Antara Anak Kandung dan Anak Tiri, Mencermati Dinamika Politik PDIP NTT
Keputusan itu tentu bukan hal sepele apalagi dikategorikan `infantil'. Mereka yang kini telah `berdarah-darah' membesarkan
Oleh: Robert Bala
Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.
POS KUPANG.COM -- Kisah mundurnya petinggi PDI Perjuangan (PDIP) NTT menarik untuk disimak. Ray Fernandes (RF) dan Honing Sanny (HS) yang selama ini cukup merepresentasikan PDIP NTT dalam praksis politik, mengundurkan diri dari partai yang telah membesarkan (dan dibesarkan mereka).
Keputusan itu tentu bukan hal sepele apalagi dikategorikan `infantil'. Mereka yang kini telah `berdarah-darah' membesarkan PDIP di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di saat krisis melanda PDI(P), mereka justru berada di samping Megawati. Logikanya ada harapan bahwa seorang `anak kandung' dijadikan putera mahkota di kampungnya sendiri.
Namun peralihan ke figur yang bukan dari tubuh PDIP, yakni Marianus Sae (MS), memunculkan pertanyaan hal mana menjadi latar belakang tulisan ini: Begitu tegakan seorang Megawati `menyusui beruk di hutan sambil melepaskan anak kandungnya sendiri?' Atau apa sebenarnya makna yang akan dipetik kemudian?
Praksis Ideologis
Dalam kongres PDIP 2010 di Sanur-Bali, wacana `anak kandung' dan `anak ideologis' mengemuka. Saat itu terjadi duel antara Megawati dan Guruh Soekarnoputra. Ada kesan, ketua PDIP hanya bisa dari 'trah' Soekarno sebagai anak kandung sang proklamator.
Tetapi saat bersamaan semakin kuat wacana bahwa bukan sekadar putera mahkota tetapi lebih pada putra ideologis. Artinya, sejauh ideologi Bung Karno dipraktikkan oleh siapa pun politisi, dia yang sebenarnya berhak atas kepemimpinan dari PDIP.
Mulai terbuka tafsiran tentang anak kandung dan anak ideologis yang melampaui sekat personal apalagi sekadar hubungan darah.
Sebagai narasumber dalam kongres, penulis mengambil contoh Amerika Latin. Praktik sosialisme Abad XXI semakin menghadirkan kepemimpinan yang prorakyat.
Dari sana terdisain pemimpin negara yang telah terbukti di level paling rendah, menaiki anak tanggap promosional hingga diberi kepercayaan untuk kepemimpinan nasional. Mereka adalah putera dan puteri ideologis yang terpilih bukan karena telah memproklamirkan ideologi tertentu tetapi telah membumikan ideologi itu dalam praksis yang membebaskan.
Kesadaran ini telah mengantar penulis sebagai pemateri menekankan pentingnya mengedepankan figur PDIP dalam kepemimpinan di daerah untuk diorbitkan ke jajaran yang lebih tinggi. Dari sini muncul Jokowi, yang bagi saya yang awam politik belum mengenalnya, sampai Pilkada DKI Jakarta.
Intinya, pemahaman anak ideologis hadir secara nyata. Jokowi yang tidak lebih dari seorang pengusaha mebel yang kebetulan telah mempraktikkan politik bermartabat diangkat tidak hanya jadi gubernur DKI tetapi bahkan menjadi presiden. Kini terbukti bahwa Jokowi anak ideologis dalam arti sebenarnya.
Pemahaman ini yang barangkali tengah diangkat oleh politisi PDIP NTT seperti RF dan HS dan Kristo Blasin (KB). Dalam jabatan yang telah diemban (legislatif atau eksekutif), mereka telah menghadirkan ideologi Bung Karno.
Di sana kesederhanaan (KB) kerja keras keterbuktian berkarya dan sudah `berdarah-darah membesarkan PDIP' (RF) ketaklelahan menyerap kerinduan konstituen (HS), adalah contoh yang tidak bisa disangkal.