Hukuman Paling Menyakitkan itu Ada di Kotak Suara

Jika berbagai institusi demokrasi menjadi tumpul, tak berdaya dan ditunggangi oleh para politisi, maka rakyat akan menjadi hakim di kotak suara.

Editor: Agustinus Sape
zoom-inlihat foto Hukuman Paling Menyakitkan itu Ada di Kotak Suara
ILUSTRASI
Kotak suara

Oleh: Matheos Viktor Messakh
Warga Kota Kupang

SEPANDAI-PANDAINYA politisi berakrobatik, di kotak suara juga jatuhnya. Jika berbagai institusi demokrasi menjadi tumpul, tak berdaya dan ditunggangi oleh para politisi, maka rakyat akan menjadi hakim di kotak suara. Politik memang kadang merupakan "either or", artinya di antara pilihan-pilihan yang buruk, rakyat terpaksa akan memilih "setan paling kecil" (the lesser evil). Itulah yang bisa disimpulkan dari pemilihan kepala daerah Kota Kupang 2017-2022.

Politisi adalah orang-orang yang paling sadar akan cibiran dan sinisme terhadap perilaku mereka. Mereka tahu benar bahwa sinisme dan kemunafikan adalah makanan sehari-hari dalam politik, namun mereka juga tahu bahwa sinisme dan kemunafikan itu bukanlah segalanya dalam politik. Lebih daripada itu mereka juga tahu bahwa orang harus memilih dalam politik. Mereka sadar benar bahwa walaupun orang mencaci maki politisi, namun sebagian besar akan tetap memilih juga. Mereka mengerti benar bahwa politik harus ideal, tapi mereka juga membaca pikiran banyak orang bahwa standar umum tentang kesopanan dan kebenaran tidak selalu diterapkan dalam politik. Itulah sebabnya banyak politisi menutup mata terhadap banyak kesalahan, dan mereka menggelembungkan gambaran dirinya lebih dari yang sebenarnya. Itulah kompromi dalam pikiran dan politik.

Sebuah preseden yang baik sedang terjadi di Kota Kupang. Sejak dinaikkannya status kota ini dari Kotamadya menjadi Kota, tidak pernah ada petahana walikota yang terpilih dalam dua periode. Rakyat Kota Kupang selalu menghukum para politisi yang yakin mereka akan terpilih lagi. Mereka menghukum politisi yang tidak jujur.

Lalu apa itu politik yang tidak jujur? Ketidakjujuran politik mengambil bentuk yang berbeda-beda. Menurut mantan Presiden Polandia Aleksander Kwasniewski, ada beberapa tipe ketidakjujuran politik. Tipe pertama dari ketidakjujuran politik dimulai dengan seorang laki-laki atau perempuan yang pada dasarnya tidak jujur. Orang seperti itu akan menjadi pemimpin yang tidak jujur dalam situasi apa pun.

Jenis lain adalah para penggemar. Tindakan penggemar yang canggung dan amatir ini merugikan kepentingan yang ingin ia majukan. Banyak pendukung bermaksud baik, tapi justru tindakan-tindakan mereka menciptakan blunder bagi politisi yang didukung. Media sosial kadang menjadi ajang pertarungan para penggemar ini dan dampaknya bisa counter-produktif.

Tipe ketiga adalah "penjudi" politik. "Penjudi" politik ini piawai menyalahgunakan keahlian (kompetensi) politik mereka. Mereka terampil tetapi kejam, tidak memiliki kerendahan hati dan menjauhkan diri dari refleksi. Kerabat dekat "penjudi" politik ini adalah "pengacau" politis yang mengejar ambisi besarnya dengan cara apa pun bila perlu, apa pun risikonya dan apa pun harganya bagi orang lain. Tipe ini yang paling lazim kita temui dalam politik di Indonesia termasuk di Kota Kupang.

Tipe berikutnya adalah "fanatik" politik. "Fanatik" juga tidak jujur karena mereka dibutakan oleh keyakinan bahwa mereka benar dalam segala hal. Para fanatik ini tidak fleksibel dan pelupa, penggiling yang siap untuk meratakan segala sesuatu yang menghalangi. Tipe lain yang bertolak belakang dengan "fanatik" politik adalah para "wheeler-dealer" politik atau lebih tepat disebut "para pemain". Mereka juga tidak kalah kurang jujurnya, karena mereka tidak memiliki "vision thing".  Mereka tak bertulang, tanpa prinsip, dan menarik diri ketika harus bertanggung jawab.

Di luar berbagai jenis politisi yang tidak jujur ini ada tipe-tipe yang lebih umum. Bentuk-bentuk sinikal pragmatisme adalah salah satunya. Mereka memegang prinsip bahwa tujuan membenarkan cara, terutama di saat moral imperatif bertentangan dengan kepentingan politik.

Ekstrem yang lain adalah sikap politis yang naif, utopis, dan moralistik yang juga sama tidak jujurnya. Para politisi yang naïf, utopis dan moralistik ini mencibir kepada kegigihan dan relativisme politik dan menggalang naik banding kebangkitan moral yang sia-sia. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Sejarah bukanlah surga dan biografi politisi bukan untuk dibaca seperti membaca kehidupan para orang kudus. Jika semua orang jujur, politik akan menjadi mubazir. Itulah paradoks dalam politik.

Ada banyak manusia tidak jujur dalam politik, tapi mereka lupa bahwa yang menjadi hakim adalah rakyat. Seorang hakim bisa saja salah, tapi jika yang teradili mempunyai kesalahan yang sangat terang-terangan dan menjengkelkan dan fatal, maka hakim yang paling tidak adil pun bisa marah.

Apa yang kita saksikan di Kota Kupang selama proses pemilukada akhir-akhir ini adalah sebuah pendidikan politik paling buruk yang menimbulkan kemarahan. Rekayasa dan permainan kotor dipertontonkan oleh orang-orang yang mungkin tak mempunyai rasa malu lagi. Jika bukan karena keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI yang membenarkan Panwaslu Kota Kupang, mungkin orang akan berpikir lain. Mungkin orang akan berpikir bahwa Panwaslu Kota Kupang memang harus dihukum karena telah menggugurkan salah satu pasangan calon. Banyak orang tahu bahwa ada kesalahan yang telah dilakukan dan ada pelanggaran hukum yang telah terjadi. Tetapi untuk sebuah kebenaran sederhana dan mendasar, orang harus menunggu ketukan palu para hakim sekedar untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Rakyat diperlakukan seperti anak kecil yang perlu diberi tahu mana yang benar dan mana yang salah, jika tidak ia mungkin tak menyadarinya.

Inilah yang disebut dengan legalisme, dimana kebenaran yang sebenarnya terang-benderang masih harus diperdebatkan dan bahkan harus mengacu pada aturan sekedar menentukan kebenaran. Kebenaran seakan hanya ditentukan oleh hukum bukan karena kesadaran. Orang yang jelas-jelas salah tidak akan mengakui kesalahannya dan jika ia mampu ia akan mengatur hukum untuk menyatakan bahwa ia benar. Itulah legalisme, segala kebenaran ditentukan oleh pengadilan.

Syukurlah masih banyak rakyat Kota Kupang yang mencoba jujur terhadap hati nurani. Dan hasilnya adalah seperti yang kita lihat dalam hasil Pemilukada Kota Kupang. Sebuah preseden telah dibangun: Kota Kupang sulit menerima kembali pemimpin yang tidak jujur.

Jika bagi politisi yang sedang menjabat, kotak suara merupakan pengadilan, maka bagi politisi yang sedang ingin berkuasa, pemerintahan merupakan ujian pertama. Pemerintahan seringkali merupakan tes terbaik untuk kejujuran politik. Dalam banyak kasus, jika politisi yang kritis terhadap orang lain saat belum berkuasa, terbukti tidak efektif ketika berada di pemerintahan, maka pemilih akan menghukum ketidakjujuran mereka di bilik suara.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved