Menghela Narasi Peradaban yang Hilang
Turut hadir perwakilan Raja Rote. Dialog itu dilangsungkan di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Dialog yang berusaha meretas
Sebagian besar waktu bangun kita bersemuka dengan android daripada sesama manusia. Kita begitu latah, apatis dan menjadi autis (asyik sendiri) tanpa berkomunikasi dengan orang sekitar. Kisah ibu dua anak bernama Tung asal Tiongkok menegaskan naifnya kita bersahabat dengan hp android.
Tung mati mendadak di ranjang dengan keadaan sangat aneh. Kedua tangannya memegang hp dan matanya terbuka menatap hp. Ibu mertuanya mengira, Tung sedang bermain hp, ternyata Tung sudah dingin. Tung telah meninggal. Dicari tahu penyebab kematiannya, Tung meninggal karena kelelahan. Siang bekerja sebagaimana ibu-ibu lainnya, tetapi di malam hari, ia menghabiskan waktu untuk bermain hp.
Tenknologi selalu menampilkan dua wajah paradoksal. Satu wajah memperlihatkan kehadirannya sebagai juru selamat umat manusia dari berbagai keterbatasannya.
Hadirnya ban yang digerakan motor, mempercepat langkah kaki manusia dari satu tempat ke tempat lain. Televisi membantu meluaskan mata dan pengetahuan tentang dunia, datangnya internet manusia diselamatkan dari keterkungkungan informasi, pengetahuan dan pergaulan dunia. Akan tetapi, pada sisi lain, teknologi menjadi monster yang rakus melahapi kepesonaan kita sebagai manusia.
Secara sosial, kita ditakdirkan hidup sebagai masyarakat komunal. Seseorang hanya merasa dirinya hadir dan dihargai sebagai manusia apabila ia tergantung pada sesamanya. Peradaban kita adalah peradaban komunal dimana individu sangat tergantung pada kolektivitas.Tempat pembimbitan dan pembobotan peradaban manusia adalah kampung (Lewo Tana, terminologi orang Flores Timur, Kuni Agu Kalo, terminologi orang Manggarai, Kuamnasi, terminologi Dawan).
Kampung (Lewo Tana, Kuni Agu Kalo, atau Kuamnasi) dalam pengertian masyarakat komunal bukan deretan rumah, melainkan gugusan makna membentuk institusi kemanusiaan. Kampung merupakan tempat mendikte nilai, norma, aturan dan perilaku.
Dalam konteks ini, kampung merupakan rumah besar bagi warganya, sekaligus institusi peradaban warganya. Sebab, kampung hanya merupakan perluasan subjektif dari rumah tangga dimana warga diikat oleh hubungan saudara sedarah.
Individu dalam kampung komunal merasa tentram secara psikologis (merasa ada dan berarti) jika mampu memahami hubungan kekeluargaan. Sebaliknya, individu merasa sendirian jika terpisah atau dikeluarkan dari keluarga. Setiap orang wajib memberikan penghormatan yang tepat kepada orang sesuai hirarki geneologis dan sosiologis.
Sepanjang tali hubungan kekeluargaan sepanjang itu pula pengontrol moral dalam pergaulan sosial. Dalam konteks itulah dibentuk tata peradaban tiga dimensi yakni hubungan manusia dengan wujud tertinggi, hubungan manusia masyarakat, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Gundukan tanah dan gundukan makna kampung dilenyapkan ketika binatang modern bernama buldozer menggusur jalan setapak menjadi jalan raya. Jalan raya sebuah revolusi peradaban. Di atas jalan raya tidak hanya lalu-lalang manusia yang mengakses barang dan jasa dan mendekatkan jarak dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi jalan raya membawa perubahan kesadaran dan perubahan peradaban yang revolutif.
Orang datang dan pergi dari dan ke titik kepentingan. Jarang kita lewati jalan setapak sebagai proses sosial meski sekedar meminta air minun di tetangga, singgah di kampung lain sebagai bentuk perjamuan sosial (ritual kebersamaan). Jalan setapak adalah prosesi sosial, sedangkan jalan raya adalah prosesi kepentingan. Orang yang melewati jalan setapak datang dan pergi menuju manusia, sedangkan orang yang melewati jalan raya datang dan pergi menuju benda.
Tegur sapa sepanjang jalan setapak adalah orkestra kemanusiaan yang alami, sedangkan tegur sapa sepanjang jalan raya adalah orkestra manipulatif. Jalan raya terus menyedot nilai kolektivitas manusia sehingga sekali kelak ia menjadi manusia pemburu kepentingan. Dan kita pergi kian jauh dan menjauh dari kampung halaman yang terus mewanti kita tentang hakikat hidup, hakikat semesta dan hakikat manusia.
Mungkin terlalu mudah jatuh dalam pangkuan teknologi dan peradaban modern menyedot kolektivitas dan peradaban primordial hingga status kita menjadi manusia rongsokan. Kita hanya menjadi suku cadang teknologi dan terlalu kerasan berhala kepadanya. Akhirnya, kita apatis dan menjadi autis (asyik sendiri) tanpa komunikasi semuka. Dunia cuma seluas layar hp dan direngkuh di ujung jari.
Sering, kita lebih banyak diam, menunduk dan senyum-senyum sendiri. Dan dari perbukitan nun jauh, suara sayup terus mewanti: Nak, engkau terlalu jauh pergi meninggalkan dirimu, tanpa mawar dan mazmur di tangan.*