Komunis dan Pemutaran Film G 30S/PKI

Hal ini sehubungan dengan adanya penilaian bahwa bagi generasi milenial yang lahir dan besar di era pasca-Orde Baru film

Editor: Dion DB Putra
www.id.bookmyshow.com
ilustrasi 

Oleh: Josef M Monteiro
Dosen Fakultas Hukum Undana

POS KUPANG.COM - Adanya keinginan dari kalangan tertentu untuk memutar ulang film peristiwa tragedi politik dan kejahatan kemanusiaan yang dikenal sebagai G.30 S/PKI kini menjadi kontroversi.

Hal ini sehubungan dengan adanya penilaian bahwa bagi generasi milenial yang lahir dan besar di era pasca-Orde Baru film tersebut dikategorikan sebagai genre action thriller, yakni mengeksploitasi kekejian yang digambarkan melalui sejumlah adegan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan yang begitu sadis dinarasikan sebagai tindakan PKI.

Pada dasarnya suatu film yang memuat peristiwa sejarah merupakan karya seni yang ditonton secara berulang, sehingga akan mengasah rasa dan memperkaya batin. Sehubungan dengan film G 30S/PKI, menurut Ashadi Siregar, dari strukturnya, film tersebut kuat dengan menggabungkan dokumenter dan teatrikal karena itu tidak membosankan menontonnya (Kompas, 25/9).

Jika diringkas, film tersebut menyangkut latar sosial dari keberadaan PKI; keadaan Presiden Soekarno yang sakit-sakitan sehingga perlu perawatan dokter-dokter dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT); gerakan PKI; penculikan dan pembunuhan jenderal TNI Angkatan Darat (AD) serta peranan Soeharto dalam penumpasan PKI.

Alasan film G 30S/PKI perlu ditayangkan tentunya tidak dimaksudkan untuk memerangi kekuatan komunis yang mengancam dunia karena dalam era globalisasi bahaya komunisme sudah tidak relevan lagi. Bahkan menurut Amerika Serikat (AS), Indonesia tidak perlu risau terhadap komunisme yang sudah mati. Hal ini dikemukakannya sudah sejak tahun 1996 takalah ketika itu staf kongres AS bertemu Presiden Soeharto.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem komunis pernah menguasai hampir separuh belahan dunia selama kurang lebih empat dasawarsa. Sistem ini berawal dari teori Karl Marx (1818-1883) tentang pertentangan dialetik antar kelas, antara proletar melawan borjuis namun dalam perjalanannya sistem ini tidak bertahan lama, bahkan ia mengalami kehancuran pada akhir dekade 1980-an, yang ditandai dengan keruntuhan negara Uni Soviet dan negara-negara komunis Eropa Timur.

Menjadi Bahan Lelucon
Menurut Soerjanto Poespowardjoya, keruntuhan di negara-negara komunis tersebut lebih disebabkan ajaran yang tidak memiliki basis sosio-kultural. Ajaran komunis hanya mengandalkan pada faktor kekuasaan yang bersifat totaliter, monolit, eksklusif, tertutup, dan kontrotatif.

Akibatnya negara-negara komunis yang kini masih bertahan seperti Korea Utara, Kuba, dan beberapa negara di Amerika selatan, umumnya masih tetap bergelut menghadapi berbagai proses keretakan diri dalam negaranya dan berupaya mempertahankan eksistensi negaranya.

Dengan tumbangnya politik yang bernaung di bawah panji-panji komunis maka telah membawa peredaan perang dingin. Selain itu, paham komunis di kalangan kaum muda di Rusia dewasa ini, telah menjadi bahan lelucon karena dinilai tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah negara.

Dari berbagai kajian terungkap bahwa secara fundamental, akar filosofis dan kegagalan dalam berbagai kebijakan yang didasarkan pada paham Marxisme-Leninisme justru diturunkan dari suatu kesalahan mendasar intelektual dalam penilaian terhadap sejarah dan sifat dasar manusia, yaitu kemerdekaan individual dan pengungkapan artistik maupun spiritual diri.

Banyak contoh berbagai krisis maupun kegagalan yang terjadi di negara-negara komunis seperti telah terjadi pengrusakan atas bakat sosial masyarakat, penindasan atas politik masyarakat, pengorbanan manusia dalam jumlah besar demi keuntungan ekonomi negara yang berujung pada kemerosotan produktivitas karena tertatanya sentralisasi kenegaraan yang berlebihan, penghambatan pertumbuhan ilmu dan seni karena sangat terkendali oleh dogma ideologi, munculnya tuntutan HAM, dan anjloknya standar hidup rakyat.

Di Indonesia komunis mengalami keruntuhan sejak kegagalannya untuk merebut kekuasaan negara pada peristiwa G 30 S/PKI. Akibat kegagalan ini oleh penguasa Orde Baru dalam upaya mematahkan sistem komunis mengeluarkan Tap MPR No.XXV/MPRS/1966. Dengan ketetapan ini secara lahiriah komunis dan PKI tidak dimungkinkan lagi untuk hidup. Selain itu, untuk mengisi alam pikiran warga akan kekejaman komunis maka diproduksilah film penumpasan pengkhianatan G 30S/PKI.

Lantas, apakah saat ini perlu diputar kembali film G.30 S/PKI? Jika pemutaran film tersebut untuk pembelajaran bagi masyarakat akan pentingnya Pancasila bagi bangsa Indonesia, maka film tersebut perlu ditayangkan. Secara ideologis memang komunis dan PKI telah dilarang, namun bisa saja daya tarik paham ini tidak dengan sendirinya bisa hilang begitu saja.

Ini kalau dikaitkan dengan wawasan pribadi orang-orang tertentu di masyarakat yang masih tetap berorientasi kepada Marxisme-Leninisme.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved