Revitalisasi Kearifan Lokal Menuju Lingkungan yang Demokratis
Krisis lingkungan merupakan akibat dari krisis moral dan spiritual manusia, karena itu krisis lingkungan mencakup
Oleh Yulita Hety Sujaya, S.Pd
Guru SMA Setia Bhakti Ruteng
POS KUPANG.COM - Isu tentang lingkungan menjadi salah satu topik yang tidak pernah selesai dibahas. Hal ini dikarenakan oleh arti penting dari keberadaan lingkungan itu sendiri dengan berbagai macam kompleksitas persoalannya. Secara konseptual, lingkungan dipahami sebagai wadah tempat manusia melakukan aktivitas kehidupannya. Lingkungan yang secara fisik mudah kita lihat seringkali sulit dalam menafsirkan dan memahaminya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya beragam persoalan yang dihasilkan oleh afiliasi yang erat antara manusia dan lingkungan.
Krisis lingkungan merupakan akibat dari krisis moral dan spiritual manusia, karena itu krisis lingkungan mencakup pula krisis pandangan hidup manusia (Sardar, 1985: 218). Hans Kung menilai bahwa kehancuran alam yang terjadi pada era milenium merupakan bukti nyata dari krisis etika yang merupakan dampak paling besar dari modernitas (modern) yang cenderung mengagungkan eksistensi manusia karena rasionalitasnya berdampak pada subordinasi terhadap eksistensi yang lain yang tidak rasional seperti alam dan ekosistemnya.
Dominasi nalar antroposentrisme dalam sejarah pemikiran manusia. Sebagai akibatnya, terjadi pertarungan yang sangat kuat antara manusia dan lingkungan hidup. Jonathan Bate mengungkapkan bahwa after all, if we destroy the earth we will destroy ourselves yang artinya di atas semua itu, jika kita hancurkan bumi atau lingkungan berarti kita hancurkan diri kita sendiri.
Tanggal 5 Juni yang diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia tentu saja bukan hanya dianggap sebagai ritual tahunan yang nirmakna. Tetapi harus ada satu hal penting yang perlu dimaknai secara lebih mendalam terutama yang berkaitan dengan keharmonisan hubungan dan pola relasi yang terus menyatu antara manusia dan alam.
Kompleksitas Persoalan Lingkungan
Lingkungan kita dalam perkembangannya kian terkikis dan cenderung menampilkan wajah yang tak ramah lagi. Proses industrialisasi yang dilakukan secara besar-besaran dan berlangsung hampir di seluruh wilayah Indonesia menjadi hal yang lumrah. Berbagai macam persoalan seperti perluasan hutan untuk kepentingan perusahaan, pertambangan, illegal logging, pembuangan sampah hasil limbah pabrik adalah sederet bentuk nyata dari kapitalisasi terhadap alam.
Sungguh tragis menyaksikan lingkungan kita saat ini yang sebagian besarnya sudah dihiasi oleh lubang-lubang raksasa. Tatkala proyeknya sudah selesai, yang terisisa hanyalah lubang-lubang kosong.
Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang dikutip oleh World Wildlife Fund, setidaknya 1,1 juta hektare atau 2% dari hutan Indonesia menyusut setiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektare hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektare diantaranya sudah ditebang (Jazuli, 2014: 2).
Tak sedikit orang yang harus menjadi korban dari kekuatan kapitalisme ini. Masih segar dalam ingatan kita tentang peristiwa kabut asap yang melanda Pulau Kalimantan dan Riau pada tahun 2015 kemarin.
Banyak orang yang meninggal dunia karena serangan penyakit ISPA. Hal yang menyedihkan adalah bayi yang baru lahir, yang tidak tahu apa-apa tentang lingkungan. Bentuk-bentuk kejahatan manusia terhadap lingkungan antara lain penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan. Selain itu juga disebabkan oleh adanya politik konversi yang merupakan manifestasi dari sombiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha dalam merusak lingkungan hidup. Terkait simbiosis ini dapat dibuktikan melalui pemberian izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modalnya melalui proses pengerukan kekayaan alam seperti aktivitas pertambangan di Indonesia.
Revitalisasi Kearifan Lokal
Menyikapi persoalan lingkungan yang kian hari terus bertambah, maka diperlukan upaya revitalisasi kearifan lokal. Menurut Wieoler dalam Baharudin kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya dan berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah serta berkembang secara turun-temurun (Baharudin, 2012: 6).
Konsep ini terkesan sangat konvensional dan terlampau tradisional terutama untuk kepentingan pengelolaan lingkungan.
Pendekatan ini hadir sebagai salah satu bentuk resistensi terhadap dominasi rasionalitas manusia yang berkutat pada rana instan. Memang upaya untuk mengimplementasikan pendekatan ini cukup sulit dikarenakan oleh pengaruh modus demografi yang terus mengalami pertumbuhan setiap tahun. Tetapi substansi dasar dari pendekatan ini adalah lebih kepada menghidupkan kembali kebiasaan-kebiasaan yang pada masa lampau terkait pengelolaan lingkungan hidup.
Modernisasi kearifan lokal merupakan kata yang tepat, tetapi tidak menghilangkan sama sekali unsur kebudayaannya. Hal yang banyak terjadi selama ini adalah cara berpikir pragmatis yang melihat alam atau lingkungan sebagai obyek. Pendekatan kearifan lokal justru menentang model pemikiran pragmatis tersebut. Alam atau lingkungan merupakan subyek yang berkedudukan sama dengan manusia. Oleh karena itu, alam harus dijaga. Bagaimana pun, ia (alam) dapat "berbicara" dan bahkan "menangis" tatkala kita terus merobek isi tubuhnya.
Lingkungan yang Demokratis
Konsep tentang lingkungan yang demokratis berawal dari pola pemikiran yang menyatakan bahwa lingkungan merupakan tempat tinggal semua makhluk hidup. Manusia, hewan dan tumbuhan berproses bersama di dalam lingkungan. Dalam konsep lingkungan yang demokratis ini, semuanya memiliki kedudukan yang sama, tanpa ada dikotomi kelompok yang mendominasi dan didominasi. Nilai demokratisnya nampak terlihat dari kedudukan yang sama.
Terlepas dari adanya situasi yang paradoks terhadap konsep lingkungan yang demokratis selama ini, penulis tetap optimis dan berani menggugah cara pandang kita untuk melihatnya secara berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi adalah hewan membutuhkan makanan yang dominan didapatnya dari hutan. Hal yang sama juga terjadi pada manusia yang mendapatkan makanan dari hutan. Tetapi cara untuk mendapatkan makanan yang seringkali dijadikan masalah. Manusia seringkali menjadi aktor yang sangat dominan karena dominasi rasionalitas diri serta keegoisan yang berujung pada kerusakan lingkungan.
Rusaknya lingkungan dalam hal ini hutan berdampak pada ketiadaan tempat hidup bagi makhluk hidup yang lain.
Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan lingkungan yang demokratis merupakan tanggung jawab kita semua. Mulai dari kalangan akar rumput sampai pada pemerintah selaku pembuat kebijakan. Selain melalui pendekatan revitalisasi kearifan lokal juga melalui upaya penegakan hukum serta penguatan sanksi sosial terhadap para pelaku yang merusak lingkungan. Dengan demikian terciptanya lingkungan yang demokratis akan tercapai dan akan berdampak pada kesejahteraan semua elemn yang ada di dalamnya termasuk manusia itu sendiri.*