Opini Pos Kupang
Membaca Cerpen Kado Istimewa karya Jujur Prananto
Pertautan dan persandingan itu membersitkan wacana baru yakni bagaimana generasi masa kini memperlakukan
Kerinduan Ibu Kustijah untuk bernostalgia tentang masa perjuangan dengan Pak Hargi tak tercapai. Tiwul gaplek yang sedianya mengingatkan putra Pak Hargi akan betapa bernilai perjuangan ayahnya dan para pejuang semasanya tidak kesampaian.
***
Cerpen Kado Istimewa diterbitkan tahun 1991, pada rezim Orde Baru. Wajar kalau kritik sosio-politik cerpen ini tidak setajam bambu runcing dan tidak sekeras perang gerilya. Walau demikian, karakter tokoh, potongan-potongan narasi serta berbagai simbol dan atribut dalam Kado Istimewa menyiratkan beberapa hal.
Pertama, pentingnya makna dan dekonsruksi sejarah oleh generasi terkini. Para pahlawan pra-kemerdekaan dan beberapa tahun setelah itu memiliki satu ikatan ideologi dan cita-cita yang kuat. Memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.
Seandainya ikatan semacam ini dimiliki juga secara kuat oleh generasi ini, maka semestinya rivalitas dalam pemilu tidak boleh didominasi sikap saling hujat. Ambisi berkuasa dari diri maupun kepentingan komunitas primordial tidak boleh di tempatkan di atas kepentingan bangsa.
Kedua, di tengah situasi sosio-politik nasional yang kian semrawut, nilai-nilai pejuangan dan cita-cita pendirian negara perlu digali dan dihidupkan lagi. Selain pementasan kemiskinan, cita-cita kemerdekaan (lainnya) juga untuk mencerdaskan warga negara. Kalau ada warga terlebih khusus pejabat publik yang gemar memeroduksi hoaks, layak disebut pengkhianat.
Ketiga, harus diakui bahwa perjalanan panjang bangsa ini tidak terlepas dari peristiwa masa lalu yang kelam. Sejarah buruk yang busuknya melampaui tiwul gaplek-nya Ibu Kustijah. Tetapi bukan berarti secara serta-merta borok itu dicampakkan dari ingatan kolektif warga negara. Semua komponen bangsa seharusnya punya niat untuk memperjuangkan rekonsiliasi sampai tuntas.
Keempat, masih dalam kerangka dekonstruksi sejarah, generasi masa kini mesti memiliki insting dan kecakapan untuk menilai hingga memastikan bahwa sebagian nilai luhur dan cita-cita kemerdekaan sedang luntur. Tentang hal ini, sosiologiwan Jerman Ferdinand Tonnies dalam suatu studi (1887) pernah menguraikannya.
Menurut Ferdinand, peralihan peradaban dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern tidak semata memperlihatkan perubahan baik; tetapi bersamaan dengan itu pula banyak nilai dan dan tatanan hidup akhirnya hilang. *