Integritas dan Keberanian di Panggung Politik

Itulah sifat dan sikap manusia yang paling dikagumi John Fritzgerald Kennedy (1917-1963), Presiden ke-35 Amerika Serikat (1960-1963).

Editor: Agustinus Sape
POS KUPANG/SERVAN MAMMILIANUS
HIBUR -- Junita Janet saat menghibur masyarakat Manggarai Barat di Labuan Bajo, Jumat (4/12/2015). 

Namun, tampaknya tantangan bagi keberanian politik pada masa kini lebih besar daripada masa lalu. Karena kehidupan sehari-hari masa kini begitu dipadati oleh arus komunikasi massa yang luar biasa, sehingga kita tidak bisa membayangkan bagaimana suatu langkah kebijakan politik yang tidak bisa menimbulkan gelombang protes masyarakat. Kehidupan politik masa kini menghabiskan begitu banyak biaya, begitu termekanisasi dan begitu dikuasai oleh para politisi dan pekerja profesional di bidang media massa, sehingga seorang idealis yang bermimpi datangnya figur negarawan, dibangunkan dengan kasar dari tidurnya yang lelap oleh kepentingan politik sesaat yang sesat.

Dari perjalanan Kabupaten Sikka tiga tahun terakhir, kita harus punya sikap dan pandangan yang tegas, bahwa hanya pemimpin yang sangat berani, yang mampu mengambil keputusan sulit dan tidak populer, itulah yang diperlukan demi kesinambungan pembangunan dengan menggerakkan dinamika partisipasi masyarakat. Pemimpin yang sejati adalah elang yang jarang sekali terbang menggerombol. Sendirian ia menjelajahi keluasan cakrawala, dan wawasan visionernya kadang dipahami atau malah dicemooh oleh rekan-rekannya dan masyarakat.

Rakyat sangat mengharapkan penerapan kebijakan politik dan pembangunan yang berpihak kepada orang kecil. Namun tampaknya pemerintah sibuk merias citranya di mata rakyat, sementara anggota DPRD yang menyandang sebutan wakil rakyat sibuk melakukan perjalanan dinas keluar daerah saban bulan dan memikirkan trik-trik baru untuk mengisi kepentingan politiknya dengan apa yang disebut dana pokir atau dana aspirasi.

Profiles in Courage adalah potret para pemimpin yang berani tidak populer demi integritasnya. John F. Kennedy menulis buku ini tahun 1955 ketika ia menjabat Senator dari negara bagian Massachusetts, dan di tengah persiapan mencalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Ia berhasil terpilih, tercatat sebagai presiden termuda usianya dalam sejarah Amerika Serikat, dan satu-satunya presiden yang beragama Katolik dari 44 presiden negara adidaya itu hingga kini. Buku ini dicetak ulang tahun 1956, disusul tahun 1964, setahun setelah ia ditembak mati di Dallas, tanggal 22 November 1963. Kata pengantar cetakan ulang ditulis Robert F. Kennedy, adik kandungnya, Jaksa Agung AS, yang juga ditembak mati tanggal 5 Juni 1968 di Los Angeles ketika tampil berkampanye merebut jabatan presiden.

Buku setebal 412 halaman ini diterbitkan dengan terjemahan bahasa Indonesia oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama (1998), alih bahasa Abraham RAP. Patut dibaca oleh para pemimpin dan pejabat pemerintah, politisi, kaum cendekiawan, mahasiswa dan siapa saja yang bergerak di bidang politik dan kemasyarakatan. Kennedy menegaskan, kita sama sekali tidak bisa mengandalkan semua yang kita miliki, termasuk kepandaian atau kecakapan kita yang luar biasa untuk mencapai keberhasilan dalam arena politik. Justru itu, bacalah buku ini! Kennedy menerima hadiah Pulitzer untuk buku ini, sebuah penghargaan yang tertinggi, bergengsi dan pretisius dalam dunia karya tulis di Amerika Serikat.

Dalam konteks Indonesia saya sungguh terpesona dan menghayati sikap, etika dan moralitas sebagai keteladanan politik yang dipraktikkan para pendiri negeri ini, politisi dan negarawan kelas wahid seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Mohamad Natsir, Mohamad Roem, I.J. Kasimo, A.M. Tambunan, T.B. Simatupang, dan tokoh nasional asal NTT seperti Herman Yohannes, Frans Seda, VB da Costa, Ben Mangreng Say, Ben Mboi dan lain-lain. Apa yang mereka katakan dan praktikkan dalam kehidupan politik? "Berpolitik jangan opportunis. Berpolitik itu harus ada landasan etiknya. Landasan itu harus dibentuk dan disemai dalam hati yang tulus, dan jangan mencari mana yang enak saja, yang menguntungkan" (M. Natsir, Di Panggung Sejarah Republik, Penerbit Republika, Jakarta, Desember 2008, editor Lukman Hakiem).

Mohamad Natsir (1908-1993), Ketua Umum Partai Masjumi (1949-1958) adalah politisi kawakan dan santun, pernah menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946), Menteri Penerangan RI (1946-1949), Perdana Menteri RI (1950-1951), anggota Parlemen RI (1950-1958) dan anggota Konstituante (1956-1959). Hidup pribadinya sederhana dan jauh dari kecintaan akan harta benda. Dia tidak mau menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengannya dengan menghalalkan segala cara. Dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pergaulan politik dia tetap menjalin persahabatan dengan politisi dari partai-partai lain, walaupun mereka sering berbeda pendapat sedemikian tajam menyangkut dimensi ideologi dan keyakinan. Natsir berpolitik dengan kata-kata sopan dan sepantasnya, tanpa menimbulkan ketersinggungan pribadi. Ibarat mencubit orang, tapi yang dicubit tidak merasa sakit. Tidak mengherankan apabila di Gedung Parlemen tahun 1950-an, Natsir duduk di kantin dan mengobrol sambil minum kopi hangat dan tertawa gaul bersama D.N. Aidit, tokoh PKI, padahal semua orang tahu bahwa pendirian politik kedua tokoh ini berbeda bagai bumi dengan langit, satu dan lain hampir tidak ada titik temunya. Pada Hari Raya Natal, Natsir datang menyalami Kasimo di rumahnya, sebaliknya Kasimo hadir dengan senyum khasnya di rumah Natsir pada setiap Hari Raya Idul Fitri. Begitulah pertemanan dan nilai keakraban yang dirajut para politisi terkemuka pada tahun-tahun awal kelahiran republik ini, sebuah contoh dan keteladanan yang patut dihayati dan ditiru para politisi generasi reformasi ini.

Sejarah kemudian mencatat bahwa jatuh bangunnya pemerintahan pada saat usia negara ini masih sangat muda, telah mengajarkan kita tentang pentingnya kearifan, norma, etika dan moralitas yang tinggi dalam berpolitik. Sesungguhnya memasuki zaman keterbukaan dan demokrasi sejak mekarnya reformasi 1998, para politisi sepatutnya menampilkan sikap politik yang berkualitas dengan membangun nilai-nilai positif seperti kejujuran, komitmen, kerjasama, loyalitas dan profesionalisme sebagai wujud dari kultur kehidupan. Kearifan, norma, etika dan moralitas hendaknya dilestarikan, sehingga kader-kader partai politik tidak mudah goyah, pragmatis, berganti partai atau afiliasi politik, hanya ikut ke mana angin bertiup atau menjadikan partai politik sebagai lahan untuk menggarap uang dan kekayaan pribadi. "Pragmatisme tidak cocok untuk kemajuan partai", kata Aburizal Bakri, Ketua Umum DPP Partai Golkar (Kompas, 16/4/2011).

Hanya dengan sikap politik yang demikian itulah akan tampil politisi-politisi yang punya integritas dan keberanian di panggung politik!*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved