Breaking News

Opini Pos Kupang

Nyanyian One Api Pande Nggelok di Jalan Bersekam

Gerangan apa, sekelompok orang alias sejumlah penumpang colt itu menyanyikan lagu One Api Pande Nggelok di jalan

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi

Oleh: Marsel Robot
Dosen Undana Kupang

POS-KUPANG.COM - Di sungai tak berjembatan, terjal, lumpur, sekelompok orang turun dari colt berwajah sungut, menabur sekam sebelum colt melintasi jalan itu. Terasa ada getar dan ganjil yang mereka lakukan di sana. Sambil menabur sekam di atas jalan, mereka bernyanyi One Api Pande Nggelok (Dalam Api Penyucian).

Sebuah lagu requiem (lagu kematian) yang paling memilukan dalam rasa bahasa Manggarai. Padahal, lagu ini dilarang untuk dinyanyikan sembarang waktu, dilarang dinyanyikan sembarang tempat, bahkan, dilarang untuk dilatih. Artinya, lagu One Api Pande Nggelok hanya dinyanyikan jika ada orang yang meninggal dunia.

Gerangan apa, sekelompok orang alias sejumlah penumpang colt itu menyanyikan lagu One Api Pande Nggelok di jalan sambil menaburkan sekam? Siapa yang meninggal dunia? Apakah jalan berbecek itu diandaikan kuburan?

Lantas, sekam atau dedak dijadikan rampe? Jika jalan itu diumpamakan kuburan, lantas kuburan siapa?

Sungguh sebuah adegan simbolis yang berlinang makna satirik (sindiran) di dalamnya. Jika tindakan simbolis ini dipandang sebagai sebuah teks (bacaan), maka siapapun dapat menafsirkannya. Tentu validitas penafsiran selalu dihubungkan dengan konteks (lingkup situasi) munculnya perilaku simbolis itu.

Katakan, para penumpang itu mengandaikan jalan sebagai gundukan tanah kubur buat jenazah, dan dedak atau sekam yang ditabur sepanjang jalan terjal itu diumpamakan sebagai rampe, maka nyanyian One Api Pande Nggelok sejenis requiem atas wafatnya " hati nurani pemerintah" Manggarai Timur.

Kritikan melalui tindakan simbolis terasa jauh lebih getir dan melampaui kritikan via kata, frasa atau cara-cara verbal (bahasa). Sebab, tindakan simbolis semacam itu, melibatkan rasa, rasio dan pengetahuan sekitar tindakan itu agar dapat meraih pesan di baliknya.

Itulah sebabnya, tindakan simbolis bertahan lama dalam ingatan kita, pun terus mengguyur pesan-pesan tak mudah luruh oleh debu sejarah yang menutupinya. Tentu cara itu dipandang representatif ketika kata tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menembus telinga pemerintah.

Jalan yang dikenal Nampar Wae Ghera menghubungi Desa Rana Mbeling dan Desa Golo Nderu di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur menjadi momok bagi masyarakat.

Jalan itu pula yang melambangkan gerak-gerik kemajuan Desa Golo Nderu. Bahkan, Nampar Wae Ghera itu yang kemudian secara sisiologis melabeli orang Golo Nderu sebagai ata kesar (orang terbelakang, miskin).

Penanda paling kuat ata kesar adalah keterisolasian, kesulitan untuk mengenal dunia luar. Mereka asyik tumbuh sendiri dalam keisolasian. Biasanya julukan itu diikuti perilaku lain seperti minder, mudah gugup, dan gagap dalam pembangunan.

Jalan menuju Golo Nderu sangat buruk. Itulah kalimat yang sering kita dengar ketika orang melintasi daerah itu. Ucapan itu bentendensi sosiologis, bahwa dia tak ingin ke sana lagi.

Nampar Wae Ghera hanya satu halaman dari sekian halaman cerita derita sepanjang jalan raya di Manggarai Timur. Sebuah teks yang terus mengucapkan kenyataan pahit di wilayah itu.

Ironi lain datang menggigit rasa kemanusiaan ketika tumpukan data di atas kertas yang membuat saya merasa tersedak.

Di atas lembar-lembar kertas yang bertuliskan "Pidato Pengantar, Laporan keterangan Pertanggungjawaban kepala Daerah Akhir Tahun Anggaran 2017," Pada bagian atas foto bupati dan wakil bupati) dituliskan, panjang "jalan Kabupaten" 1.281.29 km dan jalan kabupaten dalam kondisi baik hingga tahun 2017 mencapai 544,35 km.

Itu berarti, separuh dari jalan Kabupaten di Manggarai Timur dikategorikan layak. Laporan itu ditulis dalam bahasa Indonesia yang buruk, tetapi ditutup dengan kover (sampul) sebuah gedung megah (kantor bupati) sebagai cara simbolis ala pemerintah untuk menyembunyikan keterbelakangan daerah itu.

Jalan raya yang dibuatkan di atas kertas oleh pemerintah Manggarai Timur sangat menakjubkan. Sementara kenyataannya sangat menyakitkan. Jika laporan semacam ini disampaikan kepada masyarakat Golo Nderu, masyarakat Elar atau masyarakat Manggarai Timur umumnya, maka dapat dibayangkan respon mereka seperti apa?

Akan tetapi, saya sangat mengagumi masyarakat Manggarai Timur. Mereka begitu tabah dengan keadaan seperti itu, begitu sabar hidup dalam tawanan isolasi dan serba sulit mengakses barang dan jasa lantaran infrakstruktur jalan raya yang sangat buruk. Toh, keluhan demi keluhan bagai angin sepoi yang melelapkan para pejabat di kursi empuk.

Tak perlu narasi jenial tentang pentingnya jalan raya. Setidaknya, jalan raya merupakan moderator kemajuan. Membangun jalan raya adalah membangun kesadaran dan peradaban.

Selain memudahkan akses barang dan jasa, tetapi jauh lebih penting ialah jalan mempunyai efek yang kuat terhadap kasadaran seperti cara mereka menerima perubahan, cara mereka memberi makna pada barang dan bukan benda, dan cara mereka memajukan diri.

Sebab, penetrasi informasi penting kian masif menggenangi pemikiran mereka. Karena itu, pemerintah tidak perlu shok pintar mengajarkan mereka menanam kopi, cengkeh, vanili, kopi, coklat, dan jenis tanaman komoditi lainnya, atau mengirimkan anakan pohon ke pedalaman sekadar menghamburkan uang proyek dengan rekanan seraya bersama mereken rente.

Begitulah, bepergian ke Manggarai Timur (Flores, NTT), Anda seakan sedang berwisata kemiskinan. Anda akan berjumpa dengan masa lalu yang syarat nostalgia getir. Mengarungi jalan rusak, jalan aspal yang asal-asal. Pengendara motor dan truk bagai bercanda dengan maut. Jalan raya dibuat hanya berusia dua bulan.

Bukankan ini sebuah ironi yang lebih menyakitkan rakyat? Peluh dan perih dinikmati sebagai takdir, bulan di atas sana seakan berpose romantik mengejek keadaan yang begitu lamban, menjauh dan rabun.

Kadang-kadang sikap frontal dan sikap lugu mereka terdengar dalam lagu-lagu sangat ekstrem, seperti danding-danding (tarian keliling) diiringi nyanyian kritikan pedas, tapi juga tak kurang lagu sendu melankolis meratapi nasib mereka dan bagaimana mereka menerima hidup sebagai alam membonuskan hidup ini kepada mereka.

Tetapi, saat ini mereka masih terus-terus mengarungi jalan bersekam sembari menyanyikan lagu One Api Pande Ngggelok (Dalam Api Penyucian) mengiringi jenazah "nurani pemerintah". Tetapi, mereka tak pernah menghitung larut sambil menunggu di jendela. Dengan hati yang dingin, sabar, setia, selalu menunggu arakan pembangunan yang kian menyiksa.

Kini, rakyat Manggarai Timur telah memilih pemimpin baru. Jika reken-reken (perhitungan) cepat dipercaya, maka paket "Aset" (Andreas Agas dan Stefanus Djahur) yang bakal memimpin daerah itu. Dua saudara saya ini datang dari kubu masa lalu yang sama. Datang dari pemerintahan yang tidak sukses. Toh, rakyat menghendaki mereka.

Tentu ini berarti, sebuah wantihan buat saudara berdua bahwa kegagalan pembangunan di Manggarai Timur harus dijadikan referensi penting di ruang refleksi. Anda berdua diminta melakukan inovasi, kreatif, dan karitatif, banting stir dan banting tulang membangun Manggarai Timur.

Jika tidak, dan hanya melap-lap guci lama, maka Manggarai Timur hanya tempat bersedih bersama. Dan Nyanyian One Api Pande Nggelok terus didengungkan dan di jendela sana, tepat pukul tiga sore, seorang menyahutnya dengan seruan teramat sendu: Eloi, Eloi, Lamasabakhtani. (Allahku, Ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Daku). *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved