Kartini, Karton dan Kartun

Dominasi budaya kolonial menyebabkan kaum perempuan mengalami tekanan psikis dan sosial.

Editor: Dion DB Putra
Dok. Kompas/Istimewa
Raden Ajeng Kartini 

Masalahnya, untuk kategori itu, perempuan masih memegang posisi-posisi yang sama seperti di rumah. Sekretaris dan bendahara merupakan posisi yang sering dipegang oleh kaum perempuan di ranah publik. Dua posisi itulah yang menjadi andalan utama perempuan di rumah.

Dalam kenyataan yang lain, perempuan Indonesia masa kini bisa dijelaskan dengan realitas kartun. Kartun merupakan media film yang ditayangkan di televisi untuk menggambarkan berbagai kenyataan sosial. Kocak, lucu dan sangat infantil. Faktanya, banyak hal yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam berbagai film kartun itu. Saya tidak menjelaskan dan menganalisis film di sini. Yang mau dijelaskan adalah realitas perempuan dan media.

Harus diakui bahwa perempuan lebih sering berada di depan televisi untuk menonton berbagai kenyataan yang serba aneh dari sana. Masalahnya, ketika perempuan tidak didukung dengan berbagai nilai, perempuan mudah sekali ditipu oleh beragam media itu. Alih-alih mendapatkan informasi, yang didapat adalah informasi yang telah terdistorsi; informasi yang telah ditelikung atau diputarbalikkan. Media audiovisual harus bertanggung jawab atas hal ini.

Di samping itu, sisi internal perempuan sendiri, ketidakmampuan perempuan mengisi kepala dengan berbagai informasi produktif menyebabkan perempuan jatuh ditimpa oleh kekuatan iklan dan media massa sendiri. Akibatnya, perempuan menjadi korban selamanya.

Kita bisa menghubungkan dua hal itu (karton dan kartun) dengan semangat Kartini. Menurut saya, semangat Kartini ditelikung oleh dua kekuatan sekaligus. Sosial dan perempuan sendiri. Dari aspek sosial, berbagai struktur telah menempatkan perempuan sebagai obyek. Dalam batas yang sama, budaya patriarki masih terlalu kuat meminggirkan kaum perempuan. Perempuan hidup dalam bingkai karton berbagai segi. Di situ, perempuan identik dengan wadah tempat semua barang dari berbagai jenis dan untuk semua kebutuhan dibuang.

Di sisi yang lain, perempuan yang sama menjadi obyek tempat berbagai hasrat ditampung. Perempuan dibuat bodoh dan tak berdaya oleh kekuatan media. Selain karena kekurangan perempuan sendiri, realitas itu disebabkan karena pemilik kekuasaan di dunia ini memang cenderung melihat perempuan sebagai obyek; tempat memasarkan barang dagangan mereka. Payahnya lagi, perempuan Indonesia sering dianggap sebagai 'barang' yang bisa dijualbelikan. Nasib perempuan Indonesia sungguh menyedihkan.

Beberapa hal bisa dilakukan agar perempuan Indonesia, generasi Kartini Indonesia masa kini bisa keluar dari jebakan seperti itu. Selain mengubah semua struktur yang bersifat dominatif, perempuan sendiri harus segera sadar bahwa perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki.

Harus ada gerakan melawan lupa akan diri perempuan sendiri. Negara secara politik harus membantu perempuan agar perempuan bisa keluar dari berbagai struktur yang memenjarakan perempuan itu. Itu saja yang bisa menghidupan nyala api Kartini. Gerakan-gerakan itulah yang bisa menerbitkan terang dalam menghalau kegelapan peradaban dan nasib perempuan Indonesia. Selamat Hari Kartini.*

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved