Prevalensi Stunting di NTT Ternyata Paling Tinggi di Indonesia. Inilah Penyebabnya

Prevalensi stunting di NTT terdiri dari bayi dengan kategori sangat pendek 18 persen dan pendek 22,3 persen.

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi 

Kepala Puskemas Maubesi, Albertus E. M. Tori mengungkapkan, sebanyak 483 balita di Kecamatan Insana Tengah, menderita stunting. Menurutnya, jumlah bayi yang menderita stunting mencapai 50 persen lebih dari total 671 bayi. "Data mengenai jumlah penderita stunting di wilayah kerja Puskesmas Maubesi sebanyak 483 bayi dari total secara keseluruhan bayi sebanyak 671 orang," kata Albertus.

Sementara di Kabupaten Nagekeo, prevalensi stunting mencapai 39,8 persen pada tahun 2017, lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2016 yakni sebesar 38,0 persen. "Data ini diambil sampling dan diolah Kementerian Kesehatan, tidak ada rincian per kecamatan karena ada kecamatan yang tidak kena sampling," jelas

Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo, Rufus Raga, S.Si saat dikonfirmasi Sabtu (3/11/2018).

"Untuk penanganan khusus belum ada. Kami masih fokus di gizi buruk. Tetapi upaya pencegahannya kita dengan sosialisasi 1000 hari pertama kehidupan," ujar Rufus.

Stunting berkembang dalam jangka panjang karena kombinasi dari beberapa faktor, di antaranya kurang gizi kronis dalam waktu lama, retardasi pertumbuhan intrauterine, tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori, perubahan hormon yang dipicu oleh stres dan sering menderita infeksi di awal kehidupan seorang anak.

Perkembangan stunting adalah proses yang lambat, kumulatif dan tidak berarti bahwa asupan makanan saat ini tidak memadai. Kegagalan pertumbuhan mungkin telah terjadi di masa lalu seorang.

Adapun gejala stunting adalah anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya, berat badan rendah untuk anak seusianya dan pertumbuhan tulang tertunda.

Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kota Kupang, I Gusti Agung Ngurah Suarnawa, S.Km, M.Kes, mengatakan untuk mengatasi stunting, harus dari anak itu dalam kandungan dan ia mendapat asupan gizi yang cukup sampai pada usia dua tahun untuk kebutuhan perkembangan anak dan perkembangn otak anak

"Ketika saat itu zat-zat nutrisi tak terpenuhi maka bisa mempengaruhi pertumbuhan fisik dan otak anak, sehingga saat ada ibu hamil kami ingatkan untuk makan beranekaragam dan saat melahirkan nantinya harus memberikan asi eksklusif selama enam bulan dan mulai dikenalkan makanan pendamping ASI setelah dua tahun," katanya.

Menurutnya, langkah strategis yang dilakukan pihaknya selama ini untuk menekan angka stunting dengan melakukan sosialisasi dan penyuluhan saat para ibu hamil memeriksakan kandungannya di puskesmas.

Selain itu, para ibu juga dibekali dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dimana di dalam buku tersebut juga termuat pentingnya seorang ibu yang hamil memberikan asupan gizi yang cukup bagi janin dan anaknya.

"Setelah ibu itu bersalin dan memeriksakan dirinya ke posyandu atau puskesmas teman-teman gizi maupun tenaga kesehatan lainnya akan tetap memberikan penyuluhan-penyuluhan," jelasnya.

Untuk jangka pendek, pada anak yang ditemukan mengalami stunting, lanjut Suarnawa, pihaknya memberikan tambahan gizi berupa makanan tambahan.

"Pemerintah Kota setiap tahunnya menyiapkan alokasi dana untuk bahan makanan bagi yang gizi buruk termasuk yang stunting, setiap tahun juga pemerintah pusat memberikan makanan pendamping ASI yang dibagikan ke semua daerah. Kami juga bari dapat makanan pendamping ASI yang nantinya membantu untuk perbaikan gizi dalam bentuk biskuit," ungkapnya.

Kepala Puskesmas Oesapa, Kota Kupang, dr. Trio Hardhina mengatakan, pihaknya rutin mengadakan penyuluhan untuk menekan angka stunting. "Kami juga mengadakan Pos Penanganan Gizi khusus untuk balita yang sangat kurus atau stunting ini," katanya. (ii/yon/din/mm/gg)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved