Opini Pos Kupang

Begini Fenomena Transfer Politisi

Dalam dunia sepakbola, istilah transfer sudah sangat familiar. Istilah ini berkaitan dengan pembelian atau perpindahan

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi 

Dengan demikian partai bisa lolos dari persyaratan Presidential Treshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional dan Parliamentary Treshold 4 persen (https://nasional.kompas.com/read/2018/07/24/fenomena-caleg-artis-dan-transfer-polit isi).

Pola transfer seperti ini tidak berbeda dengan pola rekrutmen calon dalam pilkada yang juga mensyaratkan mahar politik. Dimana seorang calon yang (mau) diusung diwajibkan menyetor sejumlah uang kepada partai pengusung.

Sederhananya, jika ingin pencalonan bercalon mulus, maka harus menyerahkan sejumlah fulus. Lalu apa yang bisa dibaca dari fenomena mahar dan transfer politisi ini?

Mahar dan transfer politisi menunjukkan dengan terang bahwa politik kita memang transaksional. Para pelaku politik transaksional masih bebas bergentayangan di negeri ini. Pola transaksional menjadikan uang syarat utama berkarir di bidang politik.

Uang adalah garansi sukses bagi siapa saja yang ingin terjun ke dunia politik. Ketika uang menjadi penentu dalam proses politik, maka ancaman kematian demokrasi kian nyata.

Pola transfer dan mahar politik seperti ini tentu akan menyander politisi. Ketika kelak terpilih mereka pasti akan menempatkan kepentingan diri dan partai di atas kepentingan rakyat.

Wabah Korupsi

Politik transaksional membawa setidaknya dua dampak berikut. Pertama, politik transaksional menghasilkan pemimpin transaksional. Pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, memperkaya diri, membersarkan partai dan atau kelompok.

Pemimpin transaksional, dalam ranah eksekutif dapat dilihat dari kebijakan yang dihasilkan dan atau peraturan yang dikeluarkan; sedangkan pada ranah legislative dapat dilihat dari undang-undang yang ditetapkan, yang semuanya tidak mewakili aspirasi publik.

Kedua, politik transaksional akan memunculkan maraknya korupsi. Wabah korupsi sudah menghinggapi pemimpin (politik) di negeri ini baik di bidang eksekutif maupun legislatif mulai dari pusat hingga daerah.

Virus korupsi dikarenakan ketika terjun ke dunia politik, ada mahar yang harus ditebus. Mengikuti logika bisnis, dana yang telah dikeluarkan harus dikembalikan.

Karena itu ketika sudah berkuasa, sang pemimpin akan berusaha menutupi semua ongkos politik yang telah dikeluarkan. Dan jalan paling mudah adalah korupsi.

Melihat dampak destruktif ini, sudah saatnya genderang perang terhadap politik transaksional harus segera ditabuh. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam demokrasi harus menggunakan kekuasaannya untuk menghukum actor politik transaksional.

Politisi yang mengusung politik "sarat" kepentingan yaitu politik yang mengutamakan kepentingan pribadi dan atau kelompok harus dieliminasi.

Sebaliknya politisi yang mengusung politik "murni" kepentingan yaitu politik yang memperjuangkan kepentingan umum; mendahulukan kebutuhan masyarakat harus diberi tempat untuk mengabdi. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved