Cerpen
Takdir: Cerpen Riko Raden
AKU tidak tahu ibu, mengapa takdir itu ada dalam keluarga kita. Mengapa keluarga Tono jauh bahkan tidak ada namanya takdir.
Penulis: Apolonia M Dhiu | Editor: Apolonia Matilde
"AKU tidak tahu ibu, mengapa takdir itu ada dalam keluarga kita. Mengapa keluarga Tono jauh bahkan tidak ada namanya takdir dalam keluarganya. Dan takdir itu apa ibu?"
"Begitulah, nak, " jawab ibu.Tangan ibu sambil membelai rambut di kepalaku.
"Kadang takdir itu datang tanpa sebab dan tujuannya pasti ada. Kita tidak pernah menyangkal takdir yang kita alami. Kita harus tabah seperti batu karang di tanah Timor yang selalu kuat di bawah terikan panas matahari."
Begitulah jawaban ibuku dikala aku terus bertanya tentang takdir yang dialami keluarga kami.
Tetapi aku belum puas dengan jawabannya. Bagiku takdir membuat keluarga kami merana kelaparan dan tak pernah datang rejeki seperti keluarga Tono.
Mungkin karena ibuku malu memberikan jawaban yang pasti kepadaku karena usiaku semakin bertambah dewasa. Mungkin karena demikian sehingga ibuku enggan untuk memberitahukan kepadaku takdir yang terjadi dalam keluarga kami.
Baca: Pasukan Kirab Satu Negeri Diskusi Bersama Tim Redaksi Kantor Pos Kupang
Aku pun hanya berdiri menatap sebingkai foto yang terletak di dinding rumah kami.
Kala itu juga senja di bukit sandaran matahari pelan-pelan meninggalkan bumi. Aku terus menatap foto sosok ayah yang pernah kusimpan di dalam kamar tidurku.
Tetapi semenjak ayah meninggal dunia, foto itu diletakkan di ruang tamu supaya orang bertamu dan mengetahui bahwa aku memiliki seorang ayah.
***
Aku tidak tahu mengapa ayah meninggal dunia. Aku belum pernah melihat dan merasakan sosok ayah. Maklum, pada saat ayah meninggal dunia, umurku belum sampai satu tahun. Sehingga kasih sayang seorang ayah belum kurasakan sebagaimana yang dialami Tono tetangga kami.
Kepergiannya membuatku selalu punya waktu untuk berpikir tentang dia. Aku tak tahu apakah waktu dia pergi, dia masih mencintaiku atau tidak. Dia pergi pada saat aku belum melihatnya, ketika aku terlelap dengan usiaku yang masih mungil. Tapi aku yakin ayah sangat mencintaiku.
Aku ada di dunia ini karena ayah. Ketika dia meninggal dunia, keluarga kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sehari-hari ibu hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan ibu tidak mampu menghidupkan keluarga sebagaimana ayah masih hidup di tengah kami.
Baca: Hasto Sebut Jokowi Sudah Jalankan Pakta Integritas Ijtima Ulama
Ayah semasa hidupnya bekerja di perusahan yang sangat besar di negeri kami. Mendengar cerita dari ibuku, di tempat kerja, semua orang sangat menghargai ayah karena kepribadian sangat tenang dan suka menghargai orang lain.
Sekali lagi ibu melontarkan kata takdir pada saat ayah sudah meninggal dunia. Setiap kali ibu melontarkan kata takdir, dalam hatiku selalu bertanya, mengapa ibu selalu melontarkan kata itu. Tapi mungkin rahasia seorang ibu sehingga pantaslah kata itu selalu diucapnya atau hanya mungkin supaya takdir itu selalu dikenang dalam hidupnya. Tapi mengapa ibu tidak pernah menceritakan takdir itu kepadaku.
Pekerjaan ibuku saban pagi hanya menghasilkan kue donat dengan harga satu biji seribu rupiah. Biasanya ibu membuat kue donat sampai seratus biji. Karena usianya tidak muda lagi, apalagi suasana batinnya masih terkenang sosok seseorang yang telah meninggalkan dia selama-lamanya.
Pagi dan sore hari, biasanya aku yang menjual karena aku tidak ingin ibuku memamerkan wajah keriputnya di tengah kota ini. Pada saat menjual kue, mulutku tidak pernah diam sebagaimana penjual ikan yang saban pagi melintasi rumah kami.
Dengan bermaksud supaya semua orang mendengarkan suaraku.
Tetapi ada kalanya, suaraku banyak yang kurang suka. Mungkin terlalu ribut sehingga suasana dalam kota ini menjadi terganggu.
Suatu kali seorang kakek menegur karena suaraku terlalu keras. "Manusia yang tidak tahu diri, jangan membuat keributan di kota ini, pergilah dari sini dan bawalah jualanmu itu kepada babi yang masih lapar."
Baca: Fadli Zon akan Bentuk Paguyuban Korban seperti Ratna Sarumpaet, Neno, dan Ahmad Dhani
Teguran ini membuatku tersinggung sehingga mulai saat itu aku tidak pernah menjual di kota itu lagi. Aku pernah mendengar bahwa seorang kakek yang pernah menegurku telah meninggal dunia karena teriakan para demonstran di kota tersebut.
Ketika para demostran berteriak supaya orang miskin diperhatikan, dia terjatuh dan kepalanya terbentur di kursi yang empuk buatan uang rakyat.
Aku bukanlah tipe pendendam, dalam hatiku berdoa, semoga kakek itu dapat berubah ketika suatu saat nanti aku menjual kue di kota Bapaku di Surga.
Pada saat itu, suasana kurang mendukung untuk terus mengarahkan kakiku melangkah ke kota sebelah karena senja telah datang menyelimuti duniaku. Aku bergegas dan merapikan tempat jualan dan kembali ke rumah.
Di tengah perjalanan, suasana batinku tidak tenang karena jualanku tidak laku. Aku percuma datang pagi hingga sore hari tetapi tak satupun orang membeli kue donatku.