Sahabat Viktori dan Modernisasi Politik Lokal
Diskusi teoretik untuk soal ini sudah banyak dan pasti tidak akan pernah selesai.
(Sebuah Apresiasi Kecil)
Oleh: RD Max Regus
Imam Keuskupan Ruteng, Studi di the Graduate School of Humanities, University of Tilburg, Belanda
POS KUPANG.COM - Demokrasi, terutama dalam latar Indonesia yang begitu plural, tidak bersifat tunggal! Begitupun, sumber kekuasaan, dan bagaimana cara orang mendefinisikan kehadirannya dalam apa yang disebut dengan kontestasi politik semakin beragam. Konstitusi kita, untungnya, menyediakan justifikasi untuk soal ini.
Pandangan 'sumir' terhadap partai politik (baca: institusi dan aktor) belakangan ini, secara signifikan telah mendorong sejumlah kalangan untuk memanfaatkan peluang konstitusional ini; meraih kekuasaan melalui jalur 'non-parpol' atau 'independen'. Diskusi teoretik untuk soal ini sudah banyak dan pasti tidak akan pernah selesai. Tapi mari kita lihat dengan cermat apa yang berkembang di lapangan (politik lokal).
Komitmen Politik Kewargaan
Beberapa waktu lalu, kawan-kawan di Kupang, yang saya tahu sebagian dari antara mereka memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, yang lain sudah matang di dunia gerakan sosial, yang sebagian besar adalah kalangan muda menengah, menyiarkan langkah kian terbuka Paket (Sahabat) Viktori, Matheos Messakh dan Viktor Manbait memenuhi persyaratan formal untuk menjadi kandidat dalam pemilihan wali kota (Pilwakot) Kupang. Pencapaian itu mendapatkan tanggapan luas, misalnya sejumlah media di Kupang menempatkan langkah kelompok pergerakan politik ini sebagai berita utama.
Kemudian, di website jaringan pergerakan ini, saya membaca sebuah ajakan yang lugas, singkat dan jelas -"Dukung dan jadi arus perubahan". Saya melihat ajakan ini sebagai undangan. Tapi, tentu saja, bukan undangan biasa. Tersimpan, makna 'etis-politis' yang kuat. Pertama, ajakan ini seperti sebuah 'perintah halus' bagi para pendukung (simpatisan). Tidak ada 'janji manis' di sana, bahkan sebaliknya ada 'tugas' plus 'komitmen' yang harus dimenangkan. Bukan hanya beri dukung, tetapi harus rela jadi arus perubahan. Berjuang untuk membentuk 'arus' perubahan sendiri
Ini jelas tidak lumrah. Umumnya, para kandidat datang dengan 'segepok janji'.
Semuanya 'manis-manis' meski kebanyakan 'abu-abu' dalam komitmen. Objektifikasi seringkali dianggap dan diperlakukan bagian dari propaganda politik. Paket Viktori, sebaliknya, menantang para pendukung mereka untuk menjadi subyek perjuangan politik. Ada spektrum lain yang ditawarkan. Mereka mengedepankan 'instrumen alternatif' yang dianggap sebagai wadah strategis warga politik untuk melakukan perubahan sosial. Di sini, mereka menempatkan simpatisan mereka dalam kerangka kesatuan 'tri dimensional' politik; subyek, energi serentak muara dari pengaturan kekuasaan.
Untuk soal ini, saya melihat kehadiran Sahabat Viktori, tidak melulu dalam kerangka pertarungan politik meraih kekuasaan. Meskipun itu jadi simpul utama pergerakan mereka. Dibandingkan dengan proses politik -dalam konteks mekanisme yang ditempuh Partai Politik seputaran Pilkada -proses yang ditempuh calon independen (non-partai politik) sebetulnya memunculkan banyak implikasi konstruktif. Tidak banyak yang bisa saya sebutkan dalam konteks ini. Satu hal yang bisa kita lihat adalah proses 'aktivasi' geliat politik warga dalam mengelola proses-proses politik yang secara formal disediakan Negara.
Tahap-tahap yang harus dilewati kandidat 'non-parpol' berdasarkan permintaan juridis sebetulnya jadi semacam 'entry point' utama untuk masuk dalam apa yang disebut dengan -membuka akses bagi warga politik ke dalam proses dan kontestasi politik. Tentu, bukan perolehan akumulasi dukungan formal (minimal) saja yang ada dalam target, melainkan terutama 'keterhubungan' warga dengan inti politik dan kekuasaan. Keterhubungan yang memantik kesadaran politik betapa sekian lama rakyat diperlakukan sebagai 'pihak asing' atau 'obyek' dari konstruksi kekuasaan -yang seharusnya memusat pada kepentingan kewargaan.
Jalan politik Paket Viktori -bagi saya -bukan saja sekedar rintisan menuju kursi kekuasaan melainkan sebuah pengabdian demokratik yang hasilnya mungkin baru kelihatan satu atau dua dekade dari sekarang. Sungguh, ini butuh ketekunan, kerelaan dan pengorbanan yang besar dan tidak biasa.
Modernisasi Politik Lokal
Untuk hal yang lebih khusus, saya sering mengintip bagaimana kelompok pergerakan politik ini secara masif membangun komunikasi politik. Ambil contoh sederhana, mereka secara masif menggunakan facebook yang relatif murah dengan jangkauan yang luas. Melalui media ini, kita bisa melihat 'dapur' pergerakan mereka, membaca kesulitan, mengetahui tantangan, tetapi sekaligus juga dapat menangkap satu kebenaran bahwa 'harapan' untuk perubahan yang lebih baik melalui jalan politik dan kekuasaan belum mati. Bahkan, sejumlah akademisi rela mengawal perjuangan komunitas ini secara telaten. Mereka tidak menunggu. Mereka bergerak. Mereka mengingatkan publik. Mengajak warga untuk terlibat secara aktif.
Secara sederhana juga selalu benar bahwa peradaban sebuah komunitas politik akan mekar manakala warga politik mau 'bergerak' -mendukung jalan-jalan alternatif menuju kekuasaan pro-kehidupan. Dapat dikatakan, pola rekrutmen pemimpin politik melalui mekanisme partai politik, dengan segala macam catatan yang menyertainya, bisa dianggap sebagai proses konvensional. Sesuatu yang sudah lama dikenal dan diterima publik. Di titik ini, bisa muncul kecenderungan 'geliat politik warga menjadi 'stagnan'. Pada situasi normal, di mana partai politik dapat menyodorkan kandidat-kandidat terbaik, hal ini tentu tidak begitu merisaukan.
Tetapi ketika cerita mekanisme demokrasi masih diwarnai dengan hasrat dan nista menyempitkan kekuasaan sekadar mengabdi kepentingan 'klan' maka ruang yang diberikan kepada sekian banyak kandidat terbaik tanpa partai politik harus ditaruh dalam kerangka 'menyegarkan' demokrasi lokal.
Dengan itu, jelas juga, proses politik tidak lagi didominasi para aktivis partai politik tetapi juga oleh kelompok lain seperti akademisi, aktivis, peneliti yang tidak mau terkungkung dalam format formal politik kepartaian beserta implikasinya ke ranah publik. Politik yang di satu pihak terlalu terpenjara pada 'titah kekuatan politik pusat' di satu sisi, dan stagnasi geliat politik warga di sisi sebelahnya.
Kehadiran Sahabat/Paket Viktori di Kota Kupang mesti dibaca dan dijalankan -melampaui sekadar kepentingan politik praktis semata -sebagai titian melakukan 'modernisasi' politik lokal. Tentu saja adalah hal yang sangat baik ketika kelompok politik yang bertarung dalam proses politik lokal mengerjakan hal sepenting ini.*