Ayo Intip Rumah Budaya Sumba dan Pasola
Sumba terletak di bagian selatan gugusan luar barisan gunung berapi yang melintasi kepulauan di Indonesi
Upacara Pasola
Tujuan utama kami mengunjungi Sumba di bulan Maret adalah untuk menyaksikan upacara tradisional khas daerah ini, Pasola, yang hanya diadakan setahun sekali. Pasola dan Sumba Barat sudah menjadi satu paket pemikat untuk berkunjung ke sana, selain untuk menikmati alamnya yang elok.
Pasola adalah permainan ketangkasan lempar lembing dari atas kuda merupakan bagian dari rangkaian upacara tradisional orang Sumba yang masih menganut kepercayaan animisme (marapu) saat merayakan musim tanam padi. Ritual ini untuk menghormati marapu, mohon pengampunan, kemakmuran dan hasil panen yang berlimpah ruah.
Pasola hanya dilaksanakan oleh warga empat kampung, yakni Kodi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Lamboya, Wanokaka dan Gaura di Kabupaten Sumba Barat. Pelaksanaannya dilakukan bergiliran antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya.
Jadwal Pasola baru ditentukan oleh para rato (pemuka suku) sekitar dua minggu sebelum hari H dengan memperhatikan kehadiran cacing-cacing laut (nyale) di pantai.
Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale--upacara menyampaikan rasa syukur atas anugerah yang didapatkan--pada saat bulan purnama yang ditandai dengan datangnya musim panen dan keluarnya cacing-cacing laut di tepi pantai di pagi hari.
Nyale pertama yang didapat kemudian dibawa ke majelis para rato untuk diteliti bentuk serta warnanya. Nyale gemuk, sehat dan berwarna-warni adalah pertanda kebaikan dan panen yang berhasil. Nyale kurus dan rapuh adalah pertanda akan terjadi malapetaka. Setelah penangkapan nyale, barulah pasola boleh dilaksanakan di lapangan dengan disaksikan masyarakat umum. Puncak perayaan biasanya dilaksanakan pada hari keenam hingga hari kedelapan setelah bulan purnama.
Kami menonton pasola di daerah Wanokaka, kurang lebih 1,5 jam berkendara dari Rumah Budaya Sumba di Weetabula. Pagi itu pukul 10 pagi kami sudah tiba di area pasola untuk mendapatkan tempat duduk di tribun meskipun acara baru akan dimulai pukul 11.
Terlihat wakil bupati dan pendeta yang bertugas untuk membuka acara pasola sudah duduk di tribun tertutup. Jadwal perlombaan mundur hingga sejam kemudian karena menunggu kelompok yang akan berlomba menyelesaikan acara adat di desa mereka masing-masing. Kedua pemimpin kemudian datang menghadap ke tribun dan pendeta membacakan doa. Setelah itu wakil bupati membuka acara.
Pekik perang dari sekitar 200 pemuda bersenjatakan lembing kayu berbaur dengan derap dan ringkikan kuda serta hiruk pikuk teriakan penonton membuat acara terasa semakin seru. Pemuda pemain pasola melempar, menangkis, dan mengelak dengan gesit. Meskipun berujung tumpul, lembing ini dapat melukai lawan hingga berdarah.
Menurut kepercayaan mereka, darah berkhasiat menyuburkan tanah dan menghasilkan panen yang berlimpah. Karena itu, semakin banyak darah yang tertumpah, semakin baik. Korban yang meninggal di arena pasola dipercayai sebagai hukuman dari para dewa karena telah melakukan pelanggaran atau kesalahan.
Bagi masyarakat Sumba Barat, pasola adalah bentuk pengabdian pada leluhur dan pengikat jalinan persaudaraan antara penduduk dari kedua kelompok yang mengambil bagian dalam upacara ini.(catatan lilian gunawan/gem)