Inilah Solusi Untuk Mengatasi Masalah Guru Non Sarjana di NTT

Esensinya untuk meningkatkan mutu pendidikan sekaligus melindungi profesinya. Sebutan yang sering kita dengar dari mulut

Editor: Dion DB Putra
Net
Ilustrasi 

Oleh: Linus Lusi
Tim Kaji Tindak Pendidikan Karakter Kontekstual NTT

POS KUPANG.COM - Lazimnya dalam hari tertentu, berita halaman depan Pos kupang (Kamis,10/6/2017) selalu menyajikan isu pendidikan yang membuat kepanikan harkat dan martabat pendidikan. Menarik dikupas dari berbagai aspek. Kali ini dunia pendidikan Flobamorata dikejutkan.

Ternyata total guru se-NTT 93,705 orang, sebanyak 31 persen guru belum sarjana (Dinas Pendidikan NTT, Agustus 2017). Lalu apa? Padahal para guru sudah diikatkan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 bahwa eksitensinya harus sarjana.

Esensinya untuk meningkatkan mutu pendidikan sekaligus melindungi profesinya. Sebutan yang sering kita dengar dari mulut para pembesar, kira-kira begini ucapan ... Profesionallah. Diksi ini mau menegaskan bahwa profesi guru yang profesional hendaknya menjadi kebanggan yang dapat dipertanggungjawabakan.

Maka seringkali para pahlawan pendidikan mendapat teguran saat gagal menegakkan profesi yang digeluti. Dalam analisis pendidikan langkah apa yang perlu ditempuh?

Dominan Guru SD/MI
Semangat para guru untuk melakukan investasi terhadap diri sendiri untuk meraih gelar sarjana belum menjadi perhatian utama. Sebagai pembanding di tahun 2011 secara nasional sebanyak 55,19 % guru Indonesia atau sekitar 1,5 juta guru belum berijazah S1. Lebih memprihatinkan sebanyak 722,293 masih berijazah sekolah lanjutan atas (Mans Mandaru,2011).

Dalam konteks NTT (2011) total guru semua 75,352.Namun 72% belum S1. Saat itu sarjana hanya 15.626. Di awal tahun 2006 sejak sistim sertifikasi diperkenalkan, Kota Kupang sebagai barometer pendidikan hanya 6 orang guru SD yang ikut sertifikasi. Apalagi di kabupaten lain.

Fakta menunjukkan guru yang berijazah SPG/PGA sebanyak 33,561, D1;1881, D2,15,479 dan D3 sejumlah 4,650 ( Data P dan K 2011).

Data tersebut belum mengalami perubahan yang signifikan. Tercatat, periode Agustus 2017, berijazah SPG/PGA, 13,744, D1,171, D2, 6275, D3,604, Sarjana 32.026 dan S2 76 orang. Cakupan data tersebut menggambarkan bahwa guru SD/MI menjadi domain masalah dalam kelayakan mengajar demi penegakkan mutu pendidikan.

Dalam kurun waktu hingga tahun 2017, lewat pernyataan Sekretaris Dinas Pendidikan NTT, Alo Min kembali menegaskan sebanyak 31,45 persen guru NTT belum sarjana. Bila merunut data terkait di atas hal ini jelas mengarah ke sekolah Dasar dan MI yang tersebar di kabupaten/kota. Melihat dominan guru SD demikian, apa yang perlu dilakukan.

Pertama, butuh revolusi komitmen politik anggaran pendidikan terhadap pengembangan SDM para guru. Hal tersebut, sesuai kewenangan pengelolahan tenaga kependidikan SD/MI dan SMP/MTs menjadi ranahnya kabupaten/kota.

Maka peran para Bupati/Walikota bukan sekedar melancarkan retorika membius para guru melalui organisasi profesinya tetapi butuh nyali keberpihakan sebagai langkah lanjutan dalam mencerdaskan para guru.

Kedua, masalah klasik ketika berbicara anggaran 20 persen yang mesti dialokasikan ke dalam APBD banyak dalih dikemukakan. Menyikapi keegoan birokrasi, Kementerian Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan NTT selama ini melakukan urun rembuk daerah sebagai jabaran urun rembuk nasional soal pendanaan abadi pendidikan.

Namun, upaya ini belum ada inisiatif yang serius dan komprensif oleh dinas teknis maupun dewan untuk membangun jejaring pendanaan dalam mengatasi substansi SDM pendidikan dan lain sebagainya. Pola yang dilakukan selama ini Dinas teknis sejak dahulu selalu terjebak dalam rutinitas program bersifat copy paste.

Karakter yang diperankan, identik di aula hotel berbintang maupun melati, asal kegiatan digelar, tepuk tangan ramai-ramai sebagai tanda berakhirnya kegiatan dan ujung-ujungnya SPJ dilakukan sebagai budaya kerja dari suatu kegiatan.

Persoalan tindak lanjut pascapelatihan bukan menjadi fokus perhatian dan urusan teknis lagi. Hasil akhirnya dapat ditebak seperti apa. Ketiga, para pakar terkait perlu membedah kembali regulasi berkaitan dengan asas kepatutan para guru berdiri di depan kelas. Pantas tidak seseorang guru non sarjana membelajarkan peserta didik. Dalam posisi demikian banyak terjadi pro kontra terkait dengan nurani kemanusian.

Tapi dibiarkan, maka menjadi bumerang dalam investasi sumber daya peserta didik.
Dalam urusan SDM para guru, pemerintah tidak berpangku tangan. Melalui birokasi pendidikan mendesain berbagai pendidikan dan pelatihan. Tidak sendirian. Data faktual kelayakan seorang guru di atas , memaksa forum rektor seindonesia tidak tinggal diam.

Apa yang dilakukan? Melalui kajian, Menteri Pendidikan merespon dengan meluncurkan program Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB) sejak tahun 2006 . Program dimaksud bertujuan mempercepat peningkatan kualifikasi guru dalam jabatan.

Di awal tahun tersebut sebanyak 18.754 guru ditingkatkan kualifikasinya ke S1 melalui banyak jalur.Di antaranya UT 12.616 orang, Jalur formal konvensional 5.000 orang, PJJ berbasis ICT 1000 orang dan PJJ berbasis KKG 1.500 orang.

Dalam konteks NTT melalui universitas Nusa Cendana kupang dalam penjelasan Dekan FKIP Undana Petrus Ly (Kamis,10/8/2017 pukul 14.00) dikatakan bahwa sejak tahun 2011 sampai tahun 2016 Undana melaksanakan program percepatan sarjana Program SKGJ pola PPKHB hanya sebagian kabupaten .

Sebanyak 7000 guru telah diwisuda. Namun di tahun 2017 tidak dibuka lagi kecuali ada penugasan kembali oleh Kementerian Pendidikan. Pada tataran demikian pemerintah kabupaten/kota perlu meresponnya untuk menjalin kerjasama dengan Undana dan kampus lainnya.

Sikap keberpihakan sebagai bentuk pertanggungjawaban negara dalam mengatasi persoalan 31 persen guru di NTT yang belum sarjana. Apabila para guru masa pensiunnya masih lama, tidak proaktif terhadap regulasi kompetensinya yang non sarjana lalu apa? Jawaban tunggal.

Sesegera mungkin diusulkan pensiun dini. Hal ini untuk menyelamatkan generasi masa depan bangsa sekaligus penghematan anggaran negara.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved