Pengelolaan Air dan Kekeringan di NTT

Musim kemarau terjadi dalam rentang waktu panjang yakni 8-9 bulan, sedangkan musim

Editor: Dion DB Putra

Oleh Jakobis Johanis Messakh
Staf Pengajar Undana Kupang, Alumnus Doktor Teknik Lingkungan ITB Bandung, Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air dan Konservasi

POS KUPANG.COM - Berbicara tentang kekeringan adalah hal yang jamak dan sering terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu faktor yang mengakibatkan kekeringan adalah iklim daerah NTT yang secara umum merupakan daerah semi-arid (semi kering). Daerah semi-arid dicirikan sebagai daerah dengan curah hujan yang lebih rendah dibanding penguapan dalam skala nilai tertentu.

Musim kemarau terjadi dalam rentang waktu panjang yakni 8-9 bulan, sedangkan musim penghujan hanya berkisar 3-4 bulan dalam setahun. Disamping itu, curah hujan juga terjadi dengan intensitas tinggi dalam waktu yang singkat.

Salah satu dampak dari karakter hujan seperti ini adalah masalah kekeringan yang berakibat pada masalah kekurangan persediaan air baku minum sektor DMI (domestic, municipality and industry) dan air untuk pertanian ketika memasuki musim kemarau. Kondisi tersebut menjadi tantangan dalam pengelolaan sumber daya air di daerah NTT.

Kondisi Saat Ini
Pos Kupang edisi Senin 14 Maret 2016 memuat pernyataan Walikota Kupang sebagai berikut: "Sampai dengan bulan Maret 2016 belum ada mata air di Kota Kupang yang pecah dan juga air sumur belum naik. Karena itu diharapkan agar harus disikapi dengan baik karena kalau tidak akan terjadi bencana besar di Kota Kupang".

Kondisi yang sama juga nampak pada sumber air permukaan di Waduk Tilong yang mensuplai air baku minum ke Kota Kupang dan air irigasi pada daerah Irigasi Tilong. Kondisi tanggal 14 Februari 2016, elevasi air waduk berada pada level ±87 m dpl atau setara dengan volume tampungan ±5 juta m3 dari total tampungan waduk 19,07 juta m3 (minus ±12 juta m3). Kondisi ini kontras dengan keadaan yang hampir sama satu tahun sebelumnya yakni air waduk telah melimpas melampaui spillway sejak pertengahan Januari 2015 (elevasi air > 100 m dpl, volume > 19,07 jt m3).

Penelusuran data time series kejadian hujan pada pos-pos hujan di Kupang dan sekitarnya pada 34 tahun terakhir, menunjukkan bahwa memasuki bulan April jumlah curah hujan tidaklah sebanyak bulan-bulan sebelumnya, bahkan April merupakan akhir dari musim penghujan dan peralihan kepada musim kemarau. Hal ini dipertegas oleh BMKG Kupang (beritasatu.com, 2 April 2016), bahwa pada akhir Maret sampai awal April sebagian wilayah NTT telah memasuki musim kemarau.

Pos-Kupang.Com 13 April 2016 menyajikan sejumlah berita dampak kekeringan yang sudah mulai terasa di NTT: "Tanaman Padi di Belo Menguning Karena Kurang Air" terjadi di Kota Kupang, "Plan Bagi-Bagi Air, Dinsos dan BLUD SPAM Sibuk Jual Air" menyoroti krisis air bersih di Kabupaten Nagekeo, selanjutnya "Ribuan Pohon Cengkeh Mati Kekeringan, Petani Cengkeh Mauponggo Kehilangan Miliaran Rupiah".

Yang Perlu Dilakukan
Memperhatikan kondisi tersebut di atas, semakin mempertegas sinyal akan adanya potensi kekeringan (panjang) pada tahun 2016. Oleh karena itu, pertanyaan penting bagi kita adalah: Apa yang mesti dilakukan?

Para ahli hidrologi dan manajemen sumber daya air mengatakan bahwa kekeringan adalah fenomena alam, tugas manusia adalah meminimalisir dampaknya dan bukan semakin memperparah kondisi tersebut dengan perilaku yang tidak bertanggung jawab. Salah satu upaya adalah dengan mitigasi melalui pengelolaan air berkelanjutan. Maksudnya adalah suatu upaya pengelolaan air dalam rangka mempertahankan keberlanjutan alokasi air, baik kualitas maupun kuantitas dalam rangka memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat.

Sebagaimana disampaikan pada bagian awal tulisan ini bahwa salah satu masalah pengelolaan sumber daya air di NTT berkaitan dengan kejadian hujan. Dalam pengelolaan air berkelanjutan, curah hujan harus dikelola untuk menjadi potensi cadangan air pada saat musim kemarau. Caranya adalah dengan tidak membiarkan air hujan terbuang secara percuma ke laut, namun mempertahankan air selama mungkin di daratan dengan membuat berbagai macam tampungan air hujan dalam bentuk bak penampung, waduk, dam, embung, sumur resapan, upaya-upaya konservasi melalui penghijauan, menjaga keberadaan serta keberfungsian ruang-ruang hidrologi, dll.

Bahasa yang digunakan oleh MS Sinode GMIT adalah menanam dan memanen air sebagaimana dimuat dalam Pos-Kupang.Com, 13 April 2016.

Mengenai hal ini, secara sederhana ilmu hidrologi menjelaskan bahwa besaran infiltrasi (I) merupakan fungsi dari besaran presipitasi/hujan (P) dikurangi besaran air larian/run-off (R). Mengandung makna bahwa pada saat terjadi hujan (P), besaran infiltrasi (I) dapat ditingkatkan mendekati besaran curah hujan (P) dengan memperkecil jumlah run-off (R). Semakin kecil run-off, maka semakin besar infiltrasi. Sebaliknya, semakin besar run-off, maka semakin kecil pula infiltrasi yang terjadi.

Besar-kecilnya infiltrasi akan mempengaruhi cadangan air tanah, sebaliknya besar kecilnya run-off akan menentukan seberapa besar potensi air yang terbuang percuma/tidak termanfaatkan. Dengan memahami hal ini, kita tidak perlu merasa heran apabila banyak sumber air di Kota Kupang dan sekitarnya yang kapasitas debit airnya semakin kecil dari masa ke masa bahkan menjadi kering. Ya, bagaimana mungkin ada debit air yang cukup apabila tidak ada imbuhan air hujan ke dalam tanah yang cukup pula?

Roberth J. Kodoatie dalam bukunya Tata Ruang Air (2010) mengatakan bahwa dalam pengelolaan masalah kekeringan harus menetapkan taraf risiko kegagalan suplai air yang terbingkai oleh dua pernyataan, yaitu risiko dari kekurangan air dan keamanan suplai.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved