Mengais Etika di dalam Peradilan Kita

Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Earl Warren (1953-1969) pernah mengatakan, "In civilized life, law floats in a sea of ethics"

Editor: Rosalina Woso
Ilustrasi 

Di luar sikap MA yang mempertahankan Nurhadi, problem etika di dunia peradilan juga disoroti tajam oleh Romo Benny dan Refly Harun menyangkut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat yang belum lama ini juga diberi sanksi ringan oleh Dewan Etik MK.

Arief ditegur karena memberi katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk menitipkan seorang jaksa.

Di akhir suratnya, Arief menuliskan, "mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak".

"Kultur hukum kita belum mendukung seseorang untuk mundur dari jabatannya ketika ia melakukan pelanggaran etik," kata Refly.

Problem etika berlainan dengan hukum yang menganut asas praduga tak bersalah. Selama ini, asas itu dijadikan tameng guna mempertahankan jabatan.

Menurut Refly, etika tidak mengenal asas praduga tak bersalah sebab etika berkaitan dengan soal pantas atau tidak pantas.

Ketika rasa malu tidak muncul dari suatu perbuatan yang melanggar etika, maka seseorang itu tidak akan melakukan apa-apa.

Dikuasai kapital

Hukum di Indonesia pun dinilai kehilangan momentum untuk memperbaiki dirinya. Berbeda dengan reformasi politik dan ekonomi yang relatif berjalan, Refly dengan nada pesimistis menyebut reformasi di bidang hukum tak berjalan.

Bahkan, tertangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus suap pilkada tahun 2013, tidak cukup menjadi gempa untuk membangkitkan kesadaran tentang perlunya merombak dunia peradilan.

Pada era Orde Baru, MA diintervensi kekuasaan negara. Pasca reformasi, MA memang tidak lagi diintervensi negara, tetapi lembaga itu justru diintervensi kepentingan pemilik modal. MA memang berubah, tetapi tidak ke arah yang lebih baik.

"Kenapa kita gagal? Karena kita mengasumsikan Indonesia sama dengan negara-negara lain yang telah menjalankan good governance sehingga kita mencari cara-cara yang gradual dan biasa. MA saat ini diberi kekuasaan yang besar, tetapi tidak diimbangi dengan akuntabilitas, independensi, dan profesionalitas orang-orangnya. Yang terjadi ialah MA menjadi pulau korup yang tidak bisa disentuh oleh kekuasaan apa pun," ujar Refly.

Romo Benny mengakui, saat ini sulit menemukan hakim yang benar.

"Selama sistem perekrutan hakim dikendalikan penguasa yang korup, kehidupan hukum Indonesia akan masuk ke dalam jurang," katanya.

Ketika hukum dikuasai pemodal, pencarian keadilan melalui proses hukum sulit dilakukan. Untuk mengatasi peradilan korup yang dijalankan oleh aparat yang minus etika, Romo Benny bahkan mengusulkan "revolusi" dengan memotong habis satu generasi.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved