Air Mata Duka Perempuan dan Anak

Saya menyajikan beberapa kasus antara lain, di suatu siang pada akhir bulan Oktober tahun 2017 telepon masuk

Editor: Dion DB Putra
istock
ilustrasi 

Oleh: Dra. Maria Fatima Daniel, BE
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) NTT

POS KUPANG.COM -- Ada begitu banyak duka dan air mata perempuan dan anak yang mengalami kekerasan telah ditangani oleh berbagai lembaga termasuk lembaga kami.

Saya menyajikan beberapa kasus antara lain, di suatu siang pada akhir bulan Oktober tahun 2017 telepon masuk ke HP saya, terdengar suara seorang perempuan yang terpatah-patah menyampaikan bahwa ada seorang ibu/istri di desa X di Kabupaten Kupang, dipukul suami dan karena belum puas menyiksa istrinya sang suami memotong bagian belakang istrinya dengan parang.

Korban lainnya adalah balita, anak usia balita itu sebut saja Angel (nama samaran) diperkosa dan korban baru dihantar ke P2TP2A setelah dua minggu kejadian (syukur karena keluarga sudah membawa visum setelah kejadian itu).

Setelah melalui konseling yang intensif akhirnya terungkap bahwa pelakunya adalah ayah kandung si anak balita itu. Korban lain lagi Ibu Dita (nama samaran), perempuan setengah baya yang berpendidikan sama dengan suami Markus (nama samaran) hanya sampai SD, memiliki seorang anak balita yang berumur hampir 5 tahun.

Markus kesehariannya nganggur, suka minum miras hingga mabuk. Dita kesehariannya berdagang serabutan dengan modal yang sangat kecil untuk mempertahankan asap dapur keluarga. Markus selalu menuntut untuk mendapatkan uang dari hasil dagangan istri untuk beli laru (minuman alkohol lokal).

Bila hasil dagangan Dita hanya sedikit yang laku maka modal diambil dan dia mendapatkan bogem dari suami. Sekali peristiwa sang suami kalap karena dagangan Dita tidak laku sama sekali. Rambut Dita ditarik dan tubuhnya dihempaskan ke dinding dan dibanting ke lantai semen hingga darah bercucuran.

Demikian cerita sang balita yang pada waktu itu menyaksikan ibunya disiksa (psikologi anak pastinya terganggu). Tiga kasus tersebut hanya bagian kecil dari ratusan kasus yang ditangani P2TP2A (lembaga bentukan Pemerintah Provinsi NTT).

Tanggal 25 November, dunia memperingati Hari Internasional Anti Kekerasan yang dirayakan selama 16 hari mulai tanggal 25 November dan berakhir pada 10 Desember 2017, tepat pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Mengapa tanggal 25 November? Berikut secuil kisah sejarahnya.

Tanggal 25 November 26 tahun lalu (1991), dua bersaudara Patricia Minerva dan Maria Teresa dibunuh secara keji oleh penguasa diktator Republik Dominika Rafael Trujillo.

Keduanya berkali-kali mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut karena memperjuangkan demokrasi dan keadilan serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran. Peringatan ini digagas pertama kali oleh Women's Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori Center for Women's Global Leadership.

Mengapa perayaan itu ditutup pada Hari HAM? Jawabannya adalah kekerasan seksual seolah menjadi puncak dari berbagai kekerasan lain yang dialami perempuan. Korban mengalami kekerasan fisik, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, tindakan perkosaan maupun psikologis, dan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun melanggar Hak Asasi Manusia sehingga kekerasan terhadap individu tidak dapat ditolerir oleh siapapun dengan alasan apapun.

Komitmen internasional tersebut tidak dapat disambut acuh oleh negara kita, yang berasaskan Pancasila, mengingat banyaknya perempuan dan anak sebagai kelompok rentan yang mengalami berbagai macam penderitaan.

Keberpihakan pemerintah Indonesia sudah cukup tinggi dalam memerangi berbagai kekerasan dan penderitaan perempuan. Terbuki dengan telah mengesahkan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan/CEDAW, UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU Nomor 23 tahun 2012 dan perubahannya UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Inpres Nomor 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak.

Terbitnya peraturan perundangan tersebut ternyata belum mampu menghentikan atau mengurangi kekerasan yang menimpa kaum perempuan dan anak. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak RI telah pula meluncurkan gerakan Three Ends yaitu 1.End Violence Women and Children (akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak) 2.End Human Trafficking (akhiri perdagangan manusia) 3.End Barries to Economic Justice (akhiri kesenjangan ekonomi terhadap perempuan) tetapi belum cukup membantu karenanya masih harus terus digalakkan untuk melibatkan partisipasi dari semua pihak sehingga menjadi gerakan bersama dari semua komponen masyarakat.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved