Kartini, Karton dan Kartun
Dominasi budaya kolonial menyebabkan kaum perempuan mengalami tekanan psikis dan sosial.
Refleksi Hari Kartini
Oleh Albertina Yosefina Samu
Guru SDK Ruteng II Langke Rembong
POS KUPANG.COM - Setiap tanggal 21 April bangsa ini merayakan Hari Kartini. Kartini merupakan sosok pemberontak yang melawan tatanan sosial masyarakat ketika dominasi laki-laki dalam budaya patriarki menguat. Kala itu, Kartini mendobrak budaya kolonial yang hanya berbeda sedikit dengan karakter budaya patriarki.
Dominasi budaya kolonial menyebabkan kaum perempuan mengalami tekanan psikis dan sosial. Sementara itu, dominasi budaya patriarki membuat perempuan memikul beban yang tidak hanya ganda, tetapi sangat banyak: fisik, sosial, budaya, politik dan masih banyak yang lain.
Harus diakui bahwa perempuan Indonesia sampai saat ini masih memikul banyak beban. Perempuan Indonesia diliputi banyak sial dan soal. Semangat Kartini memang sedang menyala di kalangan perempuan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya gerakan massa akan kehidupan perempuan Indonesia. Gerakan kesetaraan gender pelan tapi pasti mengiringi perjalanan bangsa ini. Organisasi sosial yang memiliki misi perbaikan nasib perempuan muncul di mana-mana.
Tulisan ini ingin mengangkat realitas kekinian perempuan. Yang pasti, jika dihubungkan dengan Kartini, perempuan Indonesia bisa dijelaskan dengan memahami hubungan karton dan kartun.
Kartini Indonesia
Kartini merupakan simbol perlawanan kaum tak bersuara. Membaca kerja Kartini dalam memperjuangkan nasib perempuan Jawa kala itu, satu hal yang bisa dipetik adalah bahwa perempuan merupakan manusia sama seperti laki-laki. Kartini menolak berbagai tekanan fisik dan sosial yang dibungkus oleh kekuatan budaya dan dominasi kolonial.
Dalam Rosyadi (2012) dijelaskan bahwa Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan surat-surat Kartini yang disampaikan kepada penjajah. Surat itu berisikan desakan kepada penjajah agar wanita pribumi maju dan bisa menjadi lebih baik. Tuntutan Kartini adalah agar wanita Indonesia mendapatkan pendidikan yang laik dan sama dengan kaum pria. Sebab, saat itu, hanya pria yang banyak mendapatkan pendidikan layak.
Wanita lebih banyak berdiam diri dan menikah pada usia yang muda. Itu sebabnya, pandangan Kartini mendapatkan banyak penghargaan berbagai pihak.
Kenyataan ketersingkiran perempuan Indonesia tidak hanya terjadi di masa Kartini. Perempuan Indonesia saat ini masih menyimpan sisa-sisa peradaban kuno yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang selalu berada dalam genggaman dominasi laki-laki. Berbagai kasus yang menimpa perempuan mulai dari rumah tangga sampai ke ruang publik menunjukkan bahwa perempuan Indonesia memang lebih dilihat sebagai produk daripada sebagai manusia yang memiliki hak. Kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan dalam dan luar negeri terhadap banyak TKW kita, sebetulnya menunjukkan bahwa perempuan masih berada di bawah ketiak laki-laki.
Terakhir, Siti Zaenab dihukum mati di Arab Saudi. Itu belum termasuk deretan TKI-TKW asal Indonesia yang siap dieksekusi di luar negeri. Data pada BNP2TKI (2015) menyebutkan bahwa saat ini masih ada 227 WNI yang terancam hukuman mati.
Realitas perempuan Indonesia seperti yang dibahas di atas bisa dijelaskan dengan menghubungkan karton dan kartun. Hal ini bertujuan untuk menganalisis semangat Kartini dengan realitas kekinian Indonesia. Menurut saya, kondisi perempuan Indonesia terbentang dari masalah rumah tangga sampai pada hal publik. Semua masyarakat tahu bahwa karton merupakan wadah yang sering dipakai untuk menyimpan berbagai barang dari berbagai jenis.
Karton bisa dipakai untuk menyimpan barang baik sampai barang busuk; dari barang yang berguna hingga barang yang siap dibuang ke tempat sampah. Malah, karton sering dipakai sebagai tempat sampah itu sendiri.
Dalam batas tertentu, perempuan Indonesia masih seperti karton tempat pembuangan banyak soal dan masalah. Perempuan kemudian memikul banyak beban rumah tangga sampai masalah publik. Di rumah, perempuan harus mengurus sumur, mencuci pakaian semua orang rumah. Perempuan harus memasak makanan untuk semua orang. Perempuan juga harus melayani suami di kasur.
Kenyataan kehidupan perempuan belum berubah sampai hari ini. Terkait dengan keterlibatan perempuan di ruang publik, banyak yang mengatakan bahwa saat ini perempuan sudah mulai berperan dalam kancah publik. Politik nasional memberi ruang yang besar agar perempuan bisa berperan.
Masalahnya, untuk kategori itu, perempuan masih memegang posisi-posisi yang sama seperti di rumah. Sekretaris dan bendahara merupakan posisi yang sering dipegang oleh kaum perempuan di ranah publik. Dua posisi itulah yang menjadi andalan utama perempuan di rumah.
Dalam kenyataan yang lain, perempuan Indonesia masa kini bisa dijelaskan dengan realitas kartun. Kartun merupakan media film yang ditayangkan di televisi untuk menggambarkan berbagai kenyataan sosial. Kocak, lucu dan sangat infantil. Faktanya, banyak hal yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam berbagai film kartun itu. Saya tidak menjelaskan dan menganalisis film di sini. Yang mau dijelaskan adalah realitas perempuan dan media.
Harus diakui bahwa perempuan lebih sering berada di depan televisi untuk menonton berbagai kenyataan yang serba aneh dari sana. Masalahnya, ketika perempuan tidak didukung dengan berbagai nilai, perempuan mudah sekali ditipu oleh beragam media itu. Alih-alih mendapatkan informasi, yang didapat adalah informasi yang telah terdistorsi; informasi yang telah ditelikung atau diputarbalikkan. Media audiovisual harus bertanggung jawab atas hal ini.
Di samping itu, sisi internal perempuan sendiri, ketidakmampuan perempuan mengisi kepala dengan berbagai informasi produktif menyebabkan perempuan jatuh ditimpa oleh kekuatan iklan dan media massa sendiri. Akibatnya, perempuan menjadi korban selamanya.
Kita bisa menghubungkan dua hal itu (karton dan kartun) dengan semangat Kartini. Menurut saya, semangat Kartini ditelikung oleh dua kekuatan sekaligus. Sosial dan perempuan sendiri. Dari aspek sosial, berbagai struktur telah menempatkan perempuan sebagai obyek. Dalam batas yang sama, budaya patriarki masih terlalu kuat meminggirkan kaum perempuan. Perempuan hidup dalam bingkai karton berbagai segi. Di situ, perempuan identik dengan wadah tempat semua barang dari berbagai jenis dan untuk semua kebutuhan dibuang.
Di sisi yang lain, perempuan yang sama menjadi obyek tempat berbagai hasrat ditampung. Perempuan dibuat bodoh dan tak berdaya oleh kekuatan media. Selain karena kekurangan perempuan sendiri, realitas itu disebabkan karena pemilik kekuasaan di dunia ini memang cenderung melihat perempuan sebagai obyek; tempat memasarkan barang dagangan mereka. Payahnya lagi, perempuan Indonesia sering dianggap sebagai 'barang' yang bisa dijualbelikan. Nasib perempuan Indonesia sungguh menyedihkan.
Beberapa hal bisa dilakukan agar perempuan Indonesia, generasi Kartini Indonesia masa kini bisa keluar dari jebakan seperti itu. Selain mengubah semua struktur yang bersifat dominatif, perempuan sendiri harus segera sadar bahwa perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki.
Harus ada gerakan melawan lupa akan diri perempuan sendiri. Negara secara politik harus membantu perempuan agar perempuan bisa keluar dari berbagai struktur yang memenjarakan perempuan itu. Itu saja yang bisa menghidupan nyala api Kartini. Gerakan-gerakan itulah yang bisa menerbitkan terang dalam menghalau kegelapan peradaban dan nasib perempuan Indonesia. Selamat Hari Kartini.*