21 Mei 1998, Berakhirnya Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru

Sejarah mencatat bahwa Mei 1998 menghadirkan rangkaian cerita panjang yang mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto.

Editor: Rosalina Woso
via commons.wikimedia.org
saat mengumumkan mundur dari jabatannya di Istana Merdeka, pada 21 Mei 1998. 

POS KUPANG.COM, JAKARTA -- Sejarah mencatat bahwa Mei 1998 menghadirkan rangkaian cerita panjang yang mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto.

Setelah berbagai peristiwa panjang, baik itu aksi demonstrasi yang menuntut Soeharto mundur hingga kerusuhan disertai kekerasan yang berbasis prasangka rasial, Soeharto pun mengakhiri masa kekuasaannya pada 21 Mei 1998.

Bapak Pembangunan Indonesia lengser keprabon.

Angin politik memang tidak berhembus sejuk ke Jalan Cendana, tempat keluarga Soeharto tinggal di Jakarta, sepanjang Mei 1998.

Padahal, gugatan terhadap kekuasaan Soeharto sebenarnya sudah terjadi sejak periode 1980-an. Pada pemilu 1982 misalnya, gugatan terhadap hasil pemilu yang memenangkan Golongan Karya sebagai mesin politik Soeharto mulai terdengar.

Dilansir dari arsip Harian Kompas yang terbit pada 2 Januari 1982, Presiden Soeharto bahkan sudah membantah anggapan kecurangan pemilu, meskipun pemilu baru berlangsung pada 4 Mei 1982.

Saa itu bahkan Soeharto menjanjikan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Periode 1980-an juga diwarnai sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, yang menjadi catatan hitam kekuasaan Orde Baru.

Pelanggaran HAM berat itu di antaranya penembakan misterius alias petrus, Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, penggusuran paksa untuk waduk Kedung Ombo, juga Peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989.

Tidak hanya pelanggaran HAM, kekuasaan Orde Baru juga disertai dengan catatan pelanggaran terhadap hak demokrasi.

Jurnalisme dibelenggu dengan penerbitan surat izin usaha penerbitan pers. Kritik terhadap pemerintah, dipastikan menjadi jalan untuk dicabutnya SIUPP, yang berarti perusahaan pers dipaksa berhenti beroperasi.

Belenggu yang dihadirkan rezim Orde Baru malah menumbuhkan aktivis demokrasi. Sejumlah gerakan perlawanan muncul, yang kemudian segera dibungkam pemerintah dengan cepat. Salah satu tonggaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996.

Setelah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tragedi Kudatuli itu, dinamika politik semakin panas, apalagi menjelang Pemilu 1997.

Periode ini juga ditandai dengan penculikan sejumlah aktivis demokrasi. Beberapa aktivis bahkan masih hilang hingga sekarang.

Namun, angin kencang yang dapat menggoyang kekuasaan Orde Baru terjadi pada pertengahan 1997, akibat krisis ekonomi.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved