Indonesia dalam Sejarah: Merangkul Uni Soviet demi Mengakhiri Kekuasaan Belanda di Tanah Papua
Dengan memakan waktu cukup lama, Indonesia berupaya keras untuk dapat merangkul negeri beruang merah, Uni Sovyet (sekarang Rusia) demi memangku ‘Tanah
Operasi militer itu terdiri dari tiga tahap, yakni penyusupan atau infiltrasi, serangan besar-besaran atau eksploitasi, dan penegakan kekuasaan Republik Indonesia atau konsolidasi.
Pada tahap infiltrasi dilakukan sampai dengan akhir tahun 1962 dengan melakukan serangan berupa operasi pendaratan di Irian Barat baik dari laut maupun dengan melakukan penerjunan statik yang menjadikan wilayah Fak-fak, Kaimana, Sorong, Teminabuan dan Merauke sebagai target operasi.
Pada 15 Januari 1962 terjadi pertempuran sengit di laut Arafuru antara Angkatan Laut Indonesia dengan militer Belanda. Tiga KRI yang berlayar di laut itu, KRI Matjan Tutul (650), KRI Matjan Kumbang (653) dan KRI Harimau (654) yang sedang melakukan patroli dihajar oleh dua kapal perusak serta pesawat jenis Neptune dan Frely Belanda.
Untuk menyelamatkan dua kapal lainnya, Komodor Yos Sudarso sebagai pimpinan armada-armada kapal tersebut melakukan manuver untuk mengalihkan perhatian musuh agar hanya memusatkan perhatian mereka hanya pada KRI Matjan Tutul, kapal tempat ia berada.
Benar saja, KRI Matjan Kumbang dan KRI Harimau berhasil selamat, namun KRI Matjan Tutul tenggelam bersama Komodor Yos Sudarso dan awak lainnya.
Sejak insiden tersebut, operasi pembebasan Irian Barat semakin berkobar. Selama masa puncak konfrontasi, Subandrio yang fasih berbahasa Rusia dan saat itu menjabat menteri luar negeri terbang menuju Moskow untuk meminta dukungan Soviet.
Khrushchev mendeskripsikan permasalahan yang berujung pada konfrontasi ini dalam memoarnya yang dilansir RBTH INdonesia.
“Saya bertanya kepada Subandrio, ‘Seberapa besar kemungkinan kesepakatan (dengan Belanda) bisa tercapai?’,” tanya Khruschev kepada Subandrio dalam tulisannya.
“Dia menjawab, ‘Tidak terlalu besar.’ Saya bilang, ‘Jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja’.”
Sayangnya pada 18 Agustus 1962 sebelum Operasi Jaya Wijaya sempat dilaksanakan, datang perintah dari Soekarno untuk menghentikan kontak tembak menyusul ditandatanganinya kesepakatan terkait Irian Barat antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Belanda pada 15 Agustus di markas besar PBB, New York, AS.
Amerika Serikat memiliki peran dalam terlaksananya kesepakatan tersebut dengan menekan Belanda untuk menyetujui kesepakatan itu untuk menghindari dampak konfrontasi yang lebih jauh, yakni berhadapannya AS dengan Sovyet.
Sisi lainnya adalah, AS tidak ingin terlihat mendukung penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia.
“Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh Sovyet. Ini menjadi momen berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat,” tutur Clarice Van den Hengel, seorang peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag, kepada RBTH.
Kesepakatan tersebut menyebutkan bahwa Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada PBB melalui otoritasnya, UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) dan akan diadakan referendum (Penentuan Pendapat Rakyat/Pepera) di Irian Barat pada tahun 1969.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, proses pengembalian Irian Barat ke pemerintah RI ditempuh melalui beberapa tahap, yaitu: periode 1 Oktober -31 Desember 1962 menjadi masa pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan Belanda; periode 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama pemerintah RI; dan terhitung mulai 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan NKRI.