Opini Pos Kupang
Menafsir Intoleransi Guru
Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarkat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 cukup mengejutkan.
Oleh Robert Bala
Guru pada Sekolah Tunas Indonesia Bintaro Jakarta
POS-KUPANG.COM - Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarkat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 cukup mengejutkan. Sebanyak 56% dari guru memiliki opini yang intoleran, 21% dari guru menolak pemeluk agama lain mengadakan ibadah di keadiamannya.
Intoleransi juga juga sudah terbentuk meski masih dalam bentuk niat. Bila dimungkinkan, 29% guru akan menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan beragama lain. 34% guru juga bila memungkinkan, ikut menandatangani petisi menolak sekolah berbasis agama non-Islam di daerahnya.
Bagaimana menafsir intoleransi guru seperti ini?
Dalam Inteligencia Emocional, 2003, Lopez de Bernal dkk mengemukakan fakta kian meluasnya intoleransi dalam masyarakat. Adanya minim penerimaan terhadap perbedaan, kurangnya solidaritas, dan berkurangnya respek terhadap orang lain. Pada saat bersamaan, terlihat kurangnya tanggungjawab dan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Baca: Ramalan Zodiak Jumat 23 November 2018, Gemini Jadi Pusat Perhatian & Virgo Lagi Hoki!
Baca: Jadi Drama Korea Pertama yang Tayang di Youtube, Ini 4 Fakta Drakor Top Management
Baca: Andika Perkasa tak Masalah Mengaitkan Dirinya dengan Peristiwa Pembunuhan Aktivis HAM
Kondisi kritis yang dihadapi masyarakat, bagi Aguirre Martinez dkk dalam Antologia de los Valores y del Conocimiento Humano, 1990, mendorong perlunya proses humanisasi melalui pendidikan.
Artinya, melalui pendidikan, nilai-nilai humanistik yang tergerus dan terkikis diharapkan menemukan penyadaran. Hanya dengan demikian kita bisa hidup kembali dalam kondisi multikultural, tempat di mana semua perbedaan tidak saja diakui tetapi diberi ruang partisipasi demi mencapai kebaikan bersama.
Proses edukatif ini hanya bisa berkembang efektif dan efisien bila diletakkan dalam iklim kebebasan. Guru diberi ruang gerak, untuk secara bebas dan kreatif mengonstruksi sebuah konsep kehidupan bersama yang multikultural.
Pembentukan kelompok diskusi yang dilakukan dengan metode "Jigsaw" (gergaji ukir) misalnya tidak sekedar memungkinkan interaksi yang luas tetapi juga membekali masing-masing dengan bagian pembelajaran yang ketika diletakkan bersama dapat memungkinkan proses saling belajar dan mengajar.
Permasalahannya, apakah guru yang memiliki tanggungjawab dalam membumikan nilai-nilai humanistik, telah kuat secara konseptual-pedagogis, kreatif dalam pembelajaran, dan bebas dalam menata pembelajarannya? Keraguan ini dijawab penulis dalam buku Creative Teaching, Mengajar Mengikuti Kemauan Otak, 2018. Uji
Kompetensi Guru membenarkan keraguan ini. Tidak sedikit guru yang sekadar penyampai informasi tetapi tidak melewati proses penyerapan.
Guru dengan jelajah intelektual minimalis pada gilirannya hanya mengandalkan pelatihan yang ditawarkan. Mereka sudah terhibur dengan penerapan metode baru yang belum tentu sejalan dengan konteks wilayahnya.
Hal yang lebih memprihatinkan, rendahnya literasi guru, menyebabkan guru nyaris bisa melahirkan karya kreatif yang nota bene merupakna produk dari proses pasif membaca demi memperdalam ilmu.
Kualitas guru demikian akan mudah melibatkan emosi dalam menilai aneka informasi. Ia mudah terbawa dalam politik identitas yang mengedepankan kesamaan kultural tetapi tidak memberi ruang pada dialog bernas demi terjadinya sumbangsi pikiran untuk mencapai ide terbaik. Yang terjadi, demikian hasil survei yang sama, 65,35 % guru tidak berafiliasi dalam ormas nasionalis yang terkenal modern, terbuka, dan dialogis.
Merasakan Kemajemukan
Terhadap gejala intoleransi guru yang sayangnya terjadi di tengah masyarakat yang intoleran, diperlukan terobosan. Pertama, perlu adanya program lintas budaya demi merasakan kemajemukan dan mengalami keindonesiaan dari sudut pandang lain.
Mestinya para calon guru diwajibkan untuk mengalami program lintas budaya sebagai salah satu prasyarat menjadi guru. Calon guru dari Indonesia Barat misalnya perlu merasakan bagaimana orang Katolik dan Muslim di NTT bahkan bisa bergotong- royong membangun rumah ibadah. Malah orang Katolik bisa menjadi Ketua Panitia pembangunan mesjid dan sebaliknya.