Lima Hari Sekolah, Mengapa Takut?

Beberapa alasan yang melatarbelakangi pemikiran kaum pesimistis antara lain, kurangnya sosialisasi, belum memadainya

Editor: Dion DB Putra
Thinkstock/Tomwang112
Ilustrasi 

Oleh : Agung Hermanus Riwu, S.Pd
Guru SMP Giovanni Kupang

POS KUPANG.COM - Perturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 23 Tahun 2017 Tentang Hari Sekolah mendapatkan tanggapan yang beragam dari kalangan masyarakat. Kesan negatif lebih banyak mendominasi mulai dari artis, orang tua, pejabat pemerintahan hingga guru yang merupakan aktor lapangan sebagai bentuk protes dan rasa pesimis terhadap keberhasilan penerapan kebijakan tersebut.

Beberapa alasan yang melatarbelakangi pemikiran kaum pesimistis antara lain, kurangnya sosialisasi, belum memadainya sarana dan prasarana sekolah, kapasitas guru yang belum maksimal, pembebanan jam belajar kepada peserta didik hingga aneka prediksi kerepotan orang tua.

Penulis berupaya menampilkan pandangan positif dan strategi penerapan hari sekolah yang ditetapkan dalam peraturan menteri, antara lain : pertama, sekolah 8 (delapan) jam sehari terdiri dari kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Setelah menyelesaikan kegiatan pembelajaran, peserta didik menghabiskan waktu di sekolah hingga sore hari dengan mengikuti berbagai kegiatan positif seperti pengayaan mata pelajaran atau kegiatan ilmiah lainnya, kegiatan keagamaan, pembinaan seni dan budaya, penguatan karakter dan pengembangan potensi, bakat serta minat.

Dalam hal ini, sekolah ikut berkembang dalam pemanfaatan sumber daya yang ada untuk menyiapkan ruang yang menyenangkan bagi peserta didik. Kepala sekolah dan guru termotivasi untuk mengembalikan citra sekolah menjadi taman belajar yang dirindukan peserta didik. Lebih dari itu, dengan menghabiskan waktu di sekolah melalui kegiatan positif, peserta didik dapat diarahkan agar terhindar dari bentuk-bentuk kenakalan remaja seperti tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan miras, sehingga sekolah tidak hanya dipandang sebagai lembaga akademik, tetapi juga merupakan pusat pengembangan kebudayaan dan pembentukan karakter generasi bangsa.

Kedua, untuk memenuhi kebutuhan kurikulum pada jenjang SMP/Mts, sekolah dapat menetapkan pengaturan jam belajar per minggu dengan pola 6-8-8-8-8 dari Senin sampai Jumat (38 jam per minggu). Dengan asumsi pembelajaran dimulai pukul 08.00 maka akan berakhir paling lama di pukul 13.50 sudah termasuk waktu istirahat selama 0,5 (nol koma lima) jam. Sekolah secara mandiri dapat mengatur jam dimulainya pembelajaran dan menambah durasi waktu istirahat sebelum mengadakan kegiatan kokurikuler atau ekstrakurikuler hingga pukul 16.00.

Ketiga, dalam mengatasi fasilitas yang terbatas, pengembangan sekolah harus dimulai dengan sumber daya yang ada. Jika alat musik yang dipunyai hanya gitar, mulailah dari bermain gitar tanpa harus memaksa peserta didik membaca teori bermain biola. Jika sekolah mempunyai sebuah bolavoli dan net, mulailah bermain voli bersama peserta didik tanpa harus memaksa mereka mengenal teknik bermain golf.

Bantuan dana operasional dari pemerintah perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan pengembangan sekolah dalam menjawabi tuntutan lokal, nasional maupun global, selain sekolah juga membangun kemitraan dengan orang tua dan masyarakat dalam menghadapi hambatan yang dialami.

Keempat, orang tua berkewajiban mempersiapkan anak dengan baik dalam mengikuti kegiatan pendidikan di sekolah. Berkaitan dengan sekolah delapan jam sehari, orang tua wajib menyiapkan sarapan pagi untuk anak sebelum berangkat ke sekolah bahkan lebih baik lagi jika orang tua juga menyiapkan bekal makan siang bagi anak di sekolah. Di sisi yang lain, sekolah harus mempunyai kantin dengan makanan yang higienis dan harga yang terjangkau.

Kelima, urusan sosialisasi adalah langkah yang harus intens dilakukan sekolah agar mendapatkan dukungan dari orang tua dan masyarakat. Sebagai pelaksana teknis yang dekat dengan orang tua dan masyarakat, sekolah secara rutin melakukan komunikasi dengan semua pihak yang berkepentingan agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terlaksana dengan baik dan terevaluasi secara bijak.

Keenam, guru yang adalah fasilitator utama peserta didik di sekolah harus ikut berkembang dan siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Perubahan bukan untuk disoraki atau ditangisi melainkan suatu ajakan untuk belajar secara terus-menerus dari waktu ke waktu. Jika guru menuntut peserta didik untuk membaca, bukankah sang guru sudah harus membaca terlebih dahulu?

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang telah merambat sampai ke pelosok desa harus bisa dimanfaatkan oleh guru dalam mencari informasi tentang inovasi pembelajaran guna menunjang kegiatan di kelas terutama mencapai tujuan pembelajaran. Dengan diberlakukan peraturan menteri tentang hari sekolah, maka guru di setiap mata pelajaran harus mampu memaksimalkan waktu pembelajaran di kelas sehingga dapat mengurangi bahkan menghapus pemberian tugas tambahan atau PR kepada peserta didik.

Ketujuh, hari Sabtu dan Minggu dapat dijadikan sebagai hari keluarga yang bisa dimanfaatkan peserta didik untuk bersantai bersama keluarga. Kebersamaan dan kegembiraan di tengah-tengah keluarga akan ikut membentuk karakter yang baik bagi peserta didik.

Setiap perubahan akan memberikan banyak tantangan dan tidak sedikit hal-hal berat akan kita hadapi. Bagaimanapun kita harus optimis dan menyambut baik kebijakan ini. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan, tidak ada salahnya jika kita mencoba kemudian mengevaluasi bukan sebaliknya. Mudah-mudahan kebijakan ini mampu menjadi solusi dan jalan baru perbaikan pendidikan di Indonesia. *

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved