Opini Pos Kupang

Kebohongan dan Etika Berbicara

Hal ini sebenarnya urusan pribadi RS, dan orang lain yang tidak berkepentingan tentu tidak akan sibuk memikirkannya

Editor: Dion DB Putra
Tribunnews/JEPRIMA
Ratna Sarumpaet saat menggelar konferensi pers terkait pemberitaan penganiayaan dirinya di Kampung Melayu Kecil, Jakarta Timur, Rabu (3/10/2018). Pada konferensi pers tersebut Ratna mengaku berbohong tentang penganiayaan dirinya melainkan pada 21 September 2018, dirinya menemui dokter bedah plastik di Jakarta untuk menjalani sedot lemak di pipi. 

Ceritera bohong seperti di atas mungkin salah satu hoax paling spektakuler di tanah air. Tetapi bukan satu-satunya. Media sosial menyajikan hoax setiap hari dan karena itu banyak pihak yang sadar dan mulai mengkampanyekan anti-hoax.

Komisi Komunikasi Sosial KWI misalnya berkeliling ke seluruh Indonesia menjumpai generasi muda Katolik di kampus-kampus, sekolah dan paroki-paroki, untuk sosialisasi kesadaran anti-hoax. Karena itu rasanya kebohongan atau hoax menarik ditinjau dari berbagai segi seperti hukum, psikologi dan etika. Di bawah ini saya ingin meninjau kebohongan dari sudut pandang etika kristiani.

Kebohongan pada dasarnya penyangkalan atas kebenaran. Lalu apakah kebenaran itu? Thomas Aquinas merumuskannya: Veritas est adequatio rei et intellectus (kebenaran adalah kesesuaian antara kenyataan dan pemahaman). Bila suatu kenyataan dipahami sebagaimana adanya maka pemahaman tersebut dikatakan benar. Dan bila pemahaman tersebut diekspresikan dalam pernyataan lisan, maka pernyataan lisan tersebut dikatakan benar.

Sebaliknya bila kenyataan tidak dipahami sebagaimana adanya dan pernyataan lisan atas kenyataan itu pun tidak sejalan dengan kenyataan, maka dikatakan palsu alias tidak benar. Jadi ada dua aspek dalam menilai kebenaran suatu kenyataan: pemahamannya benar atau palsu dan pernyataan lisan atasnya benar atau palsu.

Bila orang memahami sungguh-sungguh kenyataan (di mana ada kesesuaian antara kenyataan dan pemahaman) tetapi sengaja menyangkalnya dalam pernyataan lisan, itulah kebohongan atau dusta.

Dalam hal ceritera di atas, RS memahami sungguh-sungguh kenyataannya tetapi sengaja menyangkalnya dalam pernyataan lisan, dan karena itu dia berbohong.

Kebohongan atau dusta tidak lain dari penyembunyian sebagian atau seluruh kebenaran, atau dengan kata lain tidak menyatakan hal yang sesungguhnya terjadi.

Sebaliknya Prabowo dan kawan-kawannya bila benar-benar tidak memahami kenyataannya, tetapi hanya mendengarnya dari RS, maka dalam hal ini mereka tidak berbohong.

Bagi mereka, kenyataan yang mereka pahami adalah pernyataan RS. Bila ada kesesuaian antara pernyataan RS dan pemahaman mereka, masih tetap ada adequatio rei et intellectus. Dan bila pernyataan lisan mereka sesuai yang dinyatakan RS, maka mereka masih tetap mengungkapkan kebenaran. Lain halnya bila mereka mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan ceritera yang mereka dengar dari RS.

Kesalahan mereka adalah tidak verifikasi atas kebenaran sebelum membuat pernyataan. Bahkan ada yang terlalu terbuai oleh kisah dusta tersebut lalu berkhayal amat jauh tentang kemungkinan-kemungkinan yang dibayangkan telah terjadi, seperti pernyataan politikus Partai Demokrat Benny K. Harman (BKH).

BKH, dalam mengomentari Jokowi yang "diam" dalam kasus RS, salah satu kemungkinan menurutnya, karena Jokowi yang menyuruh preman-preman untuk memukuli RS. Sementara kurang terdengar ungkapan yang emosional dari mereka dalam menanggapi peristiwa gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala. Juga tidak terdengar solusi kreatif mereka dalam penanganan bencana.

Kejujuran dalam bertutur lisan merupakan sebuah tuntutan etika demi keadilan dan penghormatan pada orang lain. Sebaliknya dusta atau kebohongan dapat membuat orang lain terjebak kesalahan dan bahkan mengalami kerugian.

Prabowo dan kawan-kawannya terjebak kesalahan akibat dusta RS. Sedangkan, menurut pengacara Farhat Abbas (FA) (Kompas. Com. 3 Oktober 2018) dusta RS dan penyebaran yang dilakukan Prabowo dan kawan-kawan telah merugikan capres dan cawapres nomor urut 1, Jokowi-Ma'ruf Amin.

Karena itu untuk menilai berat ringannya sebuah dusta dilihat pula berat ringannya kerugian yang diakibatkannya.

Tentu orang tidak mampu memahami dan mengungkapkan kebenaran secara utuh dan sempurna, karena manusia adalah makhluk yang terbatas. Bahkan orang juga tidak wajib mengungkapkan semua kebenaran kepada orang yang tidak berhak mengetahuinya.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved