Opini Pos Kupang

Pogo Maghi Lewa Bale Wae Meze, Apresiasi untuk Uskup Maumere Mgr Ewaldus Sedu

Beliau menawarkan isu demokrasi dan kristokrasi dan dikaitkan dengan sosok teman kelasnya yaitu Uskup Maumere

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/EUGENIUS MOA
Mgr.Ewaldus Martinus Sedu, Pr 

Oleh Dr. Watu Yohanes Vianey,M.Hum
LPPM Unwira Kupang

POS-KUPANG.COM - Istilah "Pogo Maghi Lewa Bale Wae Meze" ('Potong Lontar Panjang Menjembatani Sungai Lebar') adalah salah satu tuturan Pata Dela terkait mitos asal usul Kampung Adat Maghilewa yang terletak persis di lereng Gunung Inerie Rokka.

Ini kampung dari Niko Gapi, ayah dari Uskup Maumere yang baru, Mgr. Ewaldus Martinus Sedu,Pr. Nama gunung dan nama kampung ini telah ada dalam karya sejarah kolonial tahun 1889-1890.

Gubernur Jenderal Sloet van de Belle menugaskan Residen Timor membentuk suatu komisi ke Flores untuk menyelidiki apakah di wilayah lereng gunung Inerie Rokka, yang meletus tahun 1844 itu ada emas (wea) dan timah (bhura).

Pada ekspedisi pertama ini, konon turut serta Max Weber seorang pakar biologi dan etnologi dan Arthur Wichman, pakar geologi dari Belanda. Dikisahkan ekspedisi ini gagal menemukan deposit emas dan timah. Apesnya adalah peralatan ilmiah mereka dirampas oleh penduduk setempat.

Pasukan Marsose pada ekpedisi ini, kalah melawan kesaktian dan strategi perlawanan orang Maghilewa (Hans Daeng, 1989, Watu 2010).

Pertanyaan tulisan ini adalah apa makna dari tuturan Pata Dela di atas dalam konteks etos kepemimpinan publik dan komunitas Gereja? Pertanyaan ini dipicu tulisan Dr. Phil. Norbert Jegalus, MA, salah satu calon DPD NTT, yang berjudul "Memimpin Gereja di Era Demokrasi" (Pos Kupang 20 Juli 2018).

Beliau menawarkan isu demokrasi dan kristokrasi dan dikaitkan dengan sosok teman kelasnya yaitu Uskup Maumere. Mengutip Paus Benediktus XVI, Uskup dipilih oleh Gereja dalam kerangka kristokrasi (Chritocratie), dan bukan demokrasi (keine Demokratie), namun tetap membangun semangat demokrasi di dalam Gereja.

Apa arti dari tuturan Pata Dela di atas? Untuk menafsirkannya harus dipertanyakan apa bentuk, fungsi dan makna dari pohon Lontar (Maghi) di NTT. Lontar adalah pohon yang mempunyai keunggulan komparatif di seluruh tanah Flobamorata. Lontar bertumbuh subur di tanah kering nan kerontang sepanjang pesisir kepulauan NTT.

Seluruh unsur tubuh lontar dewasa yang tinggi nan panjang menjulang ke angkasa bermanfaat bagi saudaranya manusia.

Di wilayah pesisir perkampungan Maghilewa, Kecamatan Inerie dan sekitarnya sampai di wilayah pesisir Kecamatan Aimere dan Golewa Selatan di Boba, ribuan lontar itu memberi minuman tuak putih (tua bhara) dan tuak jernih (tua ara) yang menghidupkan dan sesekali mamabukkan bagi yang terlalu berlebihan untuk meminum sari nektarnya. Terkenal dengan sebutan "Arak Aimere" dan "Arak Boba".

Tuak dari pohon Maghi ini menjadi "anggur adat" dalam agama lokal orang Bajawa, yang tertenun dengan religi Hindu Purba, yaitu Hindu Vedhistis (Arndt, 1958); yaitu religi "Puju Vedhi" -puju pia -kuwi na'a -dhi vedhi (Watu, 2008; 2016).

Analogia entis dari alur tafsiran Maghi Lewa di atas sangat bisa dikaitkan dengan misteri kesadaran Kristus dan kuasa Kristus sebagai Pohon Anggur (Yoh 15). Yang dalam konteks tradisi lokal Ia hadir dalam dan melalui Pohon Lontar dan nektarnya.

Meminjam pemikiran St. Paulus, St. Agustinus, St. Bonaventura, dan St. Fransiskus dari Assisi, Lontar itu adalah "vestigia Dei in Christo" (Kol 1:15-17).

Seperti Kritus dalam kodrat kosmis Pohon Anggur (Yoh 15), Pohon Maghi sesungguhnya juga mengambil bagian dalam memberikan 'tubuh dan darah' kehidupan yang tuntas bagi manusia.

Maghi bukan hanya bermanfaat dari sisi pangan lokal (buah dan nektar tuaknya) seperti pohon anggur, tetapi lebih dari anggur, batang dan daunnya menjadi bahan bangunan lokal, tempat berlindung bagi manusia.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved