Melestarikan Kebudayaan Lokal
Daya tarik globalisasi secara pelan namun pasti turut mereduksi kearifan-kearifan yang termaktub dalam seluruh kriteria kebudayaan lokal
Oleh: Yandris Tolan
Tinggal di Mamsena-TTU
PESATNYA arus modernitas menjadi penanda awal dan alasan krusial mengapa masyarakat dalam berbagai kalangan saat ini secara perlahan-lahan menegasikan atau bahkan melupakan kebudayaan-kebudayaan lokal. Daya tarik dunia globalisasi secara pelan namun pasti turut mereduksi kearifan-kearifan yang termaktub dalam seluruh kriteria kebudayaan lokal. Fenomena ini sedang aktual dalam ruang gerak publik dan lebih spesifik dalam panti-panti pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah saat ini lebih cenderung memprioritaskan kegiatan-kegiatan bernuansa profanitas. Hal ini menegaskan bahwa daya tarik dan keinginan hati para pelajar pada kearifan budaya lokal masih sangat minim. Realitas seperti ini sejatinya menjadi kekhawatiran publik. Menyikapi situasi krusial semacam ini, apa yang harusnya dilakukan oleh publik untuk merevitalisasi kebudayaan lokal? Hemat penulis, semua harapan mulia ini akan terlaksana efektif apabila didukung oleh kerja sama antar semua unsur masyarakat. Metodologi ini turut meyakinkan publik bahwa NTT punya sesuatu yang bernilai dari potret kebudayaan lokal.
Kecanggihan dunia modern menjadi penyebab pertama orang menyangkal atau melupakan karakter asli kebudayaan lokalnya. Menjadi fenomena baru bahwa masyarakat yang telah lama mapan dengan nilai kearifan budaya lokal kini sedang beralih habitus. Kecenderungan terbesar masyarakat saat ini adalah memilih serta mengakrabi kemolekan dunia profan yang kaya akan kemudahan namun berujung menyesatkan atau mengeliminasi esensi kearifan lokal. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuatan budaya dalam dunia global jauh lebih kuat daya biusnya, apabila dibandingkan dengan kearifan lokal. Berbagai bentuk akses kebutuhan serba terpenuhi dalam dunia modern. Tidak heran, apabila dalam dunia saat ini kita menjumpai semakin banyak orang yang memupuk mental instan. Semua persoalan hidup yang serba mewah dan berkecukupan itulah yang menjadi idola pertama. Kehadiran dunia globalisasi bisa serentak menguntungkan dan merugikan. Kenyataan membuktikan bahwa dalam dunia saat ini kebanyakan orang lebih fokus menaruh simpati pada kekuatan dunia global. Kearifan lokal yang hidup dari tangan para leluhur kini sedang raib dalam seluruh pengalaman publik.
Berpijak pada realitas di atas, penulis mengajak publik untuk merefleksikan beberapa item penting guna melestarikan kebudayaan lokal.
Pertama, diharapkan kepada semua panti pendidikan baik negeri maupun swasta agar lebih sering mengisi kegiatan ekstrakurikuler dengan proses pengenalan terhadap kebudayaan lokal. Hal ini dilakukan mengingat dalam beberapa dekade terakhir, popularitas kebudayaan lokal kita sedang digadai pada kecanggihan dunia modern. Para pendidik diharapkan mampu menciptakan daya kreativitas peserta didik dalam semangat mencintai kearifan lokal. Oleh karena itu, sangat diharapkan agar para pendidik sanggup membentuk tim yang merupakan gabungan dari kelompok minat para peserta didik.
Kedua, pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan dan kebudayaan diharapkan mampu menjembatani setiap prospek publik. Jika di hari kemarin banyak kelalaian yang disebabkan oleh mental yang kurang kreatif dan adaptif, maka saat ini segera diverifikasi agar pada saatnya kita tidak terjebak pada lubang yang sama, yakni bahwa NTT kaya akan kebudayaan lokal, namun minim kreativitas. Penulis percaya bahwa publik tentu mengartikan secara lain mengenai konsep kearifan-kearifan lokal. Tampaknya opini ini terlalu sederhana dan minim akan data penelitian ilmiah. Akan tetapi, hemat penulis, bukan data yang menjadi satu-satunya parameter untuk merestorasi kearifan lokal saat ini. Tanpa data pun publik bisa menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana eksistensi dari kebudayaan lokal di daerah ini sedang dieliminasi oleh kekuatan arus modernitas. Kita berharap cita-cita ini bisa segera dipenuhi dalam pelbagai cara handal untuk melestarikan kembali nilai-nilai kearifan lokal.
Ketiga, untuk semua pihak berkewajiban untuk melestarikan nilai kebudayaan lokal. Hal ini sebagai bentuk representasi tentang keterlibatan aspek ratio dan aksi nyata di lapangan. Belum ada kata terlambat untuk kita berusaha mengembalikan dan menghidupkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Penulis berharap agar refleksi sederhana ini mampu menggerakkan jejak-langkah setiap orang yang bisa saja selama ini mati rasa terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal. Semoga kerja sama serta dukungan dari berbagai pihak terkait menjadi faktor pendukung untuk kembali mendulang asa di negeri asal. Kita segera kembali ke habitus semula sedia kemarin para leluhur dikenal bijak dan berkarakter budayawan-budayawati.*