Hoax: Antara Media dan Literasi Media

Tersedianya jaringan internet membuat masyarakat mudah mengakses informasi yang disuguhkan melalui media sosial.

Editor: Dion DB Putra

Oleh: Refael Molina
Anggota Forum Penulis NTT

POS KUPANG.COM - Pesatnya kemajuan informasi hari-hari ini salah satunya disebabkan munculnya media baru. Kemunculan media-media baru menyebabkan banjir informasi di tengah masyarakat. Media konvensional (mainstream) yang selama ini mendapat tempat kini perlahan mulai bergeser ke media sosial (medsos).

Tersedianya jaringan internet membuat masyarakat mudah mengakses informasi yang disuguhkan melalui media sosial. Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 menyebut, terdapat 132,7 juta dari 256,2 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet (Kompas.Com). Artinya, lebih dari setengah penduduk Indonesia menggunakan internet.

Dengan bantuan internet, masyarakat mudah memperoleh informasi melalui medsos. Adanya blog dan situs-situs gratis, penyebar dengan mudah membuat berita hoax dan memviralkan melalui medsos. Apalagi pembuat berita bohong (hoax) melalui medsos tak terikat dengan kode etik jurnalistik.

Masyarakat kian menyukai medsos karena berita yang dibagikan melalui grup facebook, whatssap, twitter dan lainnya bisa membuat masyarakat aktif memberikan tanggapan. Tak jarang hoax pun dikonsumsi begitu saja tanpa melihat media yang jelas. Apalagi hoax melalui medsos dijadikan berita utama oleh media mainstream yang wartawannya dianggap sudah berkompeten sesuai aturan pers. Begitupun berita-berita dari media mainstream pun selalu dibagikan di medsos.

Data yang dipaparkan Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi penyebar hoax dan ujaran kebencian (hate speech) (www.cnnindonesia.com/Kamis, 29/12/2016). Contoh hoax yang terjadi tahun 2016 adalah munculnya gerakan rush atau menarik uang dari bank secara bersamaan pada November 2016, bersamaan dengan rencana aksi demonstrasi jilid III terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Demikian pula kabar yang beredar September 2016 bahwa Panglima TNI diganti awal November 2019. Presiden Joko Widodo (Jokowi) membantahnya. Jokowi bahkan memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengusut penyebar informasi bohong mengenai pencopotan jabatan Panglima TNI tersebut.

Menanyakan Legalitas Media
Pada peringatan Hari Pers Nasional Februari 2017, Dewan Pers menyebut, ada ribuan media cetak dan elektronik di Indonesia. Namun, hanya 74 media yang sudah terverifikasi di bawah perusahaan pers. Sementara Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Perusahaan PersDewan Pers Ratna Komala, Senin (22/5/2017) menyebut, 44. 300 media online, namun yang tercatat dan lolos pendataan Dewan Pers hanya 168 (https://nasional.sindonews.com).

Berbeda dengan kaum awam, masyarakat yang melek media akan mempertanyakan legalitas sebuah media sebelum membaca dan mengikuti berita yang disuguhkan media. Media yang legal umumnya telah memiliki badan hukum sebagaimana dalam Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Meskipun demikian, Pasal 1 ayat 2 UU Pers maupun dalam penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Pers, tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum apa seperti apa yang harus dipilih. Padahal, perusahaan badan hukum di Indonesia ada Perseroan Terbatas (PT), yayasan dan koperasi.

Untuk itu, perlu ketentuan yang spesifik mensyaratkan perusahaan pers memiliki bentuk badan hukum tertentu. Begitupun dengan Pasal 12 UU Pers, perusahaan pers diwajibkan mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Munculnya berita hoax di Indonesia karena ada kelompok masyarakat yang kurang percaya terhadap netralitas dan kebenaran isi media. Kelompok ini pun kemudian rajin menulis dan menyebarkan hoax di medsos. Belum lagi, media mainstream yang menjadikan hoax untuk berita utamanya. Pada tataran ini, kompetensi wartawan patut digugat. Berdasarkan survey yang dilakukan Dewan Pers Indonesia (2016), sebanyak 21 persen wartawan yang pernah membaca kode etik yang diamanatkan dalam UU Pers (pikiran-rakyat.com).

Padahal, seluruh wartawan di Indonesia diharuskan mengkikuti uji kompetensi wartawan berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Meski demikian, hemat saya, aturan ini belum dijalankan secara baik karena itu Dewan Pers perlu melakukan ujian kompetensi wartawan secara berkelanjutan. Hal ini agar wartawan bisa menjalankan tugasnya sesuai kaidah jurnalisik yang berlaku.

Perlu Literasi Media
Banjirnya informasi di medsos kini tak terbendung lagi. Apalagi, media dibangun berdasarkan kepentingan politis atau kepentingan ekonomi. Sementara masyarakat kita belum kritis menilai berita sebuah media, maka hoax akan diterima secara langsung oleh masyarakat. Untuk itu, masyarakat pelu melengkapi diri dengan literasi media. Literasi media menurut Buckingam (dalam Livingstone, 2005) adalah masyarakat memiliki akses ke media, memahami media dan menciptakan dan mengekspresikan diri untuk menggunakan media.

Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat mengkritisi sisi lain dari informasi, mulai dari kepemilikan media, legalitas media, tujuan penyebran informasi, kepentingan informasi, manfaat dari penyebaran informasi dan sebagainya. Di sisi lain, peran Kementerian Komunikasi dan Informasi dalam mengedukasi masyarakat soal literasi media perlu dilakukan. Begitupun dengan pers, melalui jaringan jurnalis anti hoax-nya, misalnya, harus mengedukasi masyarakat agar anti terhadap hoax.

Namun, jika masyarakat kita apatis terhadap literasi media, maka bukan tidak
mungkin masyarakat akan mudah mengonsumsi hoax. Bahkan dikhawatirkan akan menjadi penyebar hoax yang kemudian pada saatnya akan dikenakan sanksi hukuman berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meskipun demikian upaya hukum terhdap penyebar hoax maupun hate speech yang dilakukan Cyber Crime ini harus didukung semua pihak agar Cyiber Crime bisa bekerja baik sehingga dapat memberi efek jera bagi masyarakat, khusnya penyebar hoax dan hata speech.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved