Polwan Ungkap Kelakuan Rekan Polisi Kepada Korban Kekerasan, Seperti Semut Mengerubuti Gula
Polwan ungkap kelakuan rekan polisi kepada perempuan korban kekerasan, seperti semut mengerubuti gula katanya.
Penulis: OMDSMY Novemy Leo | Editor: OMDSMY Novemy Leo
Laporan Reporter Pos-Kupang.com, Novemy Leo
POS-KUPANG.COM - Polwan ungkap kelakuan rekan polisi kepada perempuan korban kekerasan, seperti semut mengerubuti gula katanya.
Kelahiran Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum merupakan hadiah terindah bagi setiap perempuan dan anak di seluruh Indonesia dan juga NTT.
Sejauhamana Perma yang diterbitkan tanggal 11 Juli 2017 dan berlaku sejak tanggal 4 Agustus 2017 itu sudah diimplementasikan oleh setiap hakim di Pengadilan dan bagaimana dampaknya bagi perempuan dan anak, semua terungkap dalam diskusi Komprehensif LBH Apik NTT bersama Harian Pagi Pos Kupang, Rabu (24/52018) pagi.

Perma 3 tahun 2017 berisi panduan bagi hakim di pengadilan negeri, agama, militer dalam mengadili perkara perempuan baik dalam kapasitas mereka sebagai pelaku, korban maupun saksi.
Hal ini berlaku dalam penanganan urusan pidana, perdata, dan tata usaha Negara. Juga agar para hakim mau dan bisa menerapkan asas-asas yang mesti dijadikan pedoman di pengadilan.
Dalam diskusi itu, peserta mengungkapkan hingga saat ini masih banyak pencari keadilan yang miris dengan perilaku aparat penegak hukum (APH) yakni Polisi, Jaksa dan Hakim, karena tidak responsive dan berprespektif gender dalam menangani perempuan dan anak.
Pdt. Emy Sahertian, dari Sinode GMIT NTT merasa miris menyaksikan dan mendengar langsung oknum APH masih menggunakan kata-kata yang memojokan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum.
"Ada pertanyaan, kamu rasa nikmat ga? Ini adalah pertanyaan dan kata-kata yang membuat kami cukup shok saat mendampingi korban, apalagi yang bertanya itu adalah seorang APH perempuan. Kata-kata itu membuat korban trauma dan akhirnya enggan mengungkap kasusnya," kata Pdt. Emy.

Karenanya Pdt. Emy menilai Perma 3 adalah regulasi yang sangat human orientasi. "Gereja sangat bersyukur atas hadirnya Perma 3 ini, karena aturan ini memposisikan perempuan sebagai korban adalah manusia bukan lagi objek. Berharap agar Perma ini bisa diimplementasikan dengan," harap Pdt. Emy.
"Informasi itu sampai ke telinga kami. Dan kami tidak tahu apakah pertanyaan seperti itu memang digunakan untuk pertimbangan dalam menentukan kasus atau bagaimana," kritik Philipus dan Siti Qulsum.
Ester M Mantaon, SH advokad dan Lorina Adi, Paralegal LBH APIK NTT mencontohkan perilaku hakim yang masih memojokkan klien perkara perceraian. "Klien saya malah dituduh berselingkuh agar bisa bercerai. Kami merasa itu pernyataan yang sangat diskriminasi," kritik Ester.
Lorina menggugah Komisi Yudicial, "Kami ini masyarakat awam, jika berhadapan dengan hakim yang sering menanyakan pertanyaan memojokan seperti itu maka kami harus lapork kemana?"

Philipus M Djemadu dari Ombudsman Perwakilan NTT, kecewa sebab ada APH yang menanyakan riwayat atau latar belakang kehidupan seksual korban.
Pdt. Ina Bara Pah, S.TH berharap selain hakim, polisi dan jaksa mestinya juga memiliki pedoman untuk menangani kasus kekerasan agar tak ada diskriminasi terhadap perempuan dan anak.