Mengais Etika di dalam Peradilan Kita

Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Earl Warren (1953-1969) pernah mengatakan, "In civilized life, law floats in a sea of ethics"

Editor: Rosalina Woso
Ilustrasi 

POS KUPANG.COM -- Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Earl Warren (1953-1969) pernah mengatakan, "In civilized life, law floats in a sea of ethics" (Dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudra etika).

Tanpa etika, hukum hanya segepok buku dan dokumen berisi undang-undang, tanpa rasa keadilan.

Dua norma itu, etika dan hukum, acap kali dipisah-pisahkan, tetapi senyatanya adalah dua sisi mata uang yang satu sama lain memberi jiwa dan nilai bagi tegaknya suatu masyarakat yang berperadaban mulia.

Tak terkecuali di Indonesia. Ketika dua norma itu dilukai dengan perselingkuhan antara penegak hukum dan penguasa kapital, publik lagi-lagi ternganga, kecewa. Yang dikhawatirkan ialah, ketika hal itu terus berulang, publik menjadi kedap dan lupa.

Belum lama berselang dari tertangkapnya Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah Sekretaris MA Nurhadi bepergian ke luar negeri.

Ia dicegah tidak lama setelah KPK menangkap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dalam kasus dugaan suap.

Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo saat membawakan talkshow "Satu Meja" di Kompas TV, Rabu (4/5), menyebut wajah dunia peradilan Indonesia sedang tercoreng.

Kenyataan itu tak ditampik empat pembicara yang hadir, yakni Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun, anggota Komisi III DPR Erma Suryani Ranik, ahli hukum tata negara Refly Harun, dan Sekretaris Dewan Penasehat Setara Institute Romo Benny Susetyo.

Gayus melihat kasus Andri dan kasus lainnya menunjukkan ada yang salah di MA dan peradilan di bawahnya.

"Secara jujur harus dikatakan, dalam satu atau dua tahun ini, fenomena itu terjadi secara masif. Contohnya yang menimpa hakim di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Medan, di Bandung (Jawa Barat), Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan daerah-daerah lain. Tentu ada yang salah," katanya.

Mengenai kasus Nurhadi, sekalipun bukan hakim atau terkait langsung dengan teknis yudisial, ia memiliki kekuasaan besar.

Sebagai Sekretaris MA, Nurhadi memiliki kuasa dalam bidang anggaran, tata kelola sumber daya manusia, serta aset-aset MA. Keterkaitan langsung pada penentuan putusan peradilan juga bukan syarat utama suatu penyelewengan hukum dan pelanggaran etik untuk terjadi.

"Saya bisa mengatakan, semua orang di Gedung MA bisa melakukan penyelewengan itu. Namun, itu tidak akan terjadi jika hakimnya tegas atau bersih," ujar Gayus.

Nurhadi hingga saat ini masih berkantor di MA dan institusi peradilan tertinggi itu belum akan memberhentikan Nurhadi sampai ada kepastian tentang status hukumnya oleh KPK. Jika sudah menjadi tersangka, Nurhadi baru akan dinonaktifkan.

Sikap MA itu memantik pertanyaan lebih dalam tentang pertimbangan moral. Apakah hanya aspek legalistik yang digunakan dalam menyikapi aparat hukum yang diduga korup? Apakah pantas seorang pejabat publik dipertahankan ketika ia diduga tersangkut sebuah kasus?

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved