Breaking News

Opini Pos Kupang

Pogo Maghi Lewa Bale Wae Meze, Apresiasi untuk Uskup Maumere Mgr Ewaldus Sedu

Beliau menawarkan isu demokrasi dan kristokrasi dan dikaitkan dengan sosok teman kelasnya yaitu Uskup Maumere

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/EUGENIUS MOA
Mgr.Ewaldus Martinus Sedu, Pr 

Dalam tradisi lokal batangnya dapat menjadi bahan rumah adat di kampung yang disebut Sa'o Adha/Sa'o Ngaza, dan daunnya menjadi bahan atap dan dinding di kebun yang disebut Keka, dan di tempat penyulingan arak yang disebut Kuwu Tua. Batangnya juga dapat dibuat menjadi jembatan penyeberangan.

Kembali ke pertanyaan awal mengapa "Pogo Maghi Lewa Bale Wae Meze?" Apa arti 'Pogo dan "Bale Wae Meze?" Pogo = potong; bale = melintang ; Wae Meze = Air besar, sungai.

Dalam konteks tuturan ini, batang pohon Lontar yang tinggi kokoh itu dapat dipotong (pogo) untuk digunakan sebagai jembatan penyeberangan (bale) di atas sungai yang lebar (wae meze).. Hal mana terhubung dengan kisah Su'i Uwi dalam ritual Reba tentang asal usul dari salah satu grup migrasi orang Ngada; yaitu dari Sina One (China) -Selo One (Selor -Tanjung Selor di Kalimantan Timur), Jawa One (Jawa) -Bima (Sumbawa) -Wio (Sumba) lalu menyeberang ke Flores.

Mungkin grup migran ini menyeberang dari Kampung Wunga dewasa ini di sekitar Tanjung Sasar di Sumba Timur, sampai di Wae Meze ('Ae Mere -Aimere) di Lege Lapu di sebelah Ngalu Roga Watu Lamba -Ma'u Sui, Manggarai Timur.

Saya bersama Kakek Guru Wuda di sekitar Oktober tahun 1969, berkuda dari Ruto melewati muara Wae Mokel/Wae Meze yang lebar ke arah Mau Su'i.

Banyak buaya muara, yang dalam keyakinan lokal adalah juga representasi Mori Wae (Timor: Uis Pah/Bei Na'i Mota) di muara ini. Dan bersama tetua adat setempat yaitu Kakek Meka Dhoi, kami berburu rusa dan babi hutan di kawasan Ma'u Sui ini.

Singkatnya, batang 'Lontar Panjang' (Maghi Lewa) menjadi "padha jawa" ('jembatan damai sejahtera') untuk dapat melintasi Mae Meze menuju Ma'u Sui dengan tujuan mendapat hasil buruan berupa sui kogha ('daging rusa') dan sui mere ('daging babi padang rumput') di dunia ini.

Simpulan dari kajian budaya di atas adalah sebagai berikut. Manfaat arak dari nektar alkohol lontar dalam perjamuan ritual lokal (untuk dhi vedhi) ibarat anggur dalam perayaan Ekaristi (Luk 22: 19-20), dan fungsi dari batang lontar dalam kisah di atas berdaya manfaat ibarat 'jembatan penyeberangan yang menyelamatkan' (padha jawa).

Makna analogia entisnya dapat menjelaskan misteri kepemimpinan sakramental Gereja, menurut pola kesadaran dan kuasa Kristus (kristokrasi).

Imam (Uskup dan pastor) in persona Christi menjadi semacam padha jawa bagi aspirasi umat gembalaannya untuk disampaikan kepada Allah Bapa.

Hal mana juga dapat memberi inspirasi dan motivasi untuk semua pemimpin dari kalangan kristiani di wilayah publik, yang terplih oleh suara rakyat -dalam arti tertentu juga terhubung dengan suara Kristus. Dalam tradisi demokrasi ala Kasimo dan Frans Seda, terungkap dalam semboyan Fox Populi Fox Dei et Fox Populi Suprema Lex.

Kristokrasi Padha Jawa dan demokrasi Lege Neka

Istilah padha jawa dalam tuturan ini menjelaskan peran Kristus Yesus yang adalah pengentara tunggal antara Allah dan Manusia (1 Tim 2:5). Dia adalah Juruselamat dunia. Dia adalah jembatan penyeberangan antara dunia fana dan dunia kekal.

Dia adalah pembawa damai sejahtera dan sukacita kekal dari Kerajaan Allah yang benar (Rom 14: 17). Dengan demikian, seorang Uskup sebagai pengganti para rasul (Mat 16:16-23), dan seorang pastor yang ambil bagian dalam imamat Uskup (LG 12) itu, kiranya boleh menjadi "padha jawa" yang demokratis di tengah umatnya.

Tuturan Pata Dela tentang demokrasi menegaskan bahwa seorang pemimpin hebat itu ibarat "Padha Jawa Aze Lewa -We nge Lege go Neka" ('Jembatan damai sejahtera bertali panjang/Untuk bisa melingkar simpulkan aspirasi yang beraneka').

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved