Cerpen
Takdir: Cerpen Riko Raden
AKU tidak tahu ibu, mengapa takdir itu ada dalam keluarga kita. Mengapa keluarga Tono jauh bahkan tidak ada namanya takdir.
Penulis: Apolonia M Dhiu | Editor: Apolonia Matilde
Apa yang hendak kubawakan kepada ibu. Keluarga kami bisa hidup dari jualan kue donat ini, tetapi sekarang kue donat tidak laku.
Bagaimana keluarga kami bisa hidup. Ibuku saban pagi terpaksa membuat kue donat demi menghidupkan keluarga kami, tapi...!!
"Ibu, maafkan aku. Bukan bermaksud mengkhianati pekerjaan ibu. Tapi di kota ini ada banyak anak seusiaku yang berjalan kemari menjual kue, sehingga kadang kami bertengkar merebut uang seribu rupiah dari tangan pembeli. Sekali lagi, maafkan aku ibu!"
Aku duduk di samping kursi dekat ibu sambil melontarkan permohonaan maafku ini.
"Iya, Nak, tidak apa-apa, " suaranya pelan tapi pasti.
"Mungkin takdir telah merencanakannya. Masih ada hari esok, muda-mudahan takdir tidak akan datang esok hari sehingga jualan besok semuanya akan laku. Asalkan engkau tidak pernah putus asa pada takdir, " sambungnya.
Hatiku perih mendengar suara ibuku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Andai ayah masih hidup pasti hidup kami tidak merana seperti ini. Tapi aku sadar umur manusia batas 70 tahun dan 80 jika kuat. Dan, ayahku kalau dia masih hidup mungkin sekarang umur 81 tahun, karena umur ibu sekarang 80 tahun. Mereka beda satu tahun. Suasana dalam rumah begitu sepi, aku dan ibu terus duduk di atas kursi buatan dari bambu sambil menikmati udara malam.
Dalam hati kecilku ingin bertanya, mengapa mama sering melontarkan kata takdir dan itu terjadi dalam keluarga kami. Setiap kali menimpa keluarga kami selalu menyebut kata takdir. Emangnya takdir itu manusia atau bagaimana.
Seandainya manusia mengapa ibu tidak melawannya. Entahlah mungkin karena sifat ibu selalu lembut dan baik hati sehingga takdir itu datang terus dalam keluarga kami.
***
Hari berganti hari, aku terus merenung tentang takdir yang dilontarkan oleh ibuku. Aku berusaha untuk merenung dan memahaminya tetapi sangat sulit bagiku. Hingga akhirnya aku putus asa dan pergi tanpa meninggalkan pesan ataupun kesan kepada ibu. Aku pergi untuk mencari sesuap nasi di tanah orang demi kebahagian seorang ibu dan keluarga kami.
Walaupun umurku belum layak untuk menjadi seorang pekerja keras, tapi niat batinku ingin supaya aku ingin kerja karena aku tidak ingin saban pagi ibu bekerja keras apalagi usianya mendekati usia senja.
Di tanah rantau aku tidak pernah membayangkan bagaimana ekspresi hati ibu ketika anak semata wayangnya pergi tanpa meninggalkan pesan untuknya.
Tapi aku yakin ibu terus berada dalam naungan Tuhan, ibu selalu sehat dan pasti berdoa terus untuk ayah dan anak semata wayangnya.
Gemuruh angin siang bolong menghantam atap seng rumah perusahan kelapa sawit. Aku teringat, hari ini, tanggal 23 Juni, hari meninggal dunia ayahku. Tanpa berpikir panjang aku bergegas dan beranjak pergi untuk meninggalkan tempat kerja dan kembali ke rumah tinggal bersama ibu untuk membantunya mempersiapkan segala sesuatu sebagaimana ritus dalam budaya Manggarai.
Baca: BKN Umumkan Waktu Terbaik Kirim Persyaratan CPNS 2018 di Situs Sscn.bkn.go.id
Aku membeli sebuah rosario sebagai kenangan untuk ibu supaya saban malam dia berdoa untuk keluarga kami. Aku melihat dari kejauhan. Rumah kami sudah tua. Rumah itu dibangun ketika aku masih dalam kandungan dan selesainya saat aku sudah lahir. Yang memulai adalah ayah dan yang menyelesaikannya adalah ibu karena ayah meninggal waktu aku masih kecil.
Untuk ukuran kampung kami, rumah itu termasuk paling sederhana. Beratap alang-alang dan beralas tanah telanjang. Aku melihat dari kejauhan rumah itu sangat ramai. Suasana hatiku sangat senang karena persiapan peringatan meninggal ayah bukan hanya ibu sendiri tetapi semua warga kampung kami. Ketika aku mendekati pintu, aku mulai mendengar ada suara tangisan dari dalam kamar tapi bukan suara ibuku. Aku cepat-cepat melarikan diri ke dalam kamar ibu, kulihat ibu terbaring sakit di tempat tidur dan mungkin sesaat lagi dia akan meninggalkan aku selama-lamanya.
Aku memeluk ibu dan air mataku pelan-pelan mulai membasahi pipiku. Pada saat aku memeluknya, ibu berbisik kepada telingaku dengan suaranya tersendak-sendak,
"Nak, inilah takdir yang dialami keluarga kita. Jangan pernah putus asa pada takdir."
"Ibu, tolong ceritakan kepadaku, mengapa takdir ada hanya dalam keluarga kita, mengapa keluarga yang lain tidak ada." Pelan-pelan nafasnya sudah mulai hilang. Dia pun pergi untuk selamanya.
(Riko Raden, tinggal di Unit St. Rafael-Ledalero).