Berita Internasional
Dokter Suntik Mati Anak Usia 9 dan 11 Tahun di Belgia Karena Menderita Sakit Parah
Tiga orang anak berusia di bawah 18 tahun dilaporkan termasuk dalam pasien yang diizinkan untuk mati oleh otoritas Belgia selama dua tahun terakhir.
POS-KUPANG.COM - Tiga orang anak berusia di bawah 18 tahun dilaporkan termasuk dalam pasien yang diizinkan untuk mati oleh otoritas Belgia selama dua tahun terakhir.
Melansir dari New York Post, ketiga anak tersebut, yang masing-masing berusia 17, 11 dan sembilan tahun, diberi tindakan eutanasia dengan suntik mati karena menderita penyakit parah.
Tiga kasus eutanasia tersebut terjadi pada kurun waktu awal 2016 hingga akhir 2017, seperti diungkapkan dalam laporan Komisi Federal Pemantauan dan Evaluasi Eutanasia (CFCEE) di Belgia.
Tertulis dalam laporan tersebut, dokter di Belgia telah melakukan tindakan suntik mati kepada ketiga anak yang menderita penyakit parah itu.
Baca: Dr. David Goodall Akhirnya Disuntik Mati di Swiss, Disaksikan Cucu dan Iringan Musik Beethoven
Dengan tanpa mengungkapkan nama, remaja berusia 17 tahun menderita muscular dystrophy, yakni kelainan genetik yang menyebabkan penurunan dan hilangnya massa otot.
Anak berusia sembilan tahun dilaporkan menderita tumor otak ganas, sementara pasien berusia 11 tahun menderita cystic fibrosis, kelainan pada paru-paru dan sistem pencernaan yang dapat membahayakan nyawa.
Seorang pejabat dari CFCEE mengatakan kepada The Washington Post bahwa ketiga anak tersebut adalah pasien paling muda yang pernah dieutanasia, di Belgia maupun di dunia.
Hal tersebut dimungkinkan setelah pada 2014, pemerintah Belgia merevisi undang-undang eutanasia yang mengizinkan dokter secara legal mematikan jantung pasien anak-anak usia berapa pun.
Meski demikian, keputusan tersebut tetap harus dilakukan dengan memperhatikan keinginan pasien anak dan orangtua mereka.
"Kami melihat adanya penderitaan secara mental dan fisik yang luar biasa sehingga kami berpikir telah melakukan tindakan yang tepat," kata Luc Proot, anggota CFCEE, membela keputusan tindakan eutanasia terhadap anak-anak itu.
Meski demikian ada ahli yang berpendapat, tidak mungkin bagi seorang anak untuk mengambil keputusan yang membantu menentukan dilakukan atau tidaknya tindakan eutanasia terhadap mereka.
"Pada kenyataannya, tidak ada cara yang secara obyektif benar-benar dapat membantu Anda mengatakan bahwa seorang anak memiliki kompetensi penuh atau kapasitas untuk memberi dengan persetujuan," kata Stefaan Van Gool, profesor dan spesialis kanker anak.
Di Australia
Negara bagian Victoria, Australia, menjadi negara pertama yang melegalkan suntik mati atau eutanasia bagi pasien dengan harapan hidup kecil untuk menggunakan haknya untuk mengakhiri hidup dengan obat dosis tinggi.
Undang-undang diputuskan berlaku pada Juni 2019, setelah 100 jam pembahasan menuai perdebatan yang ketat. Victoria, menjadi satu-satunya wilayah di Australia yang melegalkan praktik suntik mati.
Dilansir dari AFP, Rabu (29/11/2017), Menteri Utama Negara Bagian Victoria, Daniel Andrews, yang mendukung UU tersebut mengatakan, setiap orang harus memiliki hak memilih untuk mengendalikan bagian terakhir dari perjalanan hidup mereka.
"Saya bangga hari ini, kita telah menaruh belas kasih yang tepat di tengah parlementer dan proses politik kita. Ini adalah politik yang terbaik," katanya.
Salah satu pasien, Jen Barnes, yang memiliki tumor di otaknya dan tidak bisa dioperasi, menyambut keputusan tersebut karena memberi orang seperti dia pilihan untuk mengakhiri hidup.
"Ini tidak mungkin hanya saya akan merasakan aturan ini, karena saya tidak mungkin berada di sini dalam waktu 18 bulan. Tapi untuk masa depan, saya pikir ini cara yang tepat untuk pergi selamanya," ucapnya.
Penundaan 18 bulan sebelum UU tersebut berlaku, disebabkan proses penyelesaian rincian, termasuk menentukan obat yang terbaik untuk suntik mati.
Eutanasia hanya dapat diakses oleh pasien yang sakit parah berusia di atas 18 tahun yang tinggal di Victoria setidaknya selama satu tahun, dengan harapan hidup kurang dari 6 bulan.
Baca: Paus Fransiskus Mengubah Pendirian Gereja Katolik tentang Hukuman Mati
Ketentuan harapan dalam UU itu berkurang dari enam bulan, usulan semula 12 bulan.
Namun, ada pengecualian untuk penderita penyakit yang berkaitan dengan motor neuron dan sklerosis ganda yang memiliki harapan hidup hanya satu tahun. Mereka yang mengajukan eutanasia akan diberi obat mematikan dalam waktu 10 hari. Pasien dapat secara mandiri menggunakannya, atau dengan bantuan dokter.
"Saya berharap pelaksanaan UU ini benar-benar mulai memberi harapan kematian yang baik, sebenarnya memungkinkan bagi orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mengakhiri hidupnya," kata Menteri Kesehatan Jill Hennessy.
Bantuan untuk semacam bunuh diri ini ilegal di sebagian besar negara di seluruh dunia. Hingga kini, sebenarnya eutanasia dilarang di Australia, meskipun merupakan legal untuk sementara waktu di Northern Territory sebelum undang-undang tersebut dibatalkan pada 1990-an.
Di Indonesia
Mengakhiri kehidupan pasien yang telah mencapai batas penyakit tertentu atau kerap dikenal dengan eutanasia tidak diperkenankan dalam hukum Indonesia.
Dokter yang melakukan praktik itu diancam pidana penjara 12 tahun.
Selain dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kode etik dokter juga melarang dengan tegas praktik eutanasia di Indonesia.
"Secara umum di kode etik itu, dan di sumpah dokter disebutkan bahwa dokter itu harus menghormati hidup insani dari pembuahan sampai pasien meninggial," kata Ketua terpilih Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Daeng M Faqih SH MH saat dihubungi, Minggu (7/5/2017).
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia tahun 2012, pasal 11 menyebutkan,
"Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani".
Poin kedua cakupan pasal 11 menyebutkan bahwa seorang dokter dilarang terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus, eutanasia, maupun hukuman mati yang tidak dapat dipertanggungjawabkan moralitasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Derita Sakit Parah, Anak Usia 9 dan 11 Tahun di Belgia Disuntik Mati", https://internasional.kompas.com/read/2018/08/09/17450801/derita-sakit-parah-anak-usia-9-dan-11-tahun-di-belgia-disuntik-mati.