Tak Banyak yang Tahu, Inilah Nama Asli Sang Penyair Pater John Dami Mukese, SVD
Pada waktu itu, Pater Budi sudah siapkan tulisannya. Suster Wilda pun juga sudah mengirim tulisannya untuk Pater Dami.
John Dami Mukese dilahirkan di Menggol, Lambaleda, Manggarai (Flores Barat), 24 Maret 1950.
Sebagaimana yang ditulis Pater Dami sendiri, Menggol, pada tahun 1950-an adalah sebuah Sekolah Dasar Katolik yang termasuk dalam wilayah Paroki Benteng Djawa, Hamente atau Kedaluan Lambaleda (sekarang Kecamatan Lambaleda).
Profesi ayahnya adalah seorang Guru SD. Tahun 1955, Mukese dan keluarga pindah ke Pembe, Kedaluan Congkar (Manggarai Timur Utara, sekarang dalam wilayah Kecamatan Sambi Rampas).
Pembe kampung asli bapanya. Di kampung inilah keluarga Mukese menetap sampai sekarang. Mukese lebih lebih dikenal sebagai "Orang Pembe". Tempat kelahiran, asal daerah orang tua dan keluarganya, sangat berarti bagi perjalanan kreatif Mukese sebagai penyair.
Pater Dami dibaptis oleh P. Anton Moelmann, SVD, seorang misionaris Belanda, yang waktu itu bertugas asistensi di Paroki Benteng Djawa. P. Anton Moelmann ternyata kemudian menjadi Dosen Mukese di Seminari Tinggi Ledalero dalam mata kuliah Sejarah Filsafat dan Sejarah Gereja.
Ia dibaptis dengan nama Yohanes Damasenus. Karena salah penulisan, dia lebih dikenal dengan nama Yohanes Damianus dan disingkat John Dami. Waktu didaftar di Seminari Kisol, namanya hanya ditulis Damianus Mukese.
Nama aslinya adalah Mukese. Nama itu adalah nama buatan atau ciptaan ayahnya sebagai peringatan akan peristiwa penting yang dialaminya bersama keluarga. Mukese adalah akronim dari tiga kata, "Musim Kesenangan Sekali" (gaya bahasa tahun 50-an, menurut Mukese).
Nama ini sudah terlanjur disalahtafsir dan dipopulerkan oleh orang-orang yang tidak tahu persis sejarah namanya. Disebutkan bahwa Mukese berasal dari kata-kata "Musim Kering Sekali". Namun tafsiran terakhir ini menurut Mukese, sama sekali tidak benar. Bapanya sendiri menjelaskan kepadanya sejarah namanya sebagai berikut.
Makenbat sampai kadimas
Pada tahun 1950, hasil panen sangat melimpah di wilayah Manggarai, khususnya di sekitar Menggol. Keadaan itu persis berlawanan dengan situasi ketika kakak, saudara lelaki di atasnya, lahir pada tahun 1947.
Pada waktu itu terjadi paceklik hebat. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana. Karena itu dia diberi nama "Makenbat" yang merupakan akronim dari "Masa Kelaparan Hebat". Karena Mukese kemudian lahir dalam musim kelimpahan (kesenangan), musim itu jadi dasar penamaannya, sebagai kontras terhadap nama kakaknya. Jadi tafsiran "musim kering sekali" sama sekali tidak benar.
Selain karena tidak sesuai dengan kisah asli pemberiannya, juga tidak sesuai dengan situasi atau keadaan musim waktu Mukese dilahirkan. Bulan Maret di Manggarai bukanlah musim kering, apalagi musim kering sekali. Di pedalaman Manggarai pada bulan Maret masih banyak turun hujan.
Dalam bulan ini para petani ladang tradisional (tahun 50-an), khusus di wilayah pedalaman Manggarai seperti Menggol, biasanya sedang asyik memanen jagung, ditingkah harapan yang mekar menyaksikan padi juga mulai membunting dan berbunga.
Satu suasana yang sungguh menciptakan rasa senang atau suka cita.
Bapa dari Mukese adalah seorang Guru SD yang amat sederhana, tetapi cukup kreatif, terutama dalam soal memberi nama kepada anak-anaknya. Anak ketiga (yang hidup) dalam keluarga, lahir waktu Jepang masuk Manggarai tahun 1944.
Untuk memperingati peristiwa bersejarah itu Bapa menamai dia "Zahnidam", yang merupakan akronim dari "Zaman Heiho (tentara) Nipon Datang (ke) Manggarai".