"Tombo-tombo" Menjaga Kelestarian Bahasa Manggarai

Menurut Prof. Stephanus Djawanai, bahasa merupakan alat petunjuk jati diri kelompok etnis. Karena

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi 

Oleh Willem B Berybe

Mantan Guru, Peminat Bahasa, Tinggal di BTN Kolhua Kupang

POS KUPANG.COM -Kehadiran tulisan kolom Pos Kupang dalam bahasa Manggarai "Tombo-tombo" dan "Kula Babong " dalam bahasa Sikka setiap edisi Sabtu merupakan sebuah komitmen dan misi Pos Kupang untuk turut serta melestarikan kearifan lokal dalam hal ini bahasa dan kebudayaan daerah Nusa Tenggara Timur melalui media.

Menurut Prof. Stephanus Djawanai, bahasa merupakan alat petunjuk jati diri kelompok etnis. Karena itu penggunaan istilah bahasa etnik sepadan dengan bahasa daerah (Pos Kupang, 25 Oktober 2010). Dari begitu banyak kelompok etnis (suku) yang ada di provinsi ini, maka sebanyak itu pula bahasa daerah menjadi identitas diri masing-masing etnik. Bahkan di Manggarai sendiri terdapat sejumlah dialek/sub dialek yang berlaku di masyarakat seperti di Manggarai Timur.

Pakar Bahasa Indonesia, Drs. Frans Selamat, menyebut keragaman dialek di Manggarai Timur dapat dikelompokkan dalam tiga wilayah penuturan yaitu Wae Lengga dengan 5 varian, Elar 4 dan Pota 2 termasuk bahasa Dima (penutur asal Bima). Luar biasa!

Sejak tahun 2014 lalu, rubrik TOMBO-TOMBO ini sudah menghasilkan begitu banyak episod dengan warna khas Bahasa Manggarai. Sejauh penulis tahu, dokumen-dokumen berbahasa Manggarai tidak banyak. Yang paling popular dan merupakan dokumentasi ilmiah ialah karya-karya peneliti bahasa (linguis) Pater Jilis A.J.Verheiyen SVD, antara lain: Kamus Bahasa Manggarai, Manggarai-Indonesia I dan Indonesia-Manggarai II; buku tentang suara binatang dalam Bahasa Manggarai.

Kemudian ceritera-ceritera dongeng Manggarai pun dihimpun Jilis A.J.Verheiyen SVD dengan tokoh cerita utama Hi Pondik (Si Pondik). Penerbit Ledalero telah meluncurkan DONGENG-DONGENG MANGGARAI Jilid I (2006). Ketenaran tokoh Si Pondik ini tertular juga dalam episod Tombo-tombo seperti terlihat pada edisi 19/12/2015, 21/1/2016, 12/3/2016, 2/4/2016, dan 7/5/2016, sedangkan tokoh rekaan versi etnik Manggarai di antaranya hi Parus (Si Parus), emad Slampe (Bapaknya Slampe), ended Wela (Mamanya Wela), hi Jelong (Si Jelong), Kijong, Moni agu Nadus (Moni dan Nadus), Mbina, Mbenya, hi Nana (panggilan manis dan akrab untuk laki-laki).

Dokumen lain yang sudah menyatu dengan umat Katolik di daerah Manggarai ialah buku Dere Serani. Kumpulan lagu-lagu daerah Manggarai yang dikarang oleh musisi lokal seperti P. Manti dengan lagu masa advent-nya Gelang Koe Wa'u Ta (1937) yang secara harafiah berarti 'Cepatlah turun' dan gubahan lirik ala Yubilate (2001) 'Ya Tuhan datanglah' adalah contoh karya pelestarian bahasa daerah yang sangat mulia.

Satu kerugian besar mana kala eksistensi Dere Serani semakin dipinggirkan dan terdesak oleh lagu-lagu liturgi berbahasa Indonesia. Inilah tugas pewartaan Gereja dan pemerintah untuk bersama-sama terus membumikan Dere Serani. Buku nyanyian yang sudah terbit hingga kesembilan kali (1994) ini menjadi sumbangan yang sangat berharga dari segi bahasa daerah dan bernilai budaya dalam perjalanan inkulturasi di gereja lokal.

Pertama kali diprakarsai oleh Uskup Wilhelmus Van Bekkum SVD yang minatnya terhadap kebudayaan Manggarai begitu besar. Tidak heran banyak kalangan mengidentikkan Uskup Keuskupan Ruteng pertama ini dengan Dere Serani.

Tombo-tombo adalah kata ulang dalam bahasa Manggarai. Berasal dari kata kerja 'tombo' (berbincang, berbicara, bercerita). Jika berbentuk kata ulang tombo-tombo (bincang-bincang, obrolan) dia mengandung makna pembicaraan (berbincang-bincang) dalam situasi yang tidak resmi (kekeluargaan), lebih santai, kadang unsur jenaka (humor) dengan idiom-idiom khas bahasa daerah. Dalam kesempatan lain tombo-tombo dapat ngelantur jauh dan membuahkan makna kehidupan tertentu tanpa sengaja atau direkayasa terlebih dahulu.

Pada medio 2014 lalu, penulis sempat mengunjungi Rumah Fransisikan Labuan Bajo (Biara) yang terletak di Desa Gorontalo, 200 meter dari ujung kawasan elite (hotel-hotel) Pantai Pedé itu arah selatan Kota Labuan Bajo (Pos Kupang Minggu, 11 Oktober 2015). Di sana kami bertemu pemimpin rumah yang tak lain adalah Uskup Emeritus Michael Angkur OFM. Dengan ramah dan sederhana beliau bercerita banyak kisah 'kole beo' (pulang kampung) menyusul purna tugas sebagai Uskup Bogor sejak Februari 2014.

Dari konteks tombo-tombo itu sampailah kami pada soal asal-usul nama Gorontalo. Adakah relasi antara nama Gorontalo di Sulawesi Utara sana dengan Gorontalo di Labuan Bajo? Dari struktur kata Gorontalo diduga ada unsur kata yang mengandung makna sebuah kawasan, hamparan yang membentang luas sepanjang pesisir selatan Labuan Bajo. Fitur alam yang demikian merentang luas sepanjang pantai itu memberi makna majas perbandingan (simile) dengan ungkapan laksana atau bagaikan 'gurun'.

Kawasan pantai ini menyisakan sejenis tanaman bambu pantai yang dalam bahasa setempat disebut to'é dengan rimbunan batang dan tangkainya yang mencakar tajam (berduri) dan keras tumbuh lebat sepanjang kawasan Gorontalo, pantai Pede hingga Golo Langkas, daerah Merombok. Bayangkan jika pada zaman dahulu seluruh kawasan tersebut diselimuti tumbuhan bambu pantai yang khas ini yang kini tinggal cerita setelah digusur oleh pemukiman baru.

Dalam dunia flora (tumbuh-tumbuhan) ada sejenis bambu bernama gurung yang banyak tumbuh di daerah Manggarai (Barat). Kulit batangnya yang masih muda, berwarna hijau tua, sering diambil untuk dijadikan bahan anyaman keranjang roto oleh kaum ibu di kampung. Jenis bambu ini disebut 'talok'.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved