Deretan Calon Kepala Daerah yang Ditangkap KPK karena Kasus Suap, Sudah 3 Cagub 2 Cabup
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan, dari beberapa kasus yang ditangani, KPK menemukan fakta bahwa biaya politik memang tidaklah murah.
POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Biaya atau ongkos politik menjadi seorang kepala daerah tidaklah murah. Tak sedikit yang kemudian terjerat kasus korupsi dalam memenuhi kebutuhan ongkos politik mereka.
Hal itu karena mereka melakukannnya dengan perbuatan atau cara-cara yang melawan hukum.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan, dari beberapa kasus yang ditangani, KPK menemukan fakta bahwa biaya politik memang tidaklah murah.
Tak hanya untuk kampanye, lanjut Basaria, biaya tersebut meliputi pembayaran saksi hingga mahar.
Baca: 7 Alasan Relawan Tak Berpaling dari Marianus Sae-Emi Nomleni, Isyarat Jempol dari Gedung KPK
KPK sudah melakukan kajian untuk mengatasi hal ini. Misalnya, seharusnya partai politik dalam merekrut anggotanya menerapkan persyaratan khusus. Setelah menjadi anggota partai, harus dilakukan kaderisasi.
"Setelah jadi anggota partai tentunya harus ada kaderisasi termasuk tidak menghalalkan segala macam cara. Jadi partai, dia jadi anggota politik, jangan dimanfaatkan untuk dapat penghasilan dengan cara tidak halal," kata Basaria, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (1/3/2018).
KPK juga sudah mengunjungi 10 partai politik yang mempunyai kursi di parlemen.
Dari pertemuan dengan para partai politik itu KPK menekankan mengenai kode etik partai.
Baca: Ini Kronologi Marianus Sae dan Ambrosia Tirta Santi Ditangkap di Surabaya
Dalam kajian KPK, subsidi pemerintah untuk dana partai politik juga masih rendah.
Saat ini, pemerintah baru menyanggupi Rp 1.200 persuara. Padahal, kajian KPK menyarankan seharusnya dana untuk parpol sebesar Rp 10.000 persuara.
"Kita juga ada saran agar biaya saksi dan kampanye difasilitasi pemerintah, termasuk kampanye," ujar Basaria.
Meski begitu, lanjut Basaria, apapun alasannya politik haruslah bersih. Jika tidak, begitu menjadi kepala daerah, justru berpotensi berperilaku koruptif.
"Karena tidak mungkin pengusaha beri uang pada para calon tanpa ada kompensasi, tidak ada yang gratis," ujar dia.
Baca: OTT Marianus Sae Diduga Terkait Fee Proyek
"Tentu kita enggak bisa kita katakan semua (seperti itu). Walau prediksi kita, bisa saja (semua), tapi kita enggak bisa buktikan. Yang bisa kita katakan yang sudah, pasti yang kita sudah tangkap," ujar dia.
Sepanjang Januari hingga Maret 2018, terdapat sejumlah calon kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan ( OTT) KPK, karena mencari modal untuk ongkos politik lewat cara kotor.
Berikut daftar yang dirangkum Kompas.com:
1. Calon Gubernur Sulawesi Tenggara
Kasus terbaru yakni tertangkapnya calon gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun.
Selain Asrun, KPK menangkap anak Asrun, Adriatma Dwi Putra, yang merupakan Wali Kota Kendari.

KPK melakukan OTT terhadap Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra, cagub Sultra Asrun, mantan Kepala BPKAD Kendari Fatmawati Faqih dan pemilik dan Direktur PT Indo Jaya dan PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah.
Adriatma diduga menerima suap dari Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah senilai Rp 2,8 miliar.
Suap itu terkait proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kendari tahun 2017-2018.
Uang suap tersebut diduga digunakan untuk ongkos politik ayahnya yang mencalonkan sebagai cagub Sultra di Pilkada 2018.
Asrun yang pernah berkuasa 10 tahun sebagai Wali Kota Kendari dua periode sejak 2007-2017 menggunakan mantan Kepala BPKAD Kota Kendari, Fatmawati Faqih, untuk jadi penghubung dengan pihak pemberi suap, dalam hal ini Hasmun.
Sementara Adriatma diduga bekomunikasi dengan Hasmun untuk meminta uang bagi kepentingan biaya politik ayahnya.
2. Calon Gubernur Lampung Tengah
Calon Gubernur Lampung Tengah, Mustafa ditangkap KPK.
Selain menjabat Bupati Lampung periode 2015-2020, Mustafa merupakan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Lampung.

Belum selesai menjabat sebagai Bupati Lampung, Mustafa berambisi maju dalam Pilgub Lampung 2018.
Mustafa berpasangan dengan Ahmad Jajuli, anggota DPD dari Provinsi Lampung.
Pasangan Mustafa-Ahmad Jajuli diusung Partai Nasdem, PKS, dan Hanura.
Namun, ambisi Mustafa tersebut harus tersendat dengan kasus korupsi. Mustafa ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK, pada Kamis (16/2/2018) malam.
KPK menduga Mustafa terlibat tindak pidana suap kepada pihak DPRD Lampung Tengah.
Kasus suap bermula saat pihak Pemkab berencana meminjam dana sebesar Rp 300 miliar kepada perusahaan BUMN, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Permintaan peminjaman dana itu memerlukan persetujuan dari DPRD.
Untuk memuluskan rencana itu, Mustafa bersama Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah Taufik Rahman diduga menyuap dua anggota DPRD Lampung Tengah.
Jumlah suap yang diberikan untuk Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lampung Tengah, J. Natalis Sinaga, dan anggota DPRD Lampung Tengah, Rusliyanto, tersebut sebesar Rp 1 miliar.
3. Calon Gubernur NTT
Kasus berikutnya terjadi pada calon gubernur Nusa Tenggara Timur Marianus Sae.
KPK menduga, Bupati Ngada itu menerima suap untuk untuk biaya pencalonan sebagai gubernur NTT.
KPK menahan Bupati Ngada Marianus Sae, Senin (12/2/2018).

Marianus diketahui maju sebagai bakal calon gubernur NTT di Pilkada 2018 bersama bakal cawagub NTT, Eni Nomleni.
"Apakah ini akan dilakukan untuk biaya kampanye, prediksi dari tim kami kemungkinan besar dia butuh uang untuk itu," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (12/2/2018).
Hal ini baru sebatas dugaan karena KPK belum menemukan aliran dana dari Marianus untuk pihak-pihak yang terkait Pilkada NTT.
Meski begitu, saat operasi tangkap tangan dilakukan, Minggu (11/2/2018), KPK mendapati Marianus sedang bersama dengan Ketua Tim Penguji Psikotes Calon Gubernur NTT Ambrosia Tirta Santi.
Baca: Surat Cinta Marianus Sae untuk Emi Nomleni dan Relawan MS-Emi
Saat itu keduanya tengah bersama di sebuah hotel di Surabaya. KPK belum menemukan apakah Ambrosia diduga memperoleh sesuatu dari Marianus.
Marianus diduga menerima suap dari Wilhelmus terkait sejumlah proyek di Kabupaten Ngada.
Suap untuk Marianus diduga diberikan Dirut PT Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu. Wilhelmus diketahui merupakan salah satu kontraktor di Kabupaten Ngada yang kerap mendapatkan proyek di Kabupaten Ngada sejak 2011.
Dalam kasus ini, Marianus diduga menerima suap Rp 4,1 miliar dari Wilhelmus.
4. Calon Bupati Subang
Kasus berikutnya terjadi pada kasus suap Bupati Subang Imas Aryumningsih.
Imas, diduga menerima suap untuk ongkos politiknya maju di periode ke dua sebagai Bupati Subang di Pilkada 2018. Imas diduga menerima suap terkait pengurusan perizinan di lingkungan Pemkab Subang.

"Sebagian uang yang diterima diduga juga dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye bupati," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Imas juga menerima fasilitas terkait pencalonannya tersebut antara lain berupa pemasangan baliho. Tak hanya itu, juga sewa kendaraan berupa mobil Toyota Alphard untuk kebutuhan kampanye.
Suap itu berasal dari pengusaha bernama Miftahhudin. Dia diduga memberi suap untuk mendapatkan izin prinsip untuk membuat pabrik atau tempat usaha di Subang.
Pemberian suap dilakukan melalui orang-orang dekat Imas yang bertindak sebagai pengumpul dana.
Diduga, Bupati dan dua penerima lainnya telah menerima suap yang total nilainya Rp 1,4 miliar.
Adapun, commitment fee antara perantara suap dengan pengusaha sebesar Rp 4,5 miliar.
Sementara, commitment fee antara Imas dengan perantara suap sebesar Rp 1,5 miliar. Dalam kasus ini, KPK menetapkan Imas dan Miftahhudin sebagai tersangka.
Dua tersangka lainnya yakni Kabid Perizinan DPM PTSP Pemkab Subang, Asep Santika dan pihak swasta bernama Data. Imas, Asep dan Data disangkakan sebagai penerima suap dalam kasus ini. Sementara Miftahhudin merupakan pihak pemberi suap.
5. Calon Bupati Jombang
Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko menjadi tersangka dalam kasus suap terkait perizinan pengurusan jabatan di Pemkab Jombang.
Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang mengenakan rompi tahanan memberikan keterangan pers seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (4/2/2018).

KPK resmi menahan Nyono Suharli yang terjaring dalam OTT KPK terkait perizinan penempatan jabatan di Pemkab Jombang.
Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang mengenakan rompi tahanan memberikan keterangan pers seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (4/2/2018).
Nyono diduga menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti sebesar Rp 275 juta.
Uang suap ini diduga digunakan Nyono untuk ongkos politiknya maju di periode kedua sebagai Bupati Jombang di Pilkada 2018.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Laode M Syarief saat memberikan keterangan pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (4/2/2018).
"Diduga sekitar Rp 50 juta telah digunakan NSW (Nyono) untuk membayar iklan terkait rencananya maju dalam Pilkada Kabupaten Jombang 2018," ujar Laode.
Menurut Laode, uang suap tersebut berasal dari kutipan atau pungutan liar jasa pelayanan kesehatan dan dana kapitasi dari 34 puskesmas di Jombang.
Sementara itu, suap tersebut diberikan Inna agar Nyono selaku bupati menetapkan Inna sebagai kepala dinas kesehatan definitif.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan keduanya sebagai tersangka. (Robertus Belarminus)
Berita ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul : 5 Calon Kepala Daerah Ini Diduga Terima Suap untuk Modal Kampanye