Opini Pos Kupang
Membaca Cerpen Kado Istimewa karya Jujur Prananto
Pertautan dan persandingan itu membersitkan wacana baru yakni bagaimana generasi masa kini memperlakukan
Oleh: Yohanes Berchemans Ebang
Suka membaca Karya Sastra, tinggal di Kupang
POS-KUPANG.COM - Jika sejarah adalah soal cerita dan peristiwa masa lampau dari suatu komunitas atau bangsa tertentu maka dengan menyebut, membaca atau membicarakannya, kita semacam sedang bernostalgia.
Dalam itu, tidak hanya soal kenangan dan mengenang tetapi juga soal pertautan dan persandingan; masa lalu bertaut dan bersanding dengan masa kini.
Pertautan dan persandingan itu membersitkan wacana baru yakni bagaimana generasi masa kini memperlakukan dan memaknai sejarah masa lalu. Agaknya, wacananya itu bisa berupa kontroversi serupa ibu dan anak kandung yang urung akur, atau sebaliknya hangat menggembirakan seumpama dua insan yang selalu saling merindukan.
Baca: 5 Zodiak yang Bisa Jadi Pasangan Terbaik Kamu, Bisa Buat Bahagia Lahir dan Bathin
Mungkin, wacana itu bisa dalam wujud api yang membakar hangus atau air yang mencuci bersih narasi dan ingatan sejarah. Esensi sejarah kemudian hilang dan terlupakan. Tidak untuk membahas originalitas dan kebenaran sejarah, nasib sejarah bangsa Indonesia pun boleh dikatakan sedang dalam perlakuan demikian.
***
Fenomena perihal perlakuan sejarah oleh masyarakat Indonesia saat ini dapat ditelisik dalam cerpen Kado Istimewa karya Jujur Prananto. Walaupun cerpen ini sudah diterbitkan harian Kompas edisi Minggu, 20 Oktober 1991 yang lalu namun, hemat penulis, masih relevan untuk dimaknai kembali.
Dalam cerpen tersebut, dikisahkan bagaiman upaya ibu Kustijah dari Kalasan berangkat ke Jakarta untuk menghadiri resepsi pernikahan anak dari Pak Hargi. Ibu Kustijah merupakan pelayan di dapur umum Pos Kalasan pada masa perang gerilya, sementara Pak Hargi merupakan salah seorang prajurit, gerilyawan. Semenjak itu mereka tak pernah saling bertemu pun berkomunikasi.
Baca: Penggemar Drama Korea, Intip 10 Drakor Yang Bakal Tayang Bulan Oktober 2018
Ibu Kustijak tetap menetap di Kalasan sebagai seorang ibu rumah tangga sederhana sementara Pak Hargi bertugas di Jakarta. Tumbangnya rezim Orde Lama dan bangkitnya Orde Baru semakin mengukuhkan posisi dan peran Pak Hargi di pemerintahan pusat.
Ada tiga alasan mendasar yang mendorong Ibu Kustijah mati-matian berangkat ke Jakarta untuk menghadiri hajatan pernikahan itu untuk kemudian bertemu Pak Hargi. Pertama, sebagai bentuk rasa hormat dan bangga dari seorang mantan pelayan di dapur umum selama perang pada seorang patriot dan pejuang seperti Pak Hargi. Yang paling dibanggakan Ibu Kustijah dari Pak Hargi adalah bahwa pada masa itu Pak
Hargi sering menekankan bahwa gerilya bukan hanya soal perjuangan melawan Balanda tetapi lebih dari -dan setelah itu adalah perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan.
Kedua, Ibu Kustijah sangat ingin bertemu Pak Hargi untuk menyaksikan secara langsung keadaan Pak Hargi terkini sekaligus bernostalgia tentang masa perang.
Tentang kesamaan semangat dan cita-cita yang sama-sama mereka pegang teguh sedari masa itu. Ibu Kustijah yakin bahwa semangat dan idealisme sebagaimana semenjak masa perang itu ikatannya terlampau kuat hingga saat ini, tiga puluh tahun kemudian.
Baca: Terungkap! Sebelum Tampil di Citi Field, BTS Sempat Lakukan Hal Mengagumkan Ini, Army Pasti Bangga
Lanjut cerita, walaupun keingingan Ibu Kustijah untuk menghadiri resepsi pernikahan dan kemudian bertemu Pak Hargi tercapai, namun kesempatan untuk bernostalgia tidak jadi. Bertemu dalam tempo yang singkat dan keadaan desak-desakan pada saat antrean acara salaman membuat Ibu Kustijah menahan api nostalgiannya yang sedang membara.
Walaupun Ibu Kustihah berusaha menginisiasinya, namum buyar oleh gumaman para tamu yang berantre menunggu giliran mengucap salam. Satu hal menarik dari nostalgia yang urung ini adalah Ibu Kustijah datang ke hajatan itu membawa tiwul gaplek sebagai kado untuk mempelai, putra Pak Hargi.
Tiwul gaplek yang dimasak sendiri itu menurut Kustijah sebagai gambaran keadaan masa perang; dengan itu putera Pak Hargi akan tahu dan mengerti tentang perjuangan ayahnya. Seminggu kemudian kado-kado baru dibongkar.
Tiwul gaplek dalam keadaan menjamur dan bau busuk. Kado yang bertuliskan nama Kustijah itu dicampakkan ke tong sampah. Cerita berakhir, sementara putra Pak Hargi tidak sempat mengerti apa arti dibalik kado tiwul gaplek itu; Pak Hargi pun tidak sempat menahu soal kado itu.