Polri, Kuda dan Pilgub NTT
Bagaimana implikasi maknawinya untuk Polri dalam mengawal keamanan dan kenyamanan pesta demokrasi Pilgub di NTT?
Oleh: Dr. Watu Yohanes Vianey,M.Hum
Dosen Unwira Kupang
POS KUPANG.COM -- Kuda dalam beberapa bahasa lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT) disebut "jara" (Jawa = jaran). Kuda bukan sekadar hewan natural, tetapi telah menjadi hewan kultural dan bahkan ada sebagian agama lokal menjadikannya sebagai hewan spiritual.
Dalam antropologi budaya di NTT, kuda bukan hanya sebagai hewan untuk belis dan hewan kurban dalam ritual tertentu, tetapi juga menjadi hewan pelindung totemik. Sebagai hewan pelindung totemik itu, dalam tradisi Bajawa misalnya, disebut dalam nama kolektif "jara ngai" ('kuda pembawa kekayaan hidup').
Insitusi Polri di tanah air telah menjadikan "patung kuda" sebagai salah satu simbol kultural mereka. Di halaman depan Kantor Polda NTT Anda dapat menyaksikan kegagahan dari patung kuda dimaksud. Namun pertanyaan tulisan ini adalah apa etos yang menyembul dari sistem simbol kultural dari kuda tersebut?
Bagaimana implikasi maknawinya untuk Polri dalam mengawal keamanan dan kenyamanan pesta demokrasi Pilgub di NTT?
Etos (Yunani) secara sederhana dimaknai sebagai semangat dan sikap hidup baik dari seorang manusia biasa (anthropos) yang berjuang menjadi manusia hebat nan indah (kalosgathos). Nah 'kermana' semangat dan sikap hidup yang baik, benar, indah, dan harmoni yang mungkin dapat dilakukan atau diwujudkan di balik inspirasi sistem simbol kuda tersebut?
Hal mana terbuka pula untuk komunitas adat, komunitas politik atau orang per orang yang menjadikan simbol kuda sebagai semacam "totem" perjuangan politik kehidupannya dan karenanya dimeteraikan pula pada motif tenun ikat dan motif pada ukiran papan rumah adatnya.
Dalam budaya Ngada misalnya. Ukiran kuda di rumah adat mereka biasanya disatukan dengan manusia penunggangnya. Dalam nukilan ukiran ini, manusia yang diukir adalah manusia kolektif, bukan manusia dengan panggilan nama tertentu.
Manusia kolektif ini menunjuk pada "tubuh diri" insani, yang terdiri dari unsur tubuh, jiwa, dan roh (bdk. 1 Tes 5:23). Dalam bahasa lokal disebut "tebo weki". Tebo adalah "tubuh fisik". Tebo sinonim dengan lo ('badan').
Weki adalah 'diri'. Tebo itu dapat mati, dan mayat atau tubuh yang mati itu disebut tobo. Dalam sistem pengetahuan setempat, weki atau 'diri' insani itu tidak dapat mati. Weki itu memuat unsur waka, wéra dan mae.
Waka adalah 'jiwa' yang baik dalam arti jiwa manusia, yang memuat unsur pikiran (magha), perasaan (rasa), kehendak (mora) yang baik atau yang positif. Wéra adalah jiwa yang jahat, dalam arti psike manusia yang memuat unsur pikiran, perasan, dan kehendak yang jahat atau yang negatif.
Dalam dinamika perkembangannya wéra ini dimaterialisasi dengan unsur satanik atau demonis dalam diri manusia, yang menjadi antek dari kekuatan kegelapan di luar dirinya. Sementara ma'e adalah 'roh' (spirit) manusia.
Mae adalah sukma yang pada dasarnya menyatu dengan Yang Sakral, yaitu Dewa. Karena itulah dalam keyakinan religi lokal, setiap pribadi manusia memiliki dewa-nya masing-masing (Arndt 1936/1937: 206).
Ukiran 'manusia' (atta) yang menunggang kuda, menunjukkan kuda sebagai kendaraan manusia. Namun dalam ukiran ini, kuda bermakna sebagai jara ngai ('kuda pembawa kekayaan hidup').
Ia adalah tanda dan sarana yang membawa kekayaan dan kekuasaan hidup yang beradab. Maka secara kultural kuda bukan sekadar alat transportasi lokal, ia adalah simbol makhluk yang memberi kesejahteraan dan kekuasaan kepada pemiliknya dalam meraih tujuan hidup damai sejahtera dan sukacita bersama.
Catatannya adalah bahwa ia menjadi kendaraan yang baik dan berguna, yang membawa kesejahteraan bagi pemiliknya, jika pemiliknya juga melakukan proses perawatan yang baik pula bagi kesehatannya dan pembelajaran yang benar terhadap kecerdasannya sebagai kendaraan sejak usia dini.
Terutama kelenturan leher dan kesatuan pemahaman dalam mentaati perintah-perintah dalam berjalan dan berlari.
Jika sejak kecil sampai dewasa, kuda dilatih dan dibiasakan dengan pola perilaku yang baik oleh tuannya, maka dia akan terus bertumbuh dan berkembang menjadi kendaraan yang baik.
Maka motif dan ukiran kuda seharusnya mengingatkan pula bagi para orang tua dan pendidik, tentang pentingnya proses perawatan dan edukasi terhadap para anak-anak dan murid-muridnya. Hal mana terungkap dalam pernyataan kearifan lokal yang berbunyi: "Po pera go kittaata bhodha pege pu'u wo'e banga, moe da wiu poja go tengu ana jara." ("Mendidik manusia harus dilakukan sejak usia dini, seperti melatih bimbing kelenturan leher anak kuda").
Implikasi Maknawi
Makna yang dapat dipetik dari sistem simbol tentang kuda menurut tradisi lokal di atas adalah sebagai berikut.
Simbol Kuda di depan Kantor Polda, sepantasnya senantiasa memberi inspirasi bagi anggota Polri bahwa salah satu etos kerja mereka adalah sebagai "kendaraan" dari NKRI untuk melaju dengan mulus menuju tercapainya 4 tujuan hidup nasional dalam bernegara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Salah satu tujuannya adalah untuk menjaga ketertiban dunia kehidupan.
Kiranya Polri di NTT sungguh "jaga waka" (Arab: marwah) dengan bertumbuh kembang menjadi alat negara yang menjamin ketertiban dan soliditas hidup bermasyarakat yang dewasa ini cenderung "panas" dengan masa kampanye pemilihan Gubernur dan Bupati. Kiranya ethos kerjanya seperti "jara ngai" untuk seluruh elemen komunitas politik dan komunitas SARA di tanah air. Anda adalah "jara ngai" untuk rumah Indonesia Raya untuk empat pasangan dari Cagub NTT.
Saya puji Polri NTT yang telah menjaga kemananan dan kenyamanan deklarasi para Paslon.
Tugas yang berat ke depan adalah kearifan untuk mengendalikan ketertiban sosial politik, akibat dari ulah karakter ultrafanatisme dari segelintir tim sukses, yang tega menabrak rambu-rambu etika politik dan etika sosial di berbagai tempat dan media.
Ternasuk yang terungkap dalam bahasa-bahasa hina yang menajiskan bibir (bdk. Yes 6) di media sosial dan bahasa-bahasa mulia yang menjernihkan batin dalam lirik lagu-lagu bahasa lokal, yang sewenang-wenang digunakan untuk mengkampanyekan jagoan "woza ngapo" tribalistiknya.
Kiranya etos kerja Polri yang menyeluruh, baik integral dan parsial seperti keberadaan Densus 88 dan rancang bangun Densus Tipikor, terus-menerus didukung oleh semua elemen bangsa, diasah dan diasuh dengan bijaksana, adil, berani dan disiplin, seraya diimbangi dengan pemenuhan hak-hak mereka.
Seperti hak meraih kesejahteraan ekonomi dan perolehan pendidikan yang berstandart internasional. *