Polri dan Soteriosentrisme Pancasila, Apa Sih Maksudnya?
Isi doanya memperlihatkan visi soteriosentrisme yang dianutinya, dihayatinya dan diamalkannya. Soteriosentrisme
Oleh: Dr. Watu Yohanes Vianey, M.Hum
Staf Pengajar Unwira Kupang
POS KUPANG.COM - Pada bulan Mei 2018, polisi yang bertugas di Jakarta, Surabaya, dan Pekanbaru menjadi sasaran serangan teroris. Khusus di Pekanbaru, Ipda Auzar yang bersahabat dengan Wakapolri meninggal dunia akibat ditabrak teroris dengan menggunakan mobil. Ia meninggal di tempat tugas.
Pesan WA Auzar sebelum kematiannya pada para sahabatnya, saudara-saudaranya, orang-orang yang dihormati dan dicintainya berisikan doa pada Tuhan agar semua mereka memperoleh keselamatan yang integral dan komprehensif.
Performasi doanya antara lain berbunyi: "Ya Allah .. beri mereka kesehatan, tawadhu dalam iman dan islam, keluarga yang bahagia, rizki yang barokah ."
Isi doanya memperlihatkan visi soteriosentrisme yang dianutinya, dihayatinya dan diamalkannya. Soteriosentrisme berasal dari kata Yunani soter yang berarti keselamatan.
Soteriosentris secara etimologis berarti berpusat pada keselamatan. Wacana soteriosentrisme yang berpusat pada isu keselamatan ini, merupakan kerinduan hati nurani setiap manusia. Manusia yang berkehendak baik, berperasaan halus, dan berpikiran cerdas merindukan adanya suasana keselamatan.
Dalam bahasa doa polisi di atas indikator datanya antara lain pada performasi hadirnya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Yang Ilahi (tawadhu dalam iman, harapan dan kasih pada Tuhan), hubungan yang harmonis dan sehat antara manusia dengan diri dan sesamanya, dan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam sekitarnya sebagai satu kesatuan biotis yang saling melayani dan menghidupkan.
Sepantasnya dari sisi soteriologi (`teologi keselamatan') sebagaimana ditekankan salah seorang teolog agama-agama, yaitu Paul F. Knitter, bahwa berbagai bentuk penderitaan yang dialami umat manusia dan kerusakan alam yang disebabkan oleh keserakahan manusia haruslah menjadi "medan bersama" semua penganut agama untuk fokus dan berjuang bersama bagi keselamatan bersama yang konkret, integral dan konprehensif.
Keselamatan yang integral adalah keselamatan jatidiri isani yang utuh dan menyeluruh dari tubuh, jiwa dan roh manusiawi. Keselamatan yang konprehensif adalah keselamatan manusia di dunia ini dan di dunia yang `akan datang' (akhirat -pleroma) atau keselamatan di dunia hic et nunc (sekarang dan di sini) dan keselamatan abadi di surga.
Pertanyaan tulisan ini bukan tentang bagaimana rumusan soteriologi agama-agama resmi dan agama-agama asli di Indonesia?
Tetapi tentang konsep keselamatan macam apa yang member inspirasi bagi kaum teroris, sehinggaa tega membunuh sesama manusia seperti polisi dan menghancurkan lingkungan natural dan kultural seperti bangunan gereja?
Apakah dapat dibenarkan jika seseorang atau sebuah komunitas keluarga kompak untuk bom bunuh diri, bom bunuh sesama, dan bom untuk menghancurkan rumah ibadat agama tertentu demi memperoleh keselamatan?
Bagaimana ideologi keselamatan versi kaum teroris itu dipandang dalam terang ideologi Pancasila? Kemungkinan soteriosentrisme seperti apakah yang dapat kita konstruksi dari rumusan Pancasila?
Soteriosentrisme Pancasila
Ancaman radikalisme yang menjadi bibit awal terorime begitu nyata di negri ini, bahkan bibit itu hadir dan bertumbuh juga dalam dan melalui lembaga pendidikan di Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan sikap intoleran dan paham radikal tersebut.
Agus Mutohar, peneliti dari Monash University mengidentifikasi tiga jenis sekolah yang rentan terhadap tumbuhnya paham radikalisme. Penelitiannya pada 20 Sekolah Swasta di Jateng mengkategorikan tiga jenis sekolah tersebut dalam istilah: Sekolah Tertutup; Sekolah Terpisah; dan Sekolah Identitas Tunggal.
Selanjutnya, Joshua Roose dari Australian Catholic University (lih.The Conversation, 20 Mei) mengatakan bahwa bertumbuh kembangnya kelompok ekstrem kanan dan kembalinya para pegiat Negara Islam (IS) Suriah justru memberikan tantangan yang berat bagi negara dalam mengatasi problem terorisme.
Hal senada diingatkan oleh Wahid Institute, Pusat Pengkajian Islam Masyarakat dan Setara Institute.
Pancasila sebagai ideologi NKRI dan filsafat hidup Nusantara rasanya berlawanan dengan fenomena dan noumena radikalisme dan terorisme yang menganut paham soteriosentrisme versi inspirasi `aliran kecil' dari agamanya.
Unik bin aneh, jika keselamatan di dunia akhirat, ditentukan dengan selera untuk jadi `pengantin bidadari surgawi' melalui tindakan bunuh orang kafir dan merusak rumah-rumah ibadatnya.
Maka radikalisme dan terorisme sejenis ini, eviden bertentangan dengan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab dan sila persatuan Indonesia. Maka cita-cita membentuk Negara Islam melalui kegiatan ini langsung melawan sila III, persatuan Indonesia.
Begitu pula tindakan bom bunuh diri, bunuh sesama dan menghancurkan rumah ibadat seperti gereja, jelas bertentangan dengan sila kedua yaitu perikemanusiaan yang adil dan beradab. Singkatnya, tindakan teroris adalah tindakan yang berperi kebinatangan yang liar dan buas.
Dalam konteks soteriosentrime, ide keselamatan yang terhubung dengan Pancasila adalah jenis keselamatan yang integral dan komprehensif. Misalnya dalam hubungan dengan sila ke V Pancasila memberi afirmasi tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial adalah tanda nyata dari hadirnya keselamatan di dunia kehidupan hic et nunc. Dan dalam hubungan dengan sila pertama yang menyebut tentang prinsip Ketuhanan Yang Mahaesa, keselamatan yang diperjuangkan adalah juga masalah toleransi hidup beragama untuk menghasilkan keharmonisan hidup di dunia sekarang dan di sini, di NKRI.
Sila pertama tidak memberi ruang bagi salah satu penganut agama di Indonesia untuk memaksakan pemberlakukan hukum-hukum agamanya bagi penganut agama lain.
Usul saya, kiranya Polri dan seluruh elemen bangsa melakukan tindakan afirmasi untuk dukung kebijakan pendidikan nasional era Jokowi dewasa ini, untuk sungguh berpihak pada ideologi Pancasila dan Konstitusi Negara yang menjunjung tinggi pilar-pilar kebangsaan kita.
Dengan demikian para guru dan dosen yang terbukti menjadi agen radikalisme dan terorisme harus diberi tindakan hukuman yang tegas dan adil. Begitu pula para siswa dan mahasiswa yang menganut paham tersebut juga harus memperoleh perlakukan hukum yang sama.
Untuk itu semua elemen bangsa yang bergiat di medan pengajaran dan pendidikan ini baik negeri maupun swasta sepantasnya punya visi dan misi soteriosentrisme Pancasila.
Dalam tradisi agama Katolik, misalnya, karya pastoral Gereja di bidang pendidikan, termasuk pada pendidikan di sekolah kader seperti seminari, tidak eksklusif dengan pengajaran dan pendidikan berbasis cura animarum ("pelayanan jiwa dan rohani insani") yang bernaopskan kekatolikan semata, tetapi terbuka atau inklusif terhadap pengajaran dan pendidikan berbasis cura hominum ("pelayanan kemanusiaan manusia yang seutuhnya).
Itulah nilai kebenaran pengajaran dan pendidikan yang terpantul berkat adanya energi Ilahi yang menerangi dan menjiwai Gereja, yaitu Roh Kudus, untuk terus mengarahkan manusia kepada sasaran keselamatan yang integral dan komprehensif. *