Ayo Intip Rumah Budaya Sumba dan Pasola
Sumba terletak di bagian selatan gugusan luar barisan gunung berapi yang melintasi kepulauan di Indonesi
POS KUPANG.COM - Saya tidak pernah berpikir tentang pulau Sumba sebelum ada rencana berlibur ke sana. Letak pastinya, kehidupan penduduknya, kebudayaan mereka. Sumba bagaikan pulau yang terlupakan, seperti judul buku yang ditulis oleh Pater Robert Ramone, C.Ss.R: Sumba, The Forgotten Island. Kali ini memilih berlibur ke Sumba dikarenakan salah satu teman sedang bertugas di Sumba Timur. Liburan ini sudah lama direncanakan dan semua rute dipelajari dengan seksama.
Perjalanan ke Sumba dapat ditempuh lewat udara maupun laut. Carilah penerbangan ke Tambolaka di Sumba Barat Daya atau ke bandara Ir. Umbu Mehang Kunda di Waingapu, Sumba Timur. Perjalanan lewat laut bisa melalui pelabuhan Waikelo, Sumba Barat Daya atau lewat pelabuhan Waingapu, Sumba Timur.
Pulau Sumba merupakan salah satu pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 10.710 km. Berbatasan dengan

pulau Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di sebelah timur laut, Timor di timur dan Australia di sebelah selatan dan tenggara. Sumba terbagi atas empat kabupaten, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah
Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur.
Sumba terletak di bagian selatan gugusan luar barisan gunung berapi yang melintasi kepulauan di Indonesia. Tanahnya berkapur dan banyak batu karang sehingga kurang subur. Bagian utara dan timur cenderung kering dan gersang dan hanya di bagian selatan dan barat lebih banyak curah hujan sehingga tanahnya lebih subur. Orang Sumba merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid.
Walau sebagian penduduk masih menganut kepercayaan animisme Marapu (Sumba disebut juga Tanah Marapu), mayoritas beragama Kristen dan Katolik. Muslim tidak banyak dan umumnya tinggal di sepanjang kawasan pesisir.
Perjalanan di pertengahan bulan Maret tahun ini (2017) dimulai dari Denpasar, Bali menuju Tambolaka, Sumba, Nusa Tenggara Timur. Begitu menapakkan kaki pertama kali di pulau Sumba seturunnya dari pesawat, waktu terasa melambat dan menuntut saya untuk lebih rileks dan memelankan langkah.
Dua bulan sebelum hari keberangkatan kami sudah mulai mencari penginapan karena bulan Maret saat upacara adat Pasola digelar setahun sekali, termasuk bulan ramai turis di Sumba. Seorang teman lama merekomendasikan Rumah Budaya Sumba di daerah Weetabula, Sumba Barat Daya sebagai tempat menginap. Ternyata Rumah Budaya Sumba (Sumba Cultural Research & Conservation Institute) ini cukup terkenal di kalangan turis mancanegara dan orang-orang yang tertarik mempelajari budaya Sumba.
Berawal dari tahun 2008, misionaris lokal, Pater Robert Ramone, C SsR mengajak tim Rumah Asuh mendirikan Rumah Budaya Sumba untuk memajukan kebudayaan Sumba. Proyek ini disponsori penuh oleh Yayasan Tirto Utomo dan melibatkan para pekerja lokal serta satu tim ahli dari Rumah Asuh.
Proses konstruksi dimulai pada awal tahun 2010 dan diresmikan Oktober 2011. Pater Robert Ramone juga menulis buku tentang Sumba dan mendokumentasikan banyak hal tentang budaya Sumba. Hingga kini beliau tetap aktif dalam memajukan dan mempromosikan Sumba hingga ke luar Indonesia. Beliau juga seorang fotografer professional. Hasil jepretannya banyak dipajang di dinding tiap kamar penginapan. Sayang sekali saat kami berada di Sumba, tidak punya kesempatan bertemu dengan Pater Robert karena beliau sedang bertugas ke Jakarta.
Di kompleks Rumah Budaya Sumba ada dua bangunan utama yang saling berhadapan di pelataran paling depan gerbang masuk. Satu bangunan dijadikan museum dan di dalamnya terdapat banyak benda-benda yang berkaitan dengan budaya dan tradisi Sumba seperti kain tenun, peralatan rumah tangga, perhiasan dan lainnya. Bangunan di seberang museum menjadi tempat tinggal Pater Robert dan juga ruangan untuk riset dan tempat pertemuan.
Di museum Rumah Budaya Sumba, ada sekitar 5.750 jenis benda purba dan bersejarah peninggalan leluhur Sumba. Masing-masing rumah adat di setiap kampung di Sumba menyumbang 1-2 benda bersejarah untuk disimpan di museum, seperti parang, tombak, kendang dari kulit manusia, terompet tua, tenunan asli Sumba, tembikar, dan patung-patung kuno yang berusia ratusan tahun, dan beberapa item koleksi Pater Robert sendiri.
Dengan memilih menginap di Rumah Budaya Sumba setidaknya kita memberikan dukungan bagi Pater Robert dan kelompoknya untuk tetap mempromosikan Sumba dan diharapkan semakin banyak yang akan berkunjung ke Sumba dan menjadikannya sebagai salah satu must-visit place di Indonesia.
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai Rumah Budaya Sumba dan bagaimana pemesanan kamar jika Anda hendak berkunjung ke Sumba, silakan cek website resminya www.sumbaculture.org.
***