Kampanye Pilkada NTT Itu Antara Retorika dan Kinerja
Berbagai advertorial di media massa dipublikasikan. Pertemuan dan berbagai metode pendekatan digelar di hampir setiap daerah.
Mencermati hakikat pemilu, kampanye seharusnya merupakan saat di mana rakyat dapat mempertajam kesadaran politiknya dan dengan demikian dapat menentukan pilihan politiknya. Pemilu-pemilu Orde Baru tidak melakukan hal itu.
Kampanye-kampanye dalam pemilu hanyalah momen untuk menunjukkan kekuatan. Kampanye adalah proses pembohongan rakyat dengan seribu janji manis dan muluk yang tidak terealisasi.
Rakyat diajak ke arena kampanye bukan untuk sebuah pendidikan dan pencerahan politik tetapi untuk menonton sandiwara dan menyambungkan agresinya pada gebyar kekuatan yang dipamerkan para artis.
Akibatnya, bukan kampanye yang penting melainkan pawai, rasa puas pada sang penyanyi atau pesulap. Apalagi partai merekrut para artis dan selebritis sebagai juru kampanye.
Tebar Retorika
Publik tentu berharap agar masa kampanye Pilkada NTT ini berlangsung aman, damai dan sanggup mendidik rakyat. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan setiap paket adalah memberikan penyadaran politik kepada rakyat sepanjang waktu.
Dalam bahasa Max Weber, kampanye politik harus memenuhi kepentingan ideal pemilih. Karena itu, manajemen emosi politik pemilih adalah perjuangan tanpa henti yang berpuncak pada kampanye formal menjelang pemilu.
Kunci sukses inilah yang belum dimiliki sebagian besar (kalau tidak semua partai politik di Indonesia). Kampanye masih sebatas retorika politik dan perjuangan kekuasaan.
Retorika dalam peradaban Yunani Kuno adalah ilmu yang paling tinggi, yang digemari para filsuf dan menjadi bagian dari eksistensinya. Setiap orang tua di Yunani saat itu mendambakan anaknya belajar retorika.
Para filsuf Yunani adalah orang-orang bijak yang sangat menguasai retorika. Selain dikaitkan dengan kemahiran berbicara, kemampuan menguasai massa dan menyihir massa, retorika diyakini sebagai ilmu yang memampukan seseorang menjadi primus inter pares (pertama dari sesamanya).
Karena itu, negara ideal menurut Plato adalah negara yang dipimpin oleh seorang filsuf, yang tentu juga mahir retorika. Retorika dengan demikian bukan saja apa yang verbal, tetapi sesuatu yang terpancar dari dalam diri yakni kebijaksanaan.
Dengan itu, retorika selalu mengandikan dua hal ini, penampilan lahiriah dan spirit batiniah atau dalam bahasa kita saat ini tebar kata-kata sekaligus tebar kinerja.
Dalam masa-masa kampanye ini, para kandidat gubernur akan mengeluarkan semua amunisi retorika yang sudah disediakan. Berbagai persoalan khas NTT, tema-tema menarik, issu-issu strategis menjadi bagian dari materi kampanye.
Mungkin juga pemetaan kebutuhan setiap daerah dan berbagai kritik atas kekurangberesan Provinsi NTT selama ini. Dan kita terus berharap agar apa yang dikatakan, dikampanyekan itu tidak sebatas retorika sebagai permainan kata-kata.
Walau sukses tidaknya kampanye partai politik ditentukan oleh banyak hal seperti berbagai kekuatan partikel-partikel ekonomi, politik dan sosial, namun yang patut diingat adalah yang keluar sebagai pemenang harus mengkonversikan retorika menjadi kinerja, janji-janji menjadi realitas.
