Diantar, Dituntun, Dipikul, atau Digusur

Manggul atau memikul adalah tradisi masyarakat untuk memindahkan barang atau benda dari satu tempat ke tempat lain

Editor: Rosalina Woso
Pemkab Purwakarta
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi 

Oleh: Dedi Mulyadi

POS KUPANG.COM -- Manggul atau memikul adalah tradisi masyarakat untuk memindahkan barang atau benda dari satu tempat ke tempat lain.

Kebiasaan ini sudah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi dengan digunakannya alat pendorong beroda. Namun, tetap saja memikul masih dibutuhkan untuk daerah persawahan, perbukitan, hutan, dan tempat-tempat tertentu yang tidak memungkinkan roda pengangkut digunakan.

Begitu juga dengan masyarakat kita, tidak semuanya bisa berjalan sendiri atau didorong, tetapi masih banyak yang harus dipikul agar mereka terselamatkan.

Jadi, istilah orang Sunda bahwa pemimpin itu adalah "pamanggul" ternyata masih relevan. Tinggal pertanyaannya, masih mampukah pundak kita untuk memikul?

Persoalan yang dipikul saat ini memiliki keanekaragaman beban dan karakter. Apabila yang dipikul ini diibaratkan karakter, maka ada keragaman karakter yang dimiliki.

Ada karakter masyarakat yang jangankan dipikul, dituntun pun dia tak perlu karena sudah mampu berjalan sendiri, bahkan bisa mengajak orang lain, bisa memikul atau menggendong orang lain.

Ada juga golongan masyarakat yang bisa berjalan, tetapi tidak mengerti ke mana arah perjalanannya, maka tugas pemimpin harus memandu mereka.

Kita juga kerap menemui kelompok masyarakat yang tidak mampu berjalan, maka pemimpin harus menggendong atau memikulnya.

Pemkab Purwakarta Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bersama petani
Proses memikul, menggendong, dan memandu sering kali dibarengi oleh karakter yang berbeda-beda. Ada yang pemarah, ada yang manja, dan ada yang pemalas.

Ketika karakter masyarakatnya pemarah, sering kali sang pemimpin harus berakrobat untuk meredakan kemarahannya, bahkan harus memperlihatkan bahwa pemimpin pun bisa lebih marah dibanding rakyatnya. Dalam bahasa Sunda, ini disebut paluhur-luhur tangtung.

Sementara itu, untuk karakter masyarakat yang manja, pemimpin harus memperbanyak hadiah pada seluruh aspek kebijakannya, dan dalam jangka panjang, proses kesadaran harus dilakukan seiring dengan pendewasaan dirinya.

Dalam bahasa Sunda, karakter demikian disebut kundang kuru, yang bermakna mau disuruh atau diajak bila ada hadiah yang dijanjikan.

Untuk karakter masyarakat yang pemalas, pemimpin harus lebih sabar lagi karena segala sesuatunya harus selalu disediakan. Karakter masyarakat tersebut dalam bahasa Sunda diberikan gelar hardolin (dahar, modol, ulin atau makan, BAB, bermain).

Pemimpin pun harus menggendong dan memikul masyarakat yang sudah tidak mampu lagi berjalan, yang memerlukan penolong sehingga dapat bergeser hidupnya sebagaimana kelompok masyarakat lain yang sudah mampu berjalan.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved