Antara Anak Kandung dan Anak Tiri, Mencermati Dinamika Politik PDIP NTT

Keputusan itu tentu bukan hal sepele apalagi dikategorikan `infantil'. Mereka yang kini telah `berdarah-darah' membesarkan

Editor: Dion DB Putra
Kompas.com/Alsadad Rudi
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri 

Pengakuan eksternal maupun komitmen personal telah menderetkan (atau merasa dideretkan) dengan orang PDIP dalam arti yang sebenarnya.

Permasalahannya, apakah indikator pencapaian pribadi menjadi ukuran yang memaksakan seseorang untuk harus menjadi pemimpin? Atau, apakah fungsi rekrutmen parpol hanya diartikan sebagai upaya menjadikan dan mempersiapkan setiap anggota menjadi pemimpin?

Tentu saja tafsiran seperti ini perlu diperluas. Dalam arti ini pula, rekrutmen tentu tidak terbatas pada internal partai tetapi melebar. Dengan demikian yang datang kemudian, meski di 'tikungan terakhir' tidak sekadar dikategorikan 'anak tiri' atau 'anak haram'.

Hal ini terbukti dalam diri Jokowi yang dari keheningan Surakarta, bisa 'membungkam' Ibu Kota, bahkan NKRI. Itu hanya terjadi karena ia mendalami anak ideologis dalam arti sesungguhnya.

Memang pengabdian dalam organisasi mestinya diperhitungkan. Pemimpin tidak saja mengambil orang lain oleh pertimbangan praktis: bermodal dan populer sambil menyingkirkan yang kalah bersaing. Tetapi dialektika pemilihan antara kader terbaik, pada akhirnya harus berakhir pada pilihan terbaik, sejauh ideologi itu diwujudkan secara nyata.

Akan Terbukti

Aneka asumsi entah yang benar adalah deretan politisi yang menyatakan mengundurkan diri atau Megawati sebagai pimpinan tertinggi, tidak bisa dibuktikan sekarang.

Terlalu dini untuk menilai reaksi pengunduran diri sebagai hal infantil atau mengklaim PDIP telah terhanyut dengan keharusan menang serta dukungan finansial kuat sambil menyepelehkan calon sendiri.

Kebenaran akan `duel' ini baru akan terbukti pada pilkada dalam kemenangan yang akan diperoleh. Apabila duet MS-EN akhirnya kalah, maka menjadi pembelajaran bahwa kondisi NTT dikenal lebih mendalam oleh politisi yang telah `berdarah-darah' membesarkan PDIP di daerah.

Suara hati mereka mewakili rakyat kebanyakan yang telah tersentuh oleh keteladanan politisi. Di sinilah Megawati harus merendah dan belajar. Ia pun tahu bahwa sangat mungkin politisi dipercayakan selama ini `memantau' peta politik NTT telah salah dalam merancang strategi dan perlu bertanggungjawab atas analisisnya yang keliru.

Kekalahan PDIP di NTT akan menjadi evaluasi terhadap kekeliruan fatal. Pada gilirannya, politisi yang kini `hengkang' sebagai protes akan dicari kembali oleh PDIP karena telah sadar bahwa anak yang terbuang harus kembali sebagai pemenang.

Tetapi peta dapat berbeda hal mana harus disadari. Kehadiran MS dan EN yang harus `berjuang sendiri' di tengah minimnya dukungan politisi PDIP bisa menjadi sebuah pembelajaran lain. Yang dimaksud, apabila hengkangnya petinggi PDIP justru tidak diikuti oleh rakyat hal mana diketahui bahwa masyarakat memiliki logika berbeda dari elitenya, maka di satu pihak terbukti bahwa `anak ideologis' tidak diukur dari lamanya bergabung dengan partai tetapi sejauh mana praksis membebaskan itu telah diwujudkan dalam diri pemimpin yang dibidik di lintas akhir.

Tidak hanya itu. Politisi yang kini hengkang akan disebut sebagai politisi yang gagal total. Di satu pihak, selain figur usungan mereka dari partai lain itu gagal, tetapi juga karir pribadi akan terhambat, malah gagal juga.

Kepercayaan baru akan sulit dibangun karena masyarakat menjadi sadar, klaim `anak ideologis' yang selama ini diyakini hanya sekadar wacana. Kehidupan berpartai sekadar upaya menjagokan diri tetapi tidak secara bijaksana memandang melampaui sekat individual.

Praktik ini seakan tidak keliru untuk menempatkan politisi seperti ini bak `anak tiri'. Mereka yang menjadi anggota PDIP tetapi disertai intrik personal serta jauh dari kebesaran hati mengakui orang yang lebih potensial darinya.

Mereka pula bahwa sebenarnya dari awal mereka juga adalah `anak tiri' yang `diadopsi' oleh ideologi tetapi kurang meresap karena yang paling dominan adalah kepentingan pribadi bukan kepentingan yang lebih luas.

Tetapi semuanya ini hanya pengandaian. Bukti akhir dalam pilkada masih akan terbukti 27 Juni 2018. Di sana akan terbukti siapa `anak kandung', `anak ideologis' dan `anak tiri'. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved