VIDEO: Keluarga Koroh Mengamuk, Kata Wempy: Saya Sudah Siap Mati
Ia ke sana kemari sambil menggerakkan tangannya untuk memberikan penjelasan kepada Kepala Sat Pol PP Cornelis Wadu saat itu.
Penulis: Yeni Rachmawati | Editor: Agustinus Sape
Laporan Wartawan Pos Kupang.com, Yeni Rachmawati
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Keluarga Besar Koroh mengamuk ketika Sat Pol PP Provinsi NTT datang berniat untuk mencabut plang milik keluarga yang terpasang di depan halaman Stadion Merdeka.
Empy Koroh dari keluarga nampak begitu geram dengan tindakan Sat Pol PP.
Pantauan Pos Kupang, Jumat (7/7/2017) di halaman Stadion Merdeka, Empy dengan nada suara yang tinggi serta menggebu-gebu menolak keras perlakuan Sat Pol PP yang dianggapnya bertindak seperti preman.
Ia ke sana kemari sambil menggerakkan tangannya untuk memberikan penjelasan kepada Kepala Sat Pol PP Cornelis Wadu saat itu.
Empy bersama keluarganya bersikeras mempertahankan agar Sat Pol PP tidak mencabut plang milik keluarga ataupun menanam plang yang bertuliskan Tanah Ini Milik Pemerintah Provinsi NTT di tanah tersebut.
“Aset ini bukan punya Provinsi, bagaimana bisa dicabut? Plang ini tidak bisa dicabut, itu namanya preman, itu saya lawan. Kalau pak main kekuasaan, saya lawan. Kita ini masyarakat, etika pemerintah itu ada. Jangan coba-coba, ini milik keluarga besar. Bukan asetnya pak, pak mau tertibkan apa? Nanti baru bertemu di pengadilan,” ungkapnya marah.
Dengan rona wajah memerah dan bercucuran keringat karena terbakar emosi, Empy tidak diam sedikit pun menanggapi permintaan dari Kasat Pol PP untuk mencabut plang keluarga tersebut.
Ia terus berkoar-koar yang memancing perhatian massa untuk menyaksikan peristiwa tersebut.
Pasalnya selain Sat Pol PP, aparat Kepolisian dan TNI AD juga turut menjaga keamanan dalam insiden tersebut.
Kata Empy, perlakuan pemerintah tidak ada yang seperti ini. Bila Sat Pol PP ditugaskan atasan, ia juga menerima perintah dari keluarga untuk mempertahankan ini.
“Kalau ingin bertindak menghadap pengacara kami. Bersurat saja. Tidak usah, jangan paksa, jangan memancing situasi. Tinggal lapor saja ada perlawanan dari keluarga, mau pakai jalur hukum, silakan. Jangan paksakan kehendak. Suruh lu pi tabrak besi, lu pi tabrak besi? Tidak mungkinlah,” tegasnya.
Ia mengatakan jika ada hambatan bisa lapor ke atasan untuk mencari jalan keluar, bukan memaksakan kehendak, jangan menimbulkan konflik.
Empy bersama keluarga dan ahli waris terus melakukan perlawanan, ketika Sat Pol PP Provinsi NTT ini hendak memasukkan campuran semen di dalam lubang yang telah digali untuk menanam plang Pemerintah Provinsi.
Ia pun bergegas menuju ke galian kecil dan menghambat petugas Pol PP tersebut.
“Jangan coba-coba, nyawa kami taruh di sini. Saya mau mati di sini, saya mau lihat siapa yang raba saya, polisi saksikan. Ini hak, jangan coba-coba paksa kehendak. Ini bukan punya pribadi, saya bukan marah kamu, tapi cara kamu yang saya marah. Jangan kasih tunjuk preman, mari siapa yang kuat, biar lihat siapa kalah dan menang. Papan sudah ada, bersurat ke pengacara kita, ndak usah memancing-mancing, kok pemerintah ajar kita preman. Jangan dipaksakan. Etika ada, masa pemerintah seperti ini. Jangan ajar kita bodoh. Masa pemerintah kayak preman. Beta pertahankan hak. Jangan kasar. Jangan mutar-mutar, 10 tahun pun tidak akan bisa. Tidak usah paksa kehendak, ini bukan bapak punya pribadi. Harus satu lisme, kalau mau gugat ya gugat saja. Saya punya pertanggungjawaban kepada keluarga. Beta sonde mau, sonde bisa, sonde usah dipaksakan, ini bukan punya pak pribadi. Pajak kita yang bayar. Tidak ada hubungan dengan provinsi sedikit pun, tidak ada,” katanya.
Kemarahan Empy dan keluarga sempat mereda ketika Empy dan kuasa hukumnya sedang bernegosiasi. Namun, kembali memamans ketika dirinya mengetahui petugas Sat Pol PP lainnya telah menggali tiga lubang dan memasang plang Pemprov tersebut.
Keluarga pun langsung mencabut dan membuang plang tersebut ke trotoar dan badan jalan. Tidak sampai lima menit ketiga plang itu sudah jatuh ke tanah.
Kepada Pos Kupang, Wempy menjelaskan keluarga tidak menerima tindakan pemerintah, karena ini aset keluarga Koroh. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Pemerintah Daerah terlebih Pemerintah Provinsi. Tanah Stadion Merdeka ini bukan aset pemerintah.
Ia bercerita, dulu ini adalah yayasan, tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Tanah diberikan ke Yayasan. Saat Yayasan bubar, maka keluarga mengambil kembali tanah ini. Semuanya berawal dari Pak Rudi Lakabesi yang meminta kompensasi uang karena telah memperbaiki tribun Stadion.
“Dia minta ke Kabupaten tapi kabupaten tidak bisa kasih karena tidak ada surat, lalu dia minta ke Provinsi waktu itu Kepala PPO Yoel Yacob, lalu diambil, waktu dipertanggungjawabkan Gubernur marah-marah, karena itu Yayasan. Mulai saat itu sudah penyerahan ke Provinsi, keluarga ambil alih. Maka proyek dari PPO yang turun Rp 5 M untuk stadion ini dialihkan. Mereka itu tidak tahu cerita, saya yang cegat bangunan ini tahun 78. Jadi tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Pemerintah harus beretika papan dipasang, ada alamat jelas, bersuratlah ke sana. Pengadilan ada, bukan datang main preman berarti mengajak masyarakat untuk preman,” tekannya. (*)