Opini Pos Kupang
Mengawal Pembangunan Ekonomi NTT
Mari kita masuk dalam sebuah konteks bernama Nusa Tenggara Timur (NTT). Kata korporasi hampir pasti diartikan secara negatif di NTT.
Korporasi sebenarnya tidak bisa langsung dinilai baik atau buruk. Korporasi memungkinkan penyerapan tenaga kerja yang banyak, namun pada saat bersamaan korporasi melihat masyarakat sebagai (potensi) konsumen yang sangat besar.
Masuknya beberapa pusat belanja besar di Kota Kupang pasti menyerap banyak tenaga kerja, namun pada saat yang sama menciptakan kelas masyarakat konsumen baru. Waktu yang akan membuktikan pada masyarakat pembelanja itu termasuk dalam konsumen rasional, consumer atau konsumen irasional.
Prospek NTT
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Ganewati, 2014) memaparkan, rendahnya realisasi investasi di NTT disebabkan empat hal utama. Pertama, terbatasnya ketersediaan infrastruktur prasarana darat, laut dan udara dan minimnya pasokan listrik dan air bersih. Kedua, kepemilikan lahan yang masih didominasi oleh tanah persekutuan adat mempersulit pemanfaatan lahan/tanah untuk pengembangan investasi.
Ketiga, kurangnya promosi terhadap potensi daerah dan peluang investasi kepada para investor. Keempat, pengurusan administrasi izin penanaman modal dan investasi yang terkesan sangat birokratif dan membutuhkan waktu yang lama dan cenderung dijumpai adanya pungutan liar.
Dengan mempertimbangkan keempat hal di atas, maka kita perlu menyiapkan beberapa hal. Pertama, pemerintah(-an) harus memastikan iklim investasi yang kondusif. Pemerintah harus memastikan kesediaan infrastruktur yang terjamin. Seleksi investor yang ramah lingkungan dan budaya adalah harga mati.
Kedua, masyarakat adat dan dunia pendidikan (kampus). Dua institusi ini mesti terus-menerus menggali kearifan lokal (local wisdom) NTT. Pada saat yang sama, terbuka pada perkembangan. Dunia kampus NTT mesti memastikan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dari berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan di NTT.
Ketiga, Gereja dan institusi agama lainnya. Gereja sudah menjadi modal sosial untuk masyarakat NTT. Gereja dan institusi agama lainnya mesti terus membuka diri (semper reformanda) sekaligus tidak pernah menyerah menunjukan nada dasar dan warna perjuangannya.
Gereja menunjukan keberpihakan kepada yang paling miskin, paling lemah dan terpinggirkan. Gereja tidak pernah boleh berpuas diri hanya menjadi seperti lembaga sosial masyarakat (LSM). Gereja harus bangkit menjadi kekuatan alternatif lainnya.
Keempat, media massa. Media sebagai kekuatan keempat dari demokrasi bertugas untuk menggaungkan kebenaran. Dalam konteks NTT, media haruslah menjadi independen dan berimbang serta berpihak.
Toh, kalaupun ada media yang kemudian tidak bisa tidak harus `menyembah' pemilik modal dan pemerintah, maka mesti ada media lain yang menjadi pelawan dan rival yang sepadan untuk keberseimbangan informasi kepada publik.
Pada bagian lain yang juga sama penting, media NTT harus menjadi promotor dan media promosi pengembangan NTT. Jika bukan media NTT yang mewartakan kebaikan NTT, apakah kita berharap akan ada media dari Washington atau Tel Aviv yang akan bersuara untuk NTT? Kita adalah NTT. *