Inilah Argumentasi Sesat Putusan Praperadilan Setya Novanto

Betapa tidak, dari sekian banyak kasus yang disangkakan kepadanya semuanya kandas, entah di ujung palu hakim, entah lenyap

Editor: Dion DB Putra
ISTIMEWA
Setya Novanto 

Oleh: Pieter Hadjon, S.H., M.H
Advokat, berkantor di Graha S.A. Office Building Lt. 3 Ruang 309, Jl. Raya Gubeng No. 19-21 Surabaya.

POS KUPANG.COM -- Menilik liku perjalanan dan sepak terjang sang Untouchable Man, Setya Novanto memang benar-benar sakti.

Betapa tidak, dari sekian banyak kasus yang disangkakan kepadanya semuanya kandas, entah di ujung palu hakim, entah lenyap begitu saja atau dihentikan proses penyidikannya. Yang terbaru adalah kasus korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan keuangan negara sebesar 2,3 triliun, lagi-lagi Setya Novanto lolos dari jeratan hukum ketika hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar menjatuhkan putusan praperadilan yang menyatakan penetapan tersangka terhadapnya tidak sah.

Sepintas membaca pertimbangan hakim yang menyatakan alat bukti yang digunakan pada perkara lain tidak boleh dijadikan dasar penetapan tersangka Setya Novanto, mengundang pertanyaan: "Dasar hukum apa yang dipakai oleh Hakim Cepy Iskandar?"

Berdasarkan Hukum Acara Pidana setelah ada putusan pengadilan, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada mereka yang disebut dalam putusan, kecuali diperintahkan dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain (Pasal 46 ayat (2) KUHAP), dengan demikian pertimbangan hakim Cepy Iskandar adalah keliru dan menyesatkan.

Putusan Hakim Cepy dalam sidang pra peradilan tersebut mengandung makna penetapan tersangka Setya Novanto adalah cacat yuridis atau cacat prosedur, bukan cacat wewenang atau cacat substansi, sesuai dengan kewenangan lembaga Praperadilan yakni mengadili dan menilai dari segi formal semata tentang prosedur dan kewenangan penetapan tersangka.

Suatu keputusan atau penetapan pejabat mengandung cacat prosedur, dapat dikeluarkan penetapan baru dengan memperbaiki prosedur yang dianggap salah.
Dalam kasus ini KPK dapat mengeluarkan Sprindik baru dengan membenahi prosedur yang salah atau yang belum dilalui.

Tentunya Setya Novanto tidak akan tinggal diam bila ada penetapan baru terhadap dirinya sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang dalam proyek e-KTP, ia akan tetap melawan dengan mengajukan gugatan Praperadilan. KPK harus mengantisipasinya dengan memenuhi standar penyidikan sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana.

Menjadi Pelajaran
Terlepas benar atau tidaknya putusan praperadilan dalam kasus ini, hendaknya menjadi pelajaran dan koreksi ke dalam agar penyidik KPK dikemudian hari bertindak profesional, proporsional, akuntabel dan transparan dalam melaksanakan tugas penyidikan. Jangan seperti komisioner sebelumnya dalam penetapan tersangka Budi Gunawan (BG) dan Hadi Purnomo mantan ketua BPK yang menjadikannya status tersangka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup.

Sekadar mengingatkan lagi, Hadi Purnomo ditetapkan sebagai tersangka pada momen istimewa di hari ulang tahunnya, konon dia ditetapkan sebagai tersangka karena niatnya untuk mengaudit keuangan KPK karena ada aliran dana ke LSM.

Sedangkan BG ditetapkan status sebagai tersangka pada saat dicalonkan menjadi Kapolri, yang akhirnya keduanya bebas melalui putusan praperadilan.

Memang penetapan tersangka kepada kedua pejabat tersebut sarat muatan. Ketika saya bertemu dengan seorang sahabat dari kejagung menceritakan bahwa berkas BG dilimpahkan dari KPK ke Kejagung hanya berupa BAP tanpa didukung satupun alat bukti.

Dalam kasus Setya Novanto seharusnya sudah ada indikasi dan cukup bukti karena penyelidikan dan penyidikan terhadap Setya Novanto yang berawal dari bukti dalam persidangan terdakwa proyek e-KTP lainnya. Tidak perlu berpikir terlalu legalistik formal dan terkesan mengada-ada yakni penetapan tersangka harus pada tahap akhir penyidikan. Semestinya yang menjadi tolok ukur penetapan tersangka adalah apakah sudah cukup bukti dalam penetapan tersangka?

Tujuan penyidikan adalah mencari serta mengumpulkan bukti agar membuat terang tindak pidana dan menemukan siapa pelaku atau tersangkanya. Sejak awal penyidikan sudah ditemukan tersangkanya kenapa harus tunggu pada tahap akhir penyidikan baru ditetapkan tersangka hanya dengan alasan hak asasi tersangka?

Setiap kasus mempunyai karakter yang berbeda, ada yang mudah pembuktian dan ada yang sulit, untuk mencari alat bukti yang memenuhi syarat, minimal harus ada dua alat bukti.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved