Karakter Anak dan Peran Pendidikan
Pada sisi lain, kita menghadapi rupa-rupa persoalan karakter. Makin hari, para pendidik makin resah dengan tingkah
Oleh Yuliana Wahyu
Dosen STKIP Ruteng, Mahasiswa S-3 Undhiksa Singaraj-Denpasar
POS KUPANG.COM - Anak-anak di NTT sebaiknya mendapat perhatian serius. Jumlah anak putus sekolah sangat banyak. Tahun 2014 berjumlah 13.787 siswa. Persentase tunaaksara tahun 2014 sebesar 6,94%, jauh di atas standar nasional sebesar 3,70% (NPD Kemendikbud, 2015).
Pada sisi lain, kita menghadapi rupa-rupa persoalan karakter. Makin hari, para pendidik makin resah dengan tingkah anak-anak didik yang berbuat ulah. Ikut kelompok geng motor, terlibat pencurian, tawuran, nongkrong di deker, sampai kasus pemerkosaan, seolah-olah sudah jadi gaya baru anak-anak kita.
Bulan Februari 2016, berita Pos kupang, 27 Februari 2017, Di Maumere, misalnya, balapan liar didominasi anak-anak SMP dan SMA. Pertengahan 2016 lalu sejumlah siswa SMP dan SMA di Kabupaten Manggarai terlibat tawuran. Lebih lanjut, LBH APIK NTT menobatkan provinsi kita masuk daftar urutan tingkat pemerkosaan terhadap anak-anak, dan hal ini tampak di mana-mana, termasuk belasan kasus seks bebas di Manggarai yang tertangkap aparat.
Dunia anak dan remaja telah dihiasi asesoris kekerasan dan vandalisme, seks bebas, pemerkosaan, mencuri, curang, bahasa yang kasar, individualisme akut, fanatisme berlebihan, perilaku-perilaku yang merusak diri seperti penyalahgunaan narkoba dan bunuh diri serta masih banyak lagi penyimpangan moral manusia zaman sekarang.
Semua ini membutuhkan atensi publik terhadap dunia anak-anak sekitar kita. Tak ada orang-orang tua dan guru yang tega membiarkan hal semacam itu terjadi. Keluarga dan sekolah ibarat singa ompong yang tidak punya taring lagi untuk mengurus beban pendidikan anak. Artinya lembaga-lembaga ini terlalu berisiko untuk bertanggung jawab sendirian atas edukasi anak.
Jangankan urus anak, sistem dalam keluarga dan sekolah sendiri sering amburadul. Seperti disinyalir Giddens, keluarga-keluarga modern sebetulnya sudah berubah. Pada masyarakat tradisional, orangtua umumnya bersama anak, makan bersama, bercerita, dan tidur bersamaan. Tingkat kenyamanan keluarga terbilang baik. Pada masa kini, invasi teknologi seperti TV, HP, atau kesibukan pekerjaan mendesentralisasi perjumpaan langsung (face-to-face interaction). Di malam hari, orangtua dan anak tampak seperti orang bodoh di depan TV. Kapitalisme telah merusak hingga ruang paling inti, yakni relasi edukatif orangtua-anak.
Sementara di sekolah, guru-guru disibukkan dengan tuntutan kinerja, laporan-laporan, kedisiplinan dan sebagainya yang membuat konsentrasi mereka terbagi. Di tengah masalah makin liarnya anak-anak, keluarga dan sekolah saling tuding. Dengan dalil sudah bayar uang sekolah, orangtua mempersalahkan guru. Anak-anak seharusnya berada di bangku sekolah, mengejar cita-cita dan meniti masa depannya, justru bersiap dan berperilaku berisiko yang membuat mereka kehilangan hak hidup dan kebebasan.
Sebaliknya, para guru mempersalahkan orangtua lantaran mengirim anak-anak yang tidak siap ke sekolah. Saling tuding tidak ada gunanya. Bukankah anak adalah titipan Tuhan melalui orangtua? Bukankah guru harus sadar bahwa orangtua tidak dapat sepenuhnya memenuhi pendidikan intelek anak, kecuali hanya dilakukan orang-orang profesional seperti guru?
Penyebab kenakalan anak dan remaja paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam hal ini, minimnya peran keluarga dan peran masyarakat dalam membentuk moral anak. Karena itu, solusi yang tepat untuk menekan kenakalan anak tidak hanya dibebankan kepada orangtua dan guru, tetapi juga pihak-pihak lain.
Libatkan Pihak-Pihak Luar
Anak perlu diberi dukungan ekstra untuk belajar dan berkembang. Maraknya penyimpangan moral pada anak dan remaja sekarang, menjadi tantangan bagi dunia pendidikan, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Berbagai pendekatan yang dilakukan dalam menangani anak dan remaja yang bermasalah harus terus dilakukan dan melibatkan berbagai pihak.
Selama ini pendidikan karakter hanya hangat dibicarakan di sekolah. Tampaknya sekolah saja yang siap dari segi planning dan action. Atau jangan-jangan mungkin karakter adalah sebuah proyek? Lembaga-lembaga lain perlu dilibatkan. Katakan pemerintah daerah, untuk menekan penyimpangan seksual anak seperti seks bebas dan pemerkosaan, Pemda harus punya komitmen memberantas akar kejahatan tersebut dengan misalnya menerbitkan perda untuk menertibkan kos-kos atau asrama-asrama yang tidak memenuhi syarat. Selama ini banyak pihak kelurahan sulit mendeteksi atau melakukan pressure terhadap para pemilik kos liar.
Bentuk perhatian pemerintah juga dilakukan dengan menciptakan event berorientasi anak, atau menyiapkan ruang-ruang publik tempat anak-anak bermain dan berkembang secara positif. Selain pemerintah, ada juga polisi, lembaga agama, LSM yang memiliki interese terhadap perkembangan anak. Di Manggarai misalnya, kegiatan polisi "Goes to School" setidaknya dapat menekan kejahatan di jalanan seperti ngebut-ngebutan, atau balapan liar yang melibatkan anak-anak dan remaja.
Singkatnya, pendidikan karakter tidak boleh egosektoral, di mana masing-masing pihak berjalan sendirian, seperti keluarga, sekolah, agama, polisi, Pemda, mengurus program masing-masing. Saling berdialog dan membangun kerja sama sinergis adalah hal paling fundamental di tengah kejahatan anak yang makin kompleks dan intensif.
Pendidikan karakter tidak semata-mata bersifat individual, melainkan juga memiliki dimensi sosial struktural. Pendidikan karakter berkaitan dengan dimensi sosial strukutural, lebih melihat bagaimana menciptakan sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu anak dan remaja. Dalam konteks inilah, pendidikan karakter perlu dikembangkan sebagai fondasi bagi pengembangan moral anak.*