Opini Pos Kupang
Stunting di NTT Tidak Semata Terkait Bahan Pangan. Begini Kenyataannya
Bayi laki-laki baru lahir dengan panjang kurang dari 48 cm dan bayi perempuan kurang dari 45 cm dikategorikan stunting
Masih banyak orang di daerah kita berpandangan bahwa situasi sehat-sakit itu terkait ketidakberesan relasi dengan Tuhan, nenek moyang, roh-roh penunggu mata air, sesama yang punya kekuatan guna-guna, bukan dari pangan.
Di Manggarai malah ada kepercayaan bahwa jenis sakit tertentu itu disebabkan oleh relasi yang tidak dijaga antara pihak si sakit dan anak rona sa'I (keluarga dari mana nenek atau ibunya berasal).
Pandangan atau kebiasaan budaya seperti itulah yang bisa menjelaskan mengapa sumber daya lebih dipakai untuk hal-hal di luar gizi/kesehatan.
Di NTT orang menyelenggarakan pesta terkait kehidupan/atau kematian dengan biaya yang begitu mahal, sampai bisa berakibat pada pemanfaatan habis tabungan atau bahkan berutang.
Banyak contoh di mana orang bisa menyelenggarakan pesta yang cukup mahal tetapi belum punya fasilitas dasar seperti toilet yang memadai di rumahnya. Di mana ada, toiletnya sangat memprihatinkan, berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Toilet bersih dan aman bukan prioritas dalam budaya orang di daerah kita.
Biasa saja bagi banyak orang mengongkosi pesta nikah bernilai puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah. Untuk kebanyakan keluarga dengan pendapatan pas-pasan, kebiasaan itu bisa berujung pada tidak adanya lagi daya beli untuk pangan bergizi dan perawatan sakit. Termasuk untuk menjamin gizi bagi pengantin wanita/calon ibu yang mungkin sudah atau sebentar lagi hamil.
Di Manggarai ada kebiasaan yang disebut `kumpul kope', yang mirip seperti kegiatan `kumpo kao' Flores Timur, keduanya mengurusi hal lain di luar urusan kesehatan, seperti nikah dan sekolah. Di berbagai daerah di NTT, kasih sayang terhadap sesama baru terlihat jauh lebih besar ketika seseorang meninggal dunia.
Berpuluh tahun lalu, seorang Pastor Belanda, MAW Brouwer pernah menulis orang di Flores lebih mencintai mayat daripada orang hidup. Waktu itu banyak yang tidak senang dengan Brouwer tetapi tidak cukup ditunjukkan apakah beliau total salah.
Menjelaskan bahwa sakit tertentu itu diakibatkan atau diperburuk oleh kekurangan gizi tertentu dalam tubuh masih terasa baru. Masih luas dipraktikkan upaya penyembuhan yang bisa kita katakan bersifat `supranatural'.
Bahwa di NTT sudah meluas pelayanan kesehatan modern tentu saja iya, tetapi tetap saja ada banyak indikasi pasien dibawa ke rumah sakit baru setelah situasinya mulai agak serius."Tiga Terlambat" masih menjadi keluhan pelayan-pelayan kesehatan publik.
Apalagi kalau `tidak-sehat' itu hanya dipandang sesempit sebagai keadaan di mana seseorang harus berbaring-pasif di tempat tidur. Dalam `pandangan' seperti itu, gejala klinis kurang gizi diabaikan.
Saya sering menemukan anak yang warna rambutnya merah pucat tanda kurang gizi di kampung-kampung. Sedihnya, orangtua dan warga di sekitarnya malah mengagumi anak seperti itu karena konon mirip bule.
Sepanjang seorang anak tidak sakit, walaupun tinggi badannya tidak seimbang dengan usia (stunting) masyarakat dan orang tua umumnya menganggap itu biasa saja. Berbagai cara pandang dan praktik budaya di atas menjadi akar dari persoalan stunting kita.
Kalau itu akar soalnya, lalu kita bisa bertanya: apakah upaya menurunkan stunting akan cukup efektif hanya dengan menyediakan makan gizi bagi ibu hamil dan anak baduta?
Bisa saja jawabannya iya, tetapi dengan satu hal penting, yakni bahwa penyediaan makanan yang lebih bergizi itu harus berdasarkan satu upaya ke arah perubahan cara pikir, praktik budaya dan kebiasaan yang mendukung peningkatan kesehatan dasar seperti gizi, atau merevitalisasi praktik budaya tertentu kalau nyata-nyata itu mendukung perbaikan gizi.