyandang disabilitas mental bisa menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, tanpa menggunakan surat rekomendasi dari dokter.
Viryan mengatakan, surat keterangan dokter justru diperuntukkan khusus bagi penyandang disabilitas mental yang dinyatakan tidak sehat dan tidak mampu menggunakan hak pilihnya pada hari pencoblosan, 17 April 2019.
"Secara administrasi, selama tidak ada surat keterangan dokter, (pemilih disabilitas mental) boleh memilih," kata Viryan di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (3/12/2018).
Menurut Viryan, seluruh pemilih penyandang disabilitas mental yang terdaftar dalam DPT boleh memilih. Kecuali, ada surat keterangan dokter yang melarang yang bersangkutan untuk memilih lantaran tidak mampu.
Surat ini, kata Viryan, bisa diibaratkan sebagai surat keterangan izin sekolah seorang murid.
Prinsipnya, selama tak ada surat keterangan dokter, maka pemilih penyandang disabilitas mental boleh menggunakan hak suaranya.
"Jadi jangan disalahartikan semua penyandang disabilitas harus dilengkapi surat dokter untuk memilih, tidak. Yang benar selama tak ada surat keterangan dokter, penyandang disabilitas mental boleh memilih," ujar Viryan.
Lebih lanjut, Viryan mengatakan, KPU bakal mendata semua penyandang disabilitas mental yang memang memiliki hak pilih.
Meski demikian, pendataan tidak dilakukan terhadap penyandang disabilitas mental yang sejak awal telah mendapat surat keterangan dari dokter bahwa yang bersangkutan dinyatakan tidak sanggup memilih.
Pendataan juga tidak dilakukan terhadap penyandang disabilitas mental yang sifatnya permanen.
Viryan menyebutkan, KPU sejauh ini mendata penyandang disabilitas mental di sejumlah rumah sakit jiwa dan dari rumah satu ke rumah lainnya.
"Dengan semangat mendata semua pemilih kecuali yang permanen, atau di jalan. Kalau yang di RSJ datanya ada. Harapannya pada saat pemilu sehat," kata Viryan.
Penyandang Disabilitas Mental di Jalanan Tak Didata Sebagai Pemilih
Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Viryan Azis menegaskan, pihaknya tidak akan mendata pemilih gangguan jiwa yang berada di jalanan, untuk dimasukan ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.
Hal itu lantaran pendataan dilakukan dari rumah ke rumah. Pemilih yang dimasukan dalam DPT pun, hanya yang memiliki KTP elektronik.
"Kalau yang di jalan didata ya KPU tidak bisa. Kan KPU mendata pemilih itu door to door, kan nggak mungkin juga kalau di jalan didata, kemudian ada petugas kita lalu didata. Itu bukan metode kami," kata Viryan di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2018).
Viryan menjelaskan, pada prinsipnya KPU mendata seluruh warga negara yang secara aturan dapat dikategorikan sebagai pemilih, yaitu yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah. Pendataan itu termasuk dilakukan kepada penyandang disabilitas mental.
Namun demikian, untuk dapat dimasukan dalam DPT, pemilih harus mempunyai e-KTP. Hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 348 ayat 1 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengharuskan pemilih menggunakan e-KTP saat hari pemungutan suara.
Sementara, pemilih gangguan jiwa yang berada di jalanan, kemungkinan besar tidak punya e-KTP, atau bahkan tidak dapat mengingat identitas dirinya sendiri.
Untuk itu, pendataan pemilih penyandang disabilitas mental dilakukan di rumah-rumah, panti, maupun rumah sakit jiwa.
Viryan mengatakan, pendataan pemilih penyandang disabilitas mental bukan kali pertama dilakukan. Pada Pemilu 2014, KPU juga mengakomodasi hak pilih para tunagrahita.
"Sejak Pemilu 2014 hal ini sudah dilakukan, maka artinya bukan mendadak, kaget," tandasnya.
Hingga kini, proses pendataan penyandang disabilitas mental masih terus dilakukan. Diharapkan, proses pendataan tersebut akan selesai bersamaan dengan rencana penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) hasil perbaikan II, 15 Desember 2018. (pos-kupang.com/kompas.com)
3. Kepala SDI Liliba Kupang Tersangka Korupsi Dana BOS, Polisi Ungkap Fakta-faktanya
Kepala SDI Liliba Kupang (R) bersama bendahara sekolah (Y) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sekolah itu.
Dana BOS yang diduga telah digunakan untuk kepentingan pribadi itu adalah dana BOS tahun 2017 dan dana BOS triwulan I-II tahun 2018.
Berdasarkan hasil audit Inspektorat Provinsi NTT, dana BOS yang diselewengkan sebesar Rp 149 juta lebih.

Direskrimsus Polda NTT, AKBP Herry Tri Maryadi melalui Kasubdit 3 Tipidkor Ditreskrimum Polda NTT Kompol Manang Soebeti kepada wartawan saat jumpa pers di Ruang Ditreskrimum Polda NTT pada Senin (10/12/2018) siang, menyampaikan, kedua tersangka yakni R dan Y telah menggunakan dana BOS tidak sesuai peruntukkan.
"Kedua tersangka merupakan pejabat sekolah, R yang merupakan kepala sekolah dan Y Bendahara menggunakan dana BOS untuk kepentingan pribadi," ungkap Manang.
Berikutnya, Manang mengungkapkan fakta-fakta terkait kasus dugaan korupsi yang dilakyukan kedua tersangka tersebut.
Adapun fakta-faktanya antara lain,
1. Modus yang digunakan kedua tersangka adalah dengan membuat laporan pertanggungjawaban fiktif di mana mereka melakukan mark up volume dan harga untuk unit barang yang dibelanjakan.
"Modus mereka dengan mark up volume dan harga barang, ada barang yang dinaikan harganya, kemudian laporan pertanggungjawabannya dibuat fiktif," jelasnya.
2. Selain mark up volume dan harga, mereka juga membuat nota fiktif untuk item barang yang tidak pernah dibelanjakan.
3. Dari tersangka, polisi menyita uang yang belum digunakan sebesar Rp 50 juta beserta berbagai dokumen serta nota-nota fiktif dan stempel yang dipalsukan.
"Sebagian uang yang disita sebesar Rp 50 juta, nota-nota fiktif, juga stempel toko yang dibuat sendiri oleh tersangka. Ada pula nota pembelanjaan yang tidak pernah dilakukan juga," urainya.
4. Saat dana BOS diterima pihak sekolah, oknum kepala sekolah itu mengambil sebagian dana tersebut untuk dibelanjakan, namun pembelanjaan tersebut tidak sesuai dengan juknis yang ditetapkan.
Setelahnya, dalam perjalanan, mereka mempertanggunjwabkan penggunaan tersebut melalui laporan fiktif.
5. Berdasarkan laporan hasil audit oleh Inspektorat Provinsi NTT, dari total kerugian sebesar Rp 149 juta, tersangka R yang merupakan kepala sekolah "memakan" uang operasional tersebut sebesar Rp 64.530.150 sedangkan tersangka Y, kini kepala sekolah SD Naimata yang saat itu menjabat bendahara sekolah juga "memakan" sebnyak Rp 85.568.713.
6. Tercatat total anggaran dana BOS SDI Liliba untuk 1.012 siswanya pada 2017 adalah sebesar Rp 816 juta dengan perincian Rp 800 ribu per anak.
7. Dari tersangka polisi telah menyita dokumen rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) tahun 2017, dokumen rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) tahun 2018, satu box laporan pertanggungjawaban dana BOS SDI Liliba triwulan I, II, III dan IV tahun 2017, satu box laporan pertanggungjawaban dana BOS SDI Liliba triwulan I dan II tahun 2018 serta uang tunai sejlah Rp 50 juta dari tangan R.
8. Selain menyita barang bukti, polisi juga telah memeriksa 21 saksi terkait dengan sangkaan tindak korupsi yang mencoreng dunia pendidikan ini untuk melengkapi berkas dan mendalami keterlibatan para pihak yang turut serta melakukan dan menikmati hasil uang haram.
Memperingati Anti Korupsi Sedunia ! Ini Himbauan Kejari TTS
Jalan Mulus di Manggarai Timur Rusak dalam Hitungan Jam! Ini Permintaan Warga Borong
Diamankan Kejati NTT ! Ini Identitas Dua Kapal Liar Penangkap Ikan di Labuan Bajo
ASN di Kantor Ini Bakal Menerima Kenaikan Gaji yang Fantastis Tahun 2019, Pegawai Mana Saja?
Kedua tersangka yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 3 Desember 2018 dan kemudian ditahan di Polres Kupang Kota sejak 6 Desember 2018 itu disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan pasak 3 Undang Undang pemberantansan tindak pidana korupsi dengan hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp 1 miliar. (*)