Inilah 6 Tuntutan Mahasiswa terhadap Polisi yang Menganiaya Anggota GMNI dan PMKRI

Para demonstran berkumpul di Margasiswa PMKRI kemudian melanjutkan perjalanan menuju Mapolda NTT.

Penulis: Eflin Rote | Editor: Agustinus Sape
Pos Kupang/Eflin Rote
Massa membakar ban tanda protes mereka kepada oknum polisi yang melakukan tindakan represif kepada salah satu aktivis GMNI 

Laporan Reporter Pos-Kupang.com, Eflin Rote

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Teriakan merdeka oleh mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan (ANTIK) – NTT Cipayung Plus (GMNI Cabang Kupang, PMKRI Cabang Kupang, Pospera – NTT, Permahi dan IMM) menarik perhatian warga di seputaran Jalan Soeharto, tepatnya di depan Mapolda NTT, Senin (18/12/2017).

Para demonstran yang didominasi kaum laki-laki berkumpul di Margasiswa PMKRI kemudian melanjutkan perjalanan menuju Mapolda NTT. 

Baca: Yayasan TLM Membangun Masyarakat Bermodalkan Kolekte, Simak Perjalanan Sejarahnya

Mereka juga membawa beberapa spanduk yang bertuliskan tolak sikap represif, copot polisi watak preman, polisi lacuri demokrasi, tingkatkan pendidikan aparat kepolisian dan copot polisi yang bernama Jacky H.

Selain itu, mereka juga membawa bendera beberapa organisasi kemahasiswaan dan terus meneriakkan kata-kata penolakan terhadap kepolisian.

Aksi dimulai sekitar pukul 10.30 Wita. Tepat di depan Mapolda NTT, koordinator lapangan, Adrianus Oswin Goleng menyampaikan orasinya.

Oswin menyatakan secara tegas penolakannya terhadap oknum kepolisian yang melakukan tindakan anarkis.

“Oknum kepolisian harusnya menertibkan dan menjaga ketertiban. Bukan malah melakukan tindakan anarkis. Tindakan kepolisian terhadap aktivis GMNI Cabang Kupang dan aktivis PMKRI Cabang Ruteng jelas merupakan pelanggaran HAM. Kami mengecam dan menuntut Kapolda NTT untuk memecat oknum kepolisian yang menganiaya aktivis kami,” teriak Oswin.

Baca: Christyono Pastikan Pasokan Listrik Jelang Natal dan Tahun Baru Cukup

Ketua Pospera NTT, Maria Flaviani Cembesnai pun ikut memberikan orasi kala itu.

Masih dalam konteks yang sama, ia mengecam tindakan pihak kepolisian yang menurutnya anarkis.

Menurutnya, siapapun yang melakukan tindakan anarkis wajib dihukum.

Usai berorasi, massa pun merapatkan barisan persis di depan pintu pagar Mapolda NTT yang telah ditutup dan dijaga oleh anggota kepolisian saat itu.

Massa meminta Kapolda NTT, Irjen Pol Agung Sabar Santoso untuk menyampaikan tuntutan mereka terhadap anggotanya yang melakukan tindakan represif.

Massa kemudian menduduki jalan di depan Mapolda NTT sehingga mengakibatkan arus jalan dari Kuanino maupun dari Naikoten harus ditutup.

Para pengendara terpaksa memutar kendaraan mereka dan mencari jalan lain.

Setelah menduduki jalan, para aktivis pun membakar ban.

Aksi ini tentu saja menarik perhatian masyarakat yang kebetulan sedang berbelanja di beberapa toko pakaian dan kain di depan Mapolda NTT.

Setelah melalui dialog dan negosiasi dengan pihak kepolisian, perwakilan dari Polda NTT yang saat itu diwakili oleh Dir Intelkam Polda NTT, AKBP Joudy Aldrien Abednedju Mailoor karena Kapolda NTT maupun Wakapolda NTT sedang tidak berada di Kupang.

Namun, massa menolak untuk berdialog dengan Dir Intelkam dan mereka tetap menuntut untuk bertemu Kapolda NTT.

Sempat terjadi saling dorong antara petugas dan para demonstran ketika AKB Joudy meminta anggotanya untuk mematikan api yang berasal dari ban bekas yang dibakar.

Baca: Ibu Tega Jual Putrinya yang Masih Berusia 14 Tahun pada Pria Hidung Belang, Begini Nasib sang Anak!

Menurut para demonstran, membakar ban tidak menyalahi aturan dan bukan tindakan kriminal.

Lagi-lagi aksi saling dorong ini memantik perhatian warga di sekitar Mapolda NTT.

Kecewa tidak dapat menemui Kapolda NTT untuk menyampaikan tuntutannya, massa pun bergerak menuju Kantor DPRD Provinsi NTT dengan berjalan kaki.

Aksi mereka ini sempat membuat macet Jalan El Tari karena jalan ditutup dan dipenuhi oleh para demonstran.

Tiba di Kantor DPRD Provinsi NTT, massa pun meminta bertemu anggota DPRD. Mereka pun diterima dan melakukan audiensi di ruang rapat anggota DPRD Provinsi.

Koordinator Aksi, Yosep A Sukario menyatakan, aksi yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan merupakan respons dari tindakan kekerasan fisik yang dilakukan anggota kepolisian terhadap aktivis mahasiswa PMKRI Cabang Ruteng saat melakukan aksi memperingati Hari Anti Korupsi di depan Polres Manggarai (9/12/2017) lalu dan aktivis GMNI Cabang Kupang, Yohanes Ndawa yang dianiaya oknum polisi bernama Jacky H dari Resort Kupang Kota.

Menurut Yosep, sebelum memukul Yohanes, oknum polisi tersebut menyekap korban di kamar kecil pos jaga Kantor DPRD NTT, lalu memukulnya hingga tulang bahu kanan korban nyaris patah.

Baca: Yayasan TLM Membangun Masyarakat Bermodalkan Kolekte, Simak Perjalanan Sejarahnya

Kejadian tersebut, lanjut Yosep, bermula saat aktivis mahasiswa GMNI Cabang Kupang mendatangi Kantor DPRD NTT, Kamis (14/12/2017) untuk menyampaikan aspirasi tentang pengelolaan limbah rumah sakit di Kota Kupang yang mereka nilai belum tepat dan berdampak pada kerusakan lingkungan.

Saat itu, Yohanes Ndawa yang sedang membakar semangat massa di depan pintu gerbang Kantor DPRD Provinsi NTT tiba-tiba oknum polisi mendekapnya menggunakan siku dan membawanya ke dalam pos penjagaan kantor DPRD NTT. Di situlah korban dianiaya.

Begitu juga dengan kekerasan yang dialami aktivis PMKRI Cabang Ruteng. Saat melakukan demo di depan Polres Manggarai, aktivis PMKRI diterima oleh Kasat Binmas, Agus Djanggu.

Setelah melalui negosiasi, aktivis meminta berdialog dengan Kasat Reskrim terkait sejumlah indikasi korusi di Manggarai dan Manggarai Timur serta progress penanganannya di Polres.

Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Ruteng, Servasius Jemorang yang pada saat aksi menjadi orator pun menyebutkan adanya dugaan pungli berkedok tilang yang dilakukan oknum anggota Satlantas Polres Manggarai.

Situasi pun semakin panas, ketika menurut mereka ada oknum polisi bernama Urbanus yang memprovokasi dan meneror para demonstran.

Baca: Putra Sulung Mantan Calon Wakil Presiden Amerika Ditangkap

Tiba-tiba seorang anggota kepolisian berpakaian preman menuju pick up dan membentak dan hendak memukul Servas. Aksi polisi ini pun diikuti pula oleh polisi lainnya.

Yosep menyatakan, tindakan kepolisian ini telah melanggar Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang penggendalian massa.

“Atas dasar itu, kami dari Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan menyatakan enam sikap terkait tindakan oknum kepolisian terhadap dua aktivis kami yakni, aktivis GMNI Cabang Kupang dan aktivis PMKRI Cabang Ruteng,” ujar Yosep.

Berikut pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan (ANTIK) NTT:

1.      Mengecam keras tindakan kepolisian yang melakukan penganiyaan terhadap aktivis GMNI Cabang Kupang dan aktivis PMKRI Cabang Ruteng.

2.      Mendesak Kapolda NTT untuk segera menindaklanjuti laporan yang sudah disampaikan pihak korban yakni GMNI Cabang Kupang dna PMKRI Cabang Ruteng.

3.      Menuntut dan mendesak Kapolri melalui Kapolda NTT untuk memecat Kapolres dan Wakapolres Manggarai, Kabag Ops Kupang Kota dan oknum polisi yang melakukan penganiayaan terhadap aktivis GMNI Cabang Kupang dan PMKRI Cabang Ruteng.

4.      Menuntut Kapolda NTT agar selalu mengedepankan transparan dalam penanganan kasus penganiayaan terhadap aktivis GMNI Cabang Kupang dan aktivis PMKRI Cabang Ruteng. Segala proses penanganan kasus harus selalu terbuka dan disampaikan kepada Cipayung Plus dalam hal ini Antik NTT.

5.      Menuntut dan mendesak DPRD agar segera mengagendakan pertemuan Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan (ANTIK) NTT dengan Kapolda NTT, Kapolres Kupang Kota dan Kabag Ops

6.      Mendesak kepada pihak Kapolri untuk segera mengevaluasi sistem perekrutan dan pembinaan anggota kepolisian RI. (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved