Opini Pos Kupang
Mengawal Pembangunan Ekonomi NTT
Mari kita masuk dalam sebuah konteks bernama Nusa Tenggara Timur (NTT). Kata korporasi hampir pasti diartikan secara negatif di NTT.
Oleh: Agustinus Tetiro
Pengajar di Indonesia International Institute for Life-Science, Jakarta
POS-KUPANG.COM - Dosa terbesar media massa dan dunia jurnalistik terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi global adalah menciptakan secara simplisistis perbedaan antara istilah pro-pasar dan anti-pasar.
Hasil kerja jurnalistik, entah karena kemalasan berpikir atau penghematan space, telah melukiskan dua kubu itu sebagai yang tengah berdebat hebat menyusul perbedaan yang ekstrem dari keduanya.
Kubu pro-pasar dinilai sebagai penggerak gagasan ekonomi yang adil berdasarkan prinsip-prinsip bisnis mutakhir dan menilai kubu anti-pasar sebagai pembawa ketidakadilan.
Sementara, kubu anti-pasar menilai kubu pro-pasar sebagai pembawa petaka ketidakadilan, sebab yang adil hanyalah yang tidak terlalu berurusan dengan korporasi. Karena, korporasi terlalu `menghisap'.
Baca: Bagaimana Cara Pasanganmu Mengelola Keuangan, Intip Zodiaknya dan Temukan Jawabannya
Baca: Jungkook BTS Suka Bikin Wajahnya Seperti Ini, Army Sudah Tahu?
Baca: Jelang HUT ke-60 NTT ! Pemprov NTT Gelar Pekan Olahraga Pertandingkan Lima Cabor
Kita sulit membayangkan sebuah masyarakat tanpa mekanisme pasar. Peradaban dunia terus berkembang, mekanisme pasar adalah genius yang mengubah proses produksi-alokasi yang sebelumnya ribet menjadi sederhana dan spontan.
Hal itu mencakup pengerahan energi, daya kreatif, inovatif, semangat `menjemput bola', dan promosi. Hanya anak tuan tanah yang pemalas dan penguasa yang ingin mempertahankan status quo yang ingin bertahan pada pola lama yang kalau lebih kritis dilihat sebagai yang tidak berperikemanusiaan.
Media sudah terlalu mereduksi konsep anti-pasar sedemikian dan celakanya diterima oleh para pembaca yang tidak teliti. Jika dilihat lebih cermat, kaum anti-pasar dalam arti sebenarnya bukan orang yang menolak mekanisme pasar.
Pokok perdebatan ilmiah tidak terletak pada pro atau contra terhadap mekanisme pasar yang merupakan syarat mutlak kegiatan ekonomi, tetapi sejauh mana kinerja mekanisme pasar berterima, masuk lebih dalam pada kebutuhan, kemampuan, daya produksi dan hubungan sosial masyarakat.
Korporasi: Baik atau Buruk?
Mari kita masuk dalam sebuah konteks bernama Nusa Tenggara Timur (NTT). Kata `korporasi' hampir pasti diartikan secara negatif di NTT. Karena, bayangan publik langsung pada sebuah raksasa rakus yang akan mengeruk dan menipu mereka habis-habisan.
Padahal sejak bangun pagi orang-orang itu mandi dengan sabun dari Unilever, cuci dengan deterjen dari Wings, makan mie instan dari Indofood, menghabiskan 18 jam sehari dengan handphone dari Samsung, menggunakan sepeda motor dan mobil dari Honda, Yamaha, dan Toyota.
Mari kita lihat beberapa kemungkinan dan peluang korporasi di NTT. Pertama, supaya berterima, korporasi tentu harus diarahkan untuk bekerja sama dan bersinergi dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di NTT.
Pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya bertugas mempersiapkan UMKM yang mumpuni dan menjadi mediator untuk kedua lembaga tersebut. Dengan demikian, korporasi yang tidak bisa bersinergi dengan UMKM dan berpotensi merusak alam dan lingkungan seperti tambang belum saatnya masuk ke NTT.
Kedua, salah satu bahaya korporatisasi kontemporer adalah kemajuan kemajuan sektor ekonomi finansial tanpa hubungan dengan sektor riil. Pemerintah harus menelurkan regulasi yang jelas dan memudahkan investasi pada sektor-sektor riil tersebut.
Ketiga, bahaya lain dari korporasi adalah korporatokrasi. Pemerintahan dari dan oleh korporasi tentu melemahkan demokrasi. Kita mesti memiliki kecurigaan yang sehat apabila ada pengusaha, investor, ataupun konglomerat besar yang terlalu akrab dengan gubernur dan bupati.
Korporasi sebenarnya tidak bisa langsung dinilai baik atau buruk. Korporasi memungkinkan penyerapan tenaga kerja yang banyak, namun pada saat bersamaan korporasi melihat masyarakat sebagai (potensi) konsumen yang sangat besar.
Masuknya beberapa pusat belanja besar di Kota Kupang pasti menyerap banyak tenaga kerja, namun pada saat yang sama menciptakan kelas masyarakat konsumen baru. Waktu yang akan membuktikan pada masyarakat pembelanja itu termasuk dalam konsumen rasional, consumer atau konsumen irasional.
Prospek NTT
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Ganewati, 2014) memaparkan, rendahnya realisasi investasi di NTT disebabkan empat hal utama. Pertama, terbatasnya ketersediaan infrastruktur prasarana darat, laut dan udara dan minimnya pasokan listrik dan air bersih. Kedua, kepemilikan lahan yang masih didominasi oleh tanah persekutuan adat mempersulit pemanfaatan lahan/tanah untuk pengembangan investasi.
Ketiga, kurangnya promosi terhadap potensi daerah dan peluang investasi kepada para investor. Keempat, pengurusan administrasi izin penanaman modal dan investasi yang terkesan sangat birokratif dan membutuhkan waktu yang lama dan cenderung dijumpai adanya pungutan liar.
Dengan mempertimbangkan keempat hal di atas, maka kita perlu menyiapkan beberapa hal. Pertama, pemerintah(-an) harus memastikan iklim investasi yang kondusif. Pemerintah harus memastikan kesediaan infrastruktur yang terjamin. Seleksi investor yang ramah lingkungan dan budaya adalah harga mati.
Kedua, masyarakat adat dan dunia pendidikan (kampus). Dua institusi ini mesti terus-menerus menggali kearifan lokal (local wisdom) NTT. Pada saat yang sama, terbuka pada perkembangan. Dunia kampus NTT mesti memastikan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dari berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan di NTT.
Ketiga, Gereja dan institusi agama lainnya. Gereja sudah menjadi modal sosial untuk masyarakat NTT. Gereja dan institusi agama lainnya mesti terus membuka diri (semper reformanda) sekaligus tidak pernah menyerah menunjukan nada dasar dan warna perjuangannya.
Gereja menunjukan keberpihakan kepada yang paling miskin, paling lemah dan terpinggirkan. Gereja tidak pernah boleh berpuas diri hanya menjadi seperti lembaga sosial masyarakat (LSM). Gereja harus bangkit menjadi kekuatan alternatif lainnya.
Keempat, media massa. Media sebagai kekuatan keempat dari demokrasi bertugas untuk menggaungkan kebenaran. Dalam konteks NTT, media haruslah menjadi independen dan berimbang serta berpihak.
Toh, kalaupun ada media yang kemudian tidak bisa tidak harus `menyembah' pemilik modal dan pemerintah, maka mesti ada media lain yang menjadi pelawan dan rival yang sepadan untuk keberseimbangan informasi kepada publik.
Pada bagian lain yang juga sama penting, media NTT harus menjadi promotor dan media promosi pengembangan NTT. Jika bukan media NTT yang mewartakan kebaikan NTT, apakah kita berharap akan ada media dari Washington atau Tel Aviv yang akan bersuara untuk NTT? Kita adalah NTT. *